Kamu orang yang mudah terkejut. Secuil suara saja bisa membuat jantungmu berdegup. Kemudian rasa cemas datang seolah memenuhi undangan. Orang-orang tua dahulu mengatakan bahwa kekagetanmu disebabkan oleh ritual yang terlewat sewaktu bayi. Sepulang dari Mbah Dukun, Bu Bidan atau Rumah Sakit; ibumu atau nenekmu alpa melakukan ritual gebrak ranjang.

Maka semasa bayi, tidurmu tak akan pulas tanpa hening sekeliling. Kecipak air, derit pintu, deru motor, atau bersin bapakmu sekalipun berpotensi menggoyang mimpimu. Bibir mungilmu bergetar, melukis raut cengeng, sedu sedan dengan mata terpejam sampai puncaknya tangismu mendaki tangga nada.

Sebelum menyerahkanmu kepadaku, berulang kali ibumu mewanti-wanti bahwa kamu sangat sensitif terhadap suara. Semasih ibumu menata popok, gurita, bedong dan baju-baju lusuh yang aku yakini lungsuran dari kakak-kakakmu, bersungguh-sungguh aku meyakinkannya bahwa aku akan menyayangimu sebagaimana anak yang lahir dari rahimku sendiri.

Umurmu pas selapan kala ibumu dengan berat hati merelakanmu untuk kuasuh bersama suamiku. Wajahnya tergurat dosa tatkala suamiku memindahkan amplop coklat tambun ke tanganmu. Untuk terakhir kalinya, ibumu melabuhkan ciuman di tiap-tiap penjuru wajahmu. Sementara bapakmu, ia tampak terus menancapkan busur matanya pada amplop coklat berisi uang tunai sepuluh juta yang dipegang ibumu.

Selalu ada saja alasan untuk kita mengucap syukur. Memang aku wanita mandul, tidak bisa merasakan sensasi kehamilan, dan tidak punya kesempatan melahirkan. Akan tetapi aku memiliki suami yang sungguh luar biasa. Ia mendampingiku tanpa keluh, sabar, tiada menuntut serta menerima aku apa adanya. Sebagaimana aku menerimamu, suamiku justru lebih menyambut kehadiranmu. Bahkan tidak pernah terbayangkan olehku; suamiku membelikanmu pakaian, gendongan, bedong, matras bayi, susu dan peralatan lainnya yang serba bermerek pula tentu saja banderol harganya lumayan.

“Dia membawa kehidupan baru untuk kita. Bagaimana bisa aku membiarkannya memakai pakaian bekas itu?” ujar suamiku menjawab keterkejutan yang tergambar oleh romanku. Kegelisahanku kalau-kalau suamiku tidak bisa tulus padamu karena bukan anak kandungnya pupus seketika.

“Sekarang dia menjadi anak kita. Meskipun darah kita tidak mengalir dalam dirinya, kasih sayang kita harus terus tercurah padanya. Kasih sayang lebih kental daripada darah, aku yakin dia dapat merasakan ketulusan yang kita berikan,” imbuh suamiku tenang.

Tak dapat berkata-kata, aku melampiaskannya melalui pelukan. Kusandarkan kepalaku di bahu suamiku, kulingkarkan erat dua tangan ke pinggangnya. Bahagia yang sempurna terpampang nyata di depan mata kami.

***

“Mama, aku takut!” serumu satu waktu, berlari ke arahku, memeluk pinggangku dari belakang, meminta perlindungan. Kuelus-elus lenganmu sampai dengung sirene mobil ambulans yang melintas depan rumah semakin menjauh sejauh roda membawanya pergi.

“Papa, aku takut!” pekikmu di lain waktu, mendekap tubuh tegap papamu yang selalu sigap melindungimu. Sekali sentakan tangan, papamu mengendong tubuh mungilmu ke kamar. menghindarkanmu dari sirene mobil polisi yang menghantuimu dengan ketakutan.

Entah bawaan sejak lahir, trauma tersendiri yang tidak kamu ceritakan atau mungkin kami yang salah dalam pengasuhanmu; kamu menderita kecemasan tertentu terhadap suara sirene. Pada umumnya, sirene hampir selalu menandakan adanya bahaya. Jadi menurutku suatu kewajaran ada orang-orang tertentu yang antipati dan waswas sewaktu mendengar suara sirene. Apalagi ini mengenai anak perempuan sekecil dirimu yang memiliki riwayat kagetan.

