Setelah merayakan hari jadi pernikahan yang kedua puluh, Tiana bersama Kamto—suaminya dan dua anaknya merasa bahwa hidupnya sudah jauh lebih baik dan berkecukupan. Pagi setelah semalam merayakan tahun baru bersama suami dan dua anaknya, Tiana merasa pikirannya jauh lebih segar dan tanpa beban apa pun. Ia sudah melupakan bayangan buruk yang kerap menghantui, wajah-wajah yang keriput, wajah yang mengering, wajah yang berminyak bergelantung di depan pintu, toilet, tergeletak di meja-meja kerja. Ia sudah melupakan tangan-tangan yang merasa kotor dan amis. Potongan-potongan nama yang tercecer di atas tanah. Baginya memikirkan hal semacam itu tak lain selalu menguras tenaga dan mengulang kesedihan.

Tiana berjalan menuju jendela. Membuka gorden warna merah jambu monyet. Suaminya masih tertidur. Sementara dua anaknya berada di kamar sebelah yang terhubung dengan kamarnya. Sehingga sewaktu-waktu ia bisa mengintip apa yang dilakukan anaknya dari pintu sebelah tanpa harus melewati koridor hotel untuk menuju kamar anaknya. Dari jendela hotel lantai 37, ia melihat kota seperti miniatur, rumah-rumah yang nampak kecil. Kereta melaju perlahan, keluar dari Stasiun Gambir hingga akhirnya melaju dengan sangat cepat. Ia teringat puluhan tahun yang lalu ketika masih gadis, memutuskan untuk menjadi perantauan ke Jakarta pasca lulus kuliah jurusan administrasi Universitas Airlangga Surabaya. Menaiki kapal dari dermaga Bakauheni menuju Merak, kemudian naik bus menuju Jakarta.

“Kamu mau ke mana lagi? Semenjak kuliah kamu sudah tak pernah lagi diam di rumah. Kamu perempuan, diamlah di rumah.”

Tiana diam sewaktu ayahnya menyampaikan dengan berat atas permintaan kepergiannya. Baginya hidup adalah persoalan mengembara. Mencari jati diri, pencapaian, kebahagiaan, tidak bisa didapatkan hanya berdiam di tanah kelahiran. Harus keluar dari ruang kenyamanan. Meskipun ia tahu betul bahwa itu tidak semua, namun ia yakin bisa melakukan tanpa bergantung kepada siapa pun.

“Semenjak lulus SMA, aku kuliahkan kamu di Surabaya bukan karena aku rela begitu saja melepaskanmu. Semua itu karena aku menuruti kemauanmu, asalkan kamu bahagia. Sekarang kami sudah tua, diamlah dulu di sini. Kami pun berhak bahagia.”

Tiana masih diam. Ia berpikir bagaimana caranya agar meyakinkan ayahnya bahwa dirinya akan baik-baik saja di tanah perantauan kelak. Tiana anak satu-satunya, sehingga orang tuanya tidak bisa begitu saja melepaskannya. Namun pada akhirnya, Tiana tetap pergi dengan alasan ia akan pulang sekali dalam tiga bulan.

Tiana masih memandang ke luar jendela. Langit terlihat sangat jelas dari bening kaca jendela; muram, mendung yang menggantung di kota Jakarta. Ia tarik napas dalam-dalam, kemudian ia hempaskan. Fiiuuhh…, lega rasanya. Cicilan rumah sudah lunas, tidak ada hutang apa pun. Bisa mengirimi uang untuk ibunya, meski tanpa dipinta. Sebab ayahnya meskipun sudah sangat tua, masih sehat dan bugar mengurus puluhan hektar sawah dan perkebunan kopi. Memiliki banyak karyawan dan pemasukan yang masih tetap stabil.

Tiana bernapas lega. Setelah bertahun-tahun berasa engap memikirkan cicilan, sehingga harus hidup hemat bertahun-tahun, dan mengatur sedemikian rupa keuangan. Sejak lulus ia meyakini bisa mandiri. Tak perlu serupiah pun bantuan dari orang tua. Apalagi sudah berkeluarga, dan memutuskan untuk pergi dari rumah. Pada akhirnya ia sudah tidak lagi memikirkan apa kata tetangga, rekan kerja, atau orang-orang yang berusaha membenci dan menjatuhkan dirinya. Bodo amat dengan hal-hal yang dirasa tidak mengenakan hati. Tapi nyatanya, ia tetap saja kecewa dengan apa yang dilakukan kolega di ruang lingkup pekerjaannya.

