Keluargaku baru saja pindah rumah ke rumah lama kakekku yang sudah meninggal saat aku masih bayi. Ia mewariskan rumah lamanya untuk ayahku.

Sejujurnya, aku tidak benar-benar suka rumah baruku ini. Rumah ini sudah lama kosong dan dirawat dengan baik oleh Pak Sugik, tukang kebun keluarga.

 Bangunan rumah ini sangat kuno. Jendela-jendelanya yang besar dan pintunya diukir dengan ukiran khas Jawa. Mungkin rumah ini sudah dibangun jauh sebelum ayahku lahir. Aku sebenarnya tidak terlalu antusias untuk pindah rumah. Aku sudah nyaman dengan lingkunganku di kota, tapi sekarang aku harus terjebak di tengah-tengah pedesaan yang sepi.

Kami menempuh perjalanan selama enam jam dari pusat kota menuju kampung halaman ayahku. Ketika sampai, aku disambut rumah besar dengan taman di tengahnya. Kakekku membangun tembok pagar mengelilingi rumah sehingga rumah ini terasa seperti benteng zaman dahulu. Aku turun dari mobil dan bergegas mencari kamarku.

Kamarku berada di paviliun dekat dengan kolam ikan dan taman. Aku menyukai kamarku karena terpisah dari rumah utama sehingga aku merasa memiliki ruang untukku sendiri. Karena aku penasaran dengan rumah ini, maka aku berkeliling. Ruangan-ruangan di rumah ini dipisahkan lorong-lorong yang panjang dan gelap.

Kakekku seorang dalang ternama sehingga dindingnya banyak dihiasi tokoh-tokoh pewayangan. Saat sampai di ruang keluarga, aku melihat salah satu lukisan yang sangat besar. Lukisan wanita yang memakai kebaya dengan rambut tersanggul rapi. Ia terlihat tersenyum manis dengan tangan menelungkup menutupi kakinya. Ia sangat cantik. Walaupun itu hanya lukisan, aku merasa seakan ia hidup dan tersenyum kepadaku. Ada tulisan di bawah bingkainya dan aku mulai membacanya perlahan, “R.A Kartini, habis gelap terbitlah terang.”

Tiba-tiba dari arah tembok yang berada tepat di depanku muncul sebuah pintu kecil setinggi badanku. Pintu itu memiliki ukiran aksara Jawa. Mulanya aku takut dan ragu untuk membuka pintu itu, tapi aku penasaran dengan isi di baliknya. Akhirnya aku mulai membuka pintunya dan mendapati ruangan yang sangat asing di depanku.

Ruangan yang aku masuki itu adalah sebuah kamar sederhana dengan jendela besar yang setengahnya tertutupi kain hijau. Aku melihat ada seorang anak perempuan berpakaian kebaya tengah menangis menutupi wajahnya dengan bantal. Semula aku ragu untuk bertanya mengapa ia menangis, tapi aku tidak tega.

“Kenapa kau menangis?” tanyaku kepadanya. Ia mulai berhenti menangis dan melihat ke arahku. Ia tetap kelihatan manis meski sedang menangis. Ia tampak lebih muda dariku. Umurku sekarang 13 tahun dan aku tebak ia berumur 12 tahun. Ia tampak terkejut mengetahui ada orang asing berada di kamarnya.

“Kau siapa?” tanyanya kepadaku. Meski tampak terkejut, tidak terlihat raut ketakutan di wajahnya. Ia anak perempuan yang pemberani, begitu pikirku.

“Namaku Tino. Aku datang dari pintu kecil yang ada di belakangku. Tenang, aku tidak akan menyakitimu. Kenapa kau menangis?” Ia tampak mengusap air matanya dan merapikan baju kebayanya. Ia terlihat cerdas dan berani. Lalu ia mulai bercerita.

“Aku menangis karena aku melihat banyak anak-anak perempuan seusiaku dijadikan budak dan mereka tidak diperbolehkan bersekolah seperti aku. Aku sedih melihat keadaan mereka seperti itu,” jelasnya kepadaku sambil berusaha menahan tangisnya.

“Namamu siapa? Namaku Tino,”  kataku sambil mencoba bersalaman.

Ia meraih tanganku, “Namaku Kartini.” Ia berusaha tersenyum ramah. Aku mengerti bahwa ia adalah lukisan wanita yang ada di ruang kakek. Ia adalah Kartini itu, pahlawan emansipasi wanita yang banyak menginspirasi bangsa. Oh, tidak! Jadi aku terjebak di zaman penjajahan saat Kartini masih ada? Tidak mungkin, aku sudah melintasi waktu ke masa lalu. Hebat sekali pintu kecil itu!

Anak yang ada di hadapanku sekarang adalah sosok Kartini kecil. Kartini yang hebat, yang kelak memperjuangkan emansipasi wanita melalui kumpulan surat-suratnya. Sosok Kartini yang masih kecil ini terlihat rapuh sekarang. Aku tidak percaya anak di hadapanku ini adalah Ibu Kartini. Setidaknya, aku harus menghiburnya. Itu satu-satunya cara agar ia tidak bersedih lagi.

Aku tersenyum kepadanya dan berkata, “Kau tidak usah bersedih. Bantulah mereka mendapatkan pendidikan yang layak sehingga mereka bisa sepertimu. Aku tahu, kau pasti berhasil karena kau adalah seorang wanita yang cerdas dan berani.” Aku tersenyum.

Ia melihatku kemudian balas tersenyum. Aku melihat kepercayaan dirinya mulai bangkit kembali dan sudah mulai optimis lagi. Kemudian terdengar suara ketukan di pintu kamarnya, maka aku bergegas kembali ke pintu kecil tadi.

“Tino!” panggilnya sebelum aku kembali ke duniaku.

Ia mengucapkan terima kasih dan berjanji tidak akan pernah menyerah memperjuangkan hak-hak wanita di sana. Aku tersenyum dan melambaikan tangan perlahan ke arahnya. Aku kembali ke ruang tengah kakekku dan memandangi lukisan wanita itu lagi. Pintu kecil itu juga sudah hilang dan berganti menjadi tembok. Sungguh pengalaman yang luar biasa, kataku dalam hati.[]