Semenjak kebakaran 13 September 2019, Gunung Merbabu baru dibuka lagi secara resmi pada 01 Februari 2020. Seperti hutang yang harus terbayar tuntas, kami memilih untuk mendaki Gunung Merbabu karena rencana tahun lalu seketika gagal karena bencana kebakaran tersebut. Kali ini kami mendaki melalui jalur Suwanting di Dusun Suwanting, Desa Banyuroto, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang. Kami memilih jalur Suwanting karena menawarkan pemandangan yang tak kalah indah dari jalur Selo. Hamparan padang sabana yang luas meskipun jalur ini relatif panjang dan sepi daripada jalur yang lain.

Aku-Ayu, bersama kedua temanku, Asih dan Rizal, berangkat dari Bangkalan, Madura. Untuk menuju Dusun Suwanting, Magelang, kami naik kereta dari Surabaya ke Semarang. Kemudian perjalanan dilanjutkan ke Salatiga dengan menaiki bus. Sesampainya di Salatiga, kami melanjutkan perjalanan naik bus menuju Dusun Suwanting, Magelang. Kami tiba di base camp pendakian Gunung Merbabu via Suwanting sekitar pukul 16.00. Tak lama setelah sampai di base camp, hujan mengguyur cukup lama. Kami menunaikan salat maghrib terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk trekking malam.

Rombongan kami menjadi lima orang, bersama dua teman kami dari Wonosobo, Saban dan Deny. Untuk mencapai puncak Kentegsongo, setidaknya kami akan melewati 16 pos. Nama-nama pos tersebut di antaranya: Desa Wonolelo, Pos 1 Lembah Lempong, Lembah Gosong, Lembah Cemoro, Lembah Ngrijah, Pos 2 Lembah Mitoh, Lembah Singo, Lembah Manding, Hutan Manding, Mata Air Sendang Dampo Awang, Pos 3, Sabana 1, Sabana 2, Sabana 3, Puncak Suwanting, Puncak Triangulasi, dan Puncak Kentengsongo.

Dari basecamp, kami harus melewati Desa Wonolelo terlebih dahulu untuk sampai di gerbang pendakian. Menuju Desa Wonolelo didominasi oleh perkebunan warga, namun kontur jalur sudah terus-menerus menanjak. Kami tiba di gerbang pendakian setelah berjalan 15 menit dan tiba di pos 1 Lembah Lempong setelah berjalan 30 menit. Di sepanjang jalur pendakian, kami hanya berpapasan dengan satu rombongan pendaki yang berasal dari Jakarta, selain itu tidak ada rombongan sama sekali yang melakukan pendakian pada malam itu. Inilah alasan terbesar aku ngotot ingin lewat jalur Suwanting.

Jalurnya sepi dan menenangkan, cocok untuk jiwa-jiwa yang ambyar, ditambah lagi dengan pemandangan gemerlapnya lampu kota yang seperti kunang-kunang jika dilihat dari ketinggian. Perjalanan menuju Pos 2 vegetasi cukup rapat dan didominasi  pohon cemara. Dengan kekuatan sandal jepit swallow aku menyibak jalur yang tertutup oleh rerumputan dan terus menanjak. Nafas ngos-ngosan terdengar jelas dari kami setelah berjalan 2 jam 30 menit untuk sampai di Lembah Cemoro. Kami pun memutuskan untuk mendirikan tenda di Lembah Cemoro karena tenaga kami tidak cukup kuat jika melanjutkan sampai Pos 2. Setelah mendirikan tenda dan makan, kami istirahat dan melakukan pendakian esok hari pukul 08.00.

Pagi-pagi buta kami bangun dan disuguhkan mahakarya yang luar biasa. Merapi yang gagah berhadapan langsung dengan tenda kami. Tepat saat itu Gunung Merapi sedang erupsi. Di sebelah selatan tak mau kalah Gunung Sumbing, Sindoro, dan Prau terlihat berjejer rapi. Pagi itu benar-benar suguhan yang membuatku lalai akan suasana kampus yang ramai, riuh, dan membosankan. Selepas sarapan dan berkemas, kami kembali memulai pendakian. Kami masih harus berjalan sekitar 1 jam untuk sampai di Pos 2 Lembah Mitoh. Kami berjalan santai agar tenaga tidak terforsir. Sesampainya di Lembah Mitoh, kami istirahat sejenak meminum air beberapa tegukan sebelum menghadapi tanjakan-tanjakan penyesalan. Kami tak bisa istirahat lama-lama, pasalnya mendung sudah berduyun-duyun dan kabut mulai menyelimuti. Tanda-tanda akan turun hujan. 