Seharusnya sudah sepantasnya Tiana memilih jalan yang menurutnya jauh lebih baik. Tanpa beban berat, dan pikiran yang berlebihan. Ketika ia kecewa, ia teringat dengan apa yang disampaikan ayahnya, bahwa hadapi semua masalah dengan hati tenang. Harus bertanggung jawab dengan pilihan hidup. Suatu kali ia pernah pingsan karena kelelahan. Pekerjaan yang diberikan bos kepadanya terlalu berat dan susah untuk dilakukan. Namun karena ia bekerja dengan konsisten dan menunjukkan profesionalme, maka ia lakukan dengan sangat hati-hati dan sebaik-baiknya. Ia tidak perlu berpikir ulang pada kisah-kisah mengecewakan yang barangkali tidak dapat dipertahankan lagi. Ia mengira tidak ada kendala sama sekali dalam jalan hidupnya. Namun sayang ternyata praduga itu salah. Salah besar! Di tempat ia bekerja, kolega berlomba-lomba mencari wajahnya yang hilang, namanya yang berceceran, tangan-tangannya yang kotor, dan atau mendadak menyulap rekan-rekannya menjadi kambing hitam hanya demi keuntungan masing-masing.

Mengapa orang-orang mendadak kehilangan wajahnya. Mencari namanya yang tercecer entah ke mana. Selalu merasa tangannya kotor sehingga mesti cuci tangan berkali-kali. Menyebut dan mengubah seseorang menjadi kambing-kambing hitam yang berkeliaran. Suatu kali Tiana bertanya ke salah satu kawannya—Rere.

“Mengapa kamu lakukan itu?”

“Aku butuh makan.” kawannya sambil mengelus dagu, kemudian tersenyum kecut.

“Bukankah kamu saat ini sudah jauh lebih cukup dari apa yang kamu dapatkan?”

“Apa?”

“Gaji setiap bulan.”

“Cukup. Hanya saja, kalau kita tidak melakukan dengan cara lain, pilihannya cuma dua.”

“Apa?”

“Kamu disingkarkan, atau kamu yang menyingkirkan.”

“Itu jahat sekali.”

“Tidak. Itu ada di semua ruang lingkup pekerjaan. Di mana pun.”

“Sayang sekali jika kamu melakukan dengan cara kotor seperti ini.”

“Tiana, sampai kapan kamu akan berhenti menjadi karyawan seperti ini? Jangan sok suci. Kita juga butuh naik jabatan!”

“Entahlah. Yang jelas aku sudah merasa cukup dan bahagia. Seperti ini hidupku sudah jauh lebih tenang.”

“Kamu tidak akan pernah naik jabatan, gaji tinggi, hidup mewah, jika apa yang kamu lakukan biasa-biasa saja. Datar. Selayaknya karyawan pada umumnya. Selagi ada kesempatan, lakukanlah.”

“Lalu?”

“Lakukan cara sepertiku atau yang lainlah! Buka lebar mata dan pikiranmu. Tidak selamanya kita makan dengan idealisme, Tiana.”

“Ah, biarlah.”

Setelah percakapan itu, Tiana lebih waspada dan berpikir. Ia memegang kunci apa yang dilakukan Rere. Namun Rere tidak pernah terima, bagaimanapun, Tiana harus ambil bagian, dan ikut serta dalam melancarkan apa yang akan dilakukan olehnya.

Hujan turun terlihat jelas dari jendela hotel. Tiana memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, kemudian menekan tombol yang tertempel di tembok, gorden tertutup pelan-pelan. Ia menuju kasur dengan tenang, melanjutkan tidur kembali di sisi suaminya.

***

“Apa yang sudah dilakukan mereka kepadaku sudah sangat keterlaluan. Sampai kapan pun tak akan pernah aku lupakan. Akan kuingat satu-satu wajahnya. Sungguh, aku tidak bisa terima.”

Tiana masih menggerutu di pojok dapur. Suaminya duduk di beranda rumah mendengar jelas apa yang diucapkan Tiana.

“Kenapa lagi?” ucap Kamto dengan nada agak meninggi agar terdengar oleh Tiana.

Tiana mengeluh. Kalimat-kalimat yang ia ucapkan semakin tidak jelas terdengar oleh suaminya. Akhirnya Kamto hanya bisa memandang halaman rumah sambil menyeruput kopi secara perlahan. Sudah ada pisang goreng yang tersaji di sisi kopi atas meja. Suaminya sendiri tidak bisa membayangkan apa yang sudah terjadi. Apalagi setelah kejadian ini, Tiana menjadi sangat trauma dan susah melupakan, apalagi memaafkan apa yang dilakukan rekannya. Tiana menjadi pemurung dan pendiam. Bagaimana mungkin ia bisa lupa dengan keyakinannya, bahwa dirinya tak akan runtuh ketika dilanda kekecewaan?

Dugaan suaminya selama ini ternyata salah. Ia mengira bahwa hal semacam ini—apa yang sudah dilakukan oleh orang-orang terhadap Tiana, hanya dilakukan rekan-rekan di tempat kerjanya. Ternyata sama saja. Dari sini ia berpikir bahwa orang yang dekat dengannya, susah payah melakukan pekerjaan bersama, tak akan menjamin menjadi teman, apalagi teman baik. Mereka justru menekuk dari belakang hanya perkara nama baik dan jabatan. Tiana menghampiri suaminya. Bergabung duduk di beranda, sambil membawa secangkir teh.