Asumsiku untuk tidak terlalu mengkhawatirkan kondisimu diperkuat oleh suatu peristiwa di suatu petang. Sebuah sepur kelinci melaju pelan dengan dengung sirene memekakkan telinga, aku langsung menghambur mendekapmu. Tanpa kuduga kamu menggandeng tanganku, mengajakku keluar rumah untuk melihat lebih dekat sepur kelinci yang disesaki bocah-bocah seusiamu.

“Ma, Amira juga ingin naik itu!”

Musim bersalin seiring busana pula sepatu yang kian sesak dijejali pertambahan usia. Jelang tujuh belas tahun usiamu kala suatu siang, aku terpaksa meninggalkanmu sendirian di rumah lantaran ada urusan darurat. Tak tahu bagaimana kronologis lengkapnya sesampainya di rumah sudah kudapati kamu menjerit histeris. Wajahmu pucat dan seakan tenagamu habis terkuras. Segera kuhubungi suamiku untuk bersama-sama memikirkan langkah terbaik untukmu. Alih-alih meredakan kecemasanku, setibanya di rumah suamiku justru meletupkan amarahnya kepadaku.

“Bagaimana bisa kamu meninggalkannya sendirian? Aku tidak akan memaafkanmu kalau sampai terjadi apa-apa dengannya!” teriak suamiku persis di depan hidungku. Refleks aku menutup mulutku yang melongo. Tiada menyangka mendapat umpatan sedemikian rupa.

Tidak memedulikan ketercengangan yang membuat tubuhku bagai terpaku, suamiku mengalihkan perhatiannya padamu. Mengangkatmu dengan lembut ke dadanya yang bidang. Dari caranya membopongmu menuju mobil, sudah tidak terkesan lagi tindakan seorang papa kepada putrinya.

Sesayat kecemburuan telah merampas sebagian logikaku. Mungkinkah? Sebilah tanya menebas benakku. Namun kemudian aku tertawa. Menertawakan pikiran kacau yang sejenak mengacaukanku.

Sejak saat itu kami khususnya suamiku tidak akan membiarkanmu sendirian. Walau harus cuti atau bolos dari pekerjaannya, suamiku akan mendampingimu ke mana pun kamu mau. Ke mal, konser, ulang tahun, atau menaiki sepur kelinci di alun-alun. Setahun belakangan, sepur kelinci dilarang beroperasi di jalanan raya tersebab protes para sopir angkot ke dinas perhubungan. Setelahnya, pemerintah kota menyediakan trayek-trayek khusus untuk sepur kelinci di alun-alun atau tempat wisata lainnya.

***

“Aku dan Amira akan bersilaturahmi ke Boyolali. Sudah puluhan tahun sejak ibu meninggal, aku tidak berkunjung kepada kerabat di sana,” suamiku memutuskan secara sepihak tanpa berdiskusi, lebih-lebih menawariku atau membujukku ikut bersama mereka.

Kututupi kekecewaanku. Berspekulasi bahwa suamiku tentu paham di akhir tahun seperti sekarang ini tidak mungkin aku meninggalkan pekerjaan di kantor pelayanan pajak tempatku bekerja. Toh, ini hanya kunjungan cita rasa basa-basi karena kedua mertuaku sudah meninggal puluhan tahun silam sementara suamiku ialah anak tunggal. Di sana hanya tersisa kerabat jauh yang sejatinya tidak terlalu akrab.

Lautan ombak tenang terkadang menyimpan tsunami. Seperti gunung usai meletus akan kembali memupuk kekuatan. Separuh bulan sejak kepergianmu ke Boyolali, sekian detik selepas ulang tahunmu yang kedua puluh. Pesan WA yang kamu kirimkan selayak bencana pada pukul dua belas malam kala mataku enggan terpejam.

Mama, maafkan anakmu ini. Bagimu mungkin aku anak tak tahu malu. Namun aku ingin berbakti dengan mengharap restu darimu. Mohon restui pernikahan Amira dengan papa esok hari, Ma.

Gegas kutuju Stasiun Besar Pekalongan. Mengejar kereta Joglosemarkerto demi menghadang bencana yang mengancam di depan mata. Pernikahan