Perjalanan menuju Pos 3 sangat lama dan jauh daripada menempuh pos-pos sebelumnya. Kami harus melewati Lembah Singo, Lembah Manding, Hutan Manding, dan Mata Air Sendang Dampo Awang. Memasuki Lembah Manding, vegetasi semakin rapat didominasi pohon-pohon besar dan tumbuhan lumut, sehingga ketika sampai di area ini terasa sejuk. Kami beberapa kali menjumpai  pohon yang tumbang di sepanjang jalur pendakian. Hal tersebut karena sebelum kami ke sana, cuaca di Merbabu bisa dibilang ekstrem.

Merbabu jalur Suwanting benar-benar sinting. Bonus (trek landai) tak kami temui sama sekali. Jalur terus menerus menanjak tanpa ampun. Kemiringan mencapai 45 derajat dan menciptakan kemesraan antar dengkul dan dahi (menempel karena terlalu miring). Tanjakan ketika di Hutan Manding tak ada habisnya. Harus aku akui, jalur ini adalah yang terberat dari pendakianku sebelum-sebelumnya. Cuaca saat itu benar-benar tidak bersahabat. Kami diguyur hujan deras. Alhasil, kami mendaki basah-basahan. Aku sejenak menghentikan langkah ketika tepat di depanku ada tanjakan yang baru melihat saja, sudah pengin putar balik. Bagaimana tidak, jalur yang aku pilih untuk menghindari banjir ketika hujan seperti jalur Selo justru keadaannya hampir mirip Selo ketika hujan terus-terusan mengguyur. Langkahku terhenti dan aku berbalik arah sejenak, hampir tidak mau naik ketika melihat aliran air yang cukup besar mengguyur di sepanjang jalur. Namun aku tetap berjalan sedikit demi sedikit melawan ketakutanku. Licin sudah pasti, dan berkali-kali terpeleset. Perjalanan menuju Pos 3 adalah fase terberat saat itu.

Setelah berjam-jam menempuh perjalanan, akhirnya kami tiba di Pos 3 sekitar pukul 15:00. Namun saat itu terlihat seperti menjelang maghrib. Kabut sangat tebal hingga dingin serasa menusuk tulang. Pos 3 adalah area ideal untuk mendirikan tenda sekaligus camp area terakhir sebelum pendaki memutuskan untuk summit. Selain areanya luas, juga menyuguhkan pemandangan yang luar biasa, dikelilingi sabana dan bunga edelweiss yang tumbuh di sekitar camp area. Kami lantas mendirikan tenda saat kabut tebal turun. Selanjutnya kami memasak dan membuat kopi untuk menghangatkan tubuh. Teman-teman saling bercanda dan bercerita bagaimana perjalanan gila yang kami lalui tadi hingga menjelang maghrib.

Suara adzan terdengar nyaring di area yang kami tempati. Aku bergegas tayamum untuk menunaikan salat maghrib. Karena aku tak begitu kuat dengan hawa dingin, akhirnya memutuskan untuk tidur lebih awal. Sekitar pukul 00:15 aku dibangunkan Rizal dan Saban. Teman kami Asih tepat hari itu ulang tahun. Ia tampak sangat bahagia dan tidak menyangka kalau kami akan merayakan ulang tahunnya di gunung yang sangat ia idam-idamkan. Meskipun sangat sederhana hanya dengan seloyang puding dan sebatang lilin. Setelah kami makan puding bersama dan menyeduh kopi, pukul 02:00 kami memutuskan untuk summit.

Hamparan padang sabana yang luas tiada hentinya menyambut kami lengkap dengan lanskap Merapi yang tak pernah ingkar janji. Mentari pagi dengan sinar keemasan terbit dari balik Gunung Lawu yang tampak dari kejauhan. Tak kalah pula Gunung Sumbing, Sindoro, Kembang, Telomoyo, dan Prau. Gunung-gunung di dataran tinggi dieng tampak jelas dari Puncak Kentengsongo 3.142 MDPL. Sebelum sampai di Puncak Kentengsongo, kami melewati dua puncak lainnya yaitu Puncak Suwanting dan puncak Triangulasi. Kami adalah tim pertama yang tiba di puncak pada hari itu sekitar pukul 05.00 pagi. Bagiku, pencapaian tersebut bukanlah hal patut untuk dibanggakan.

“Karena mendaki bukan melulu tentang puncak. Tapi apa yang didapat dari perjalanan menuju puncak itu. Jika semua berorientasi pada hasil, maka akan sulit untuk menghargai sebuah proses.”