“Sudah, bersabarlah,” ucap suaminya.

Tiana diam. Menyeruput teh panas yang baru saja diseduh dengan dendam dan emosi. Kali ini adalah kesabaran terakhir bagi Tiana. Ia benar-benar tidak bisa terima.

“Jadi sejauh ini, kau dekat dengan mereka?”

“Tentu saja. Aku baik dengan mereka. Aku lakukan sebisa mungkin membantu kesulitan mereka.”

“Lantas mengapa mereka melakukan hal itu?”

“Aku pun tidak mengerti. Aku tidak peduli, dan tidak pernah peduli. Aku tak pernah haus pujian atau ingin dikata baik oleh siapa pun. Bahkan atasan sekali pun.”

“Sudahlah. Sekarang berpikir bagaimana caranya kau bisa bekerja lebih baik, tanpa memedulikan mereka. Cukup!”

Setidaknya Tiana sudah paham apa yang harus dilakukan setelah ini. Ia mengantongi apa yang disampaikan suaminya. Tiana masih ingat jelas bagaimana cara orang yang diangap karib, sangat tega melakukan perbuatan yang sangat kotor. Ia lebih tenang dan bahagia. Ditambah kabar dari Lampung, bahwa ayah dan ibunya sehat wal afiat.

***

Pagi ini Tiana bangun lebih awal. Pagi memberikan warna baru. Rasanya Tiana sudah muak dengan hal-hal yang tidak dipikirkan lagi. Malas rasanya melihat orang-orang yang membuat dirinya sakit hati. Ia sudah memahami secara perlahan bahwa teman-temannya mendadak wajahnya berubah. Mulanya ia tidak mengerti apa yang terjadi. Lantas apa yang mesti ia lakukan setelah ini. Ia tahu betul selama ini harus memunguti satu persatu kekecewaannya yang dilakukan oleh teman-temanya. Bahkan ia nyaris di-PHK atas sebuah kesalahan yang bukan dirinya yang melakukan.

Pada akhirnya Tiana tidak ambil pusing. Dua anaknya sudah kembali sekolah ke pesantren. Liburan sudah selesai. Tinggal ia dan suaminya di rumah. Berasa menjadi pengantin baru kembali. Melakukan hal-hal yang dirasa ringan—memanja—menghabiskan waktu berdua bersama-sama. Sudah menjadi kebiasaan baru bahwa sepulang kerja, duduk di beranda rumah melewati senja padam.

Tiana berjalan tergesa menuju meja kerja. Seperti biasanya ia harus pergi ke toilet merapikan diri. Ia melihat wajah teman-temannya berbeda. Wajah yang tidak seperti dikenalinya pertama kali. Keluar masuk toilet, bergantian. Ia merasa bahwa dirinya berada di tempat yang asing. Bagaimana mungkin teman-temannya mendadak wajahnya berubah?

Tiana bercermin, menatap wajahnya lekat-lekat. Membelai lembut pipinya, merapikan kerudungnya. Mengusap alisnya pelan-pelan.

“Tak ada yang berubah dari wajahku. Apa mungkin hanya perasaanku saja, atau salah penglihatan?” batinnya.

Tiana kembali menuju meja kerja. Rekan-rekan kerjanya sibuk dengan kerjaannya masing-masing. Iya, Tiana benar-benar berada di tempat yang asing. Tidak semestinya ruang kerja sesunyi dan serapi ini.

“Selamat pagi, Saudara-saudara.”

Rahmad—direktur perusahaan masuk ruangan secara tiba-tiba. Sontak rekan-rekan berdiri. Menyambut dengan senyum mengembang. Mendadak saling menjabat tangan, menanyakan kabar. Membawakan kue, kemudian menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Bahkan Tiana pun tidak tahu rencana semacam ini. Entah kapan mereka merencanakan acara seperti ini, dan entah kapan mereka pertama kali mendiskusikan ini sehingga menghasilkan acara serapi ini.

“Terima kasih, Saudara-saudara. Saya jadi terharu. Sekarang kalian bisa melanjutkan pekerjaan kalian.”

Setelah nyanyian selesai, dan disertai dengan doa-doa, Rahmad tersenyum mengembang kepada rekan-rekan, namun tidak kepada Tiana. Ia menunjukkan wajah yang muram dan kesal kepada Tiana. Berjalan tanpa senyum di hadapan Tiana, kemudian keluar dari ruangan.

“Sebentar lagi siapa di antara kalian yang akan naik gaji atau naik jabatan?” ucap Rere.

Setelah Rere mengucapkan kalimat itu, seluruh rekan di dalam ruangan tertawa panjang. Tiana seperti melihat wajah-wajah yang jatuh di meja-meja kerja. Nama-nama yang berserakan. Rekan-rekan yang berusaha saling mengubah menjadi kambing hitam, dan tangan-tangan yang bau dan kotor.

Tangerang Selatan, 2022

*) Image by istockphoto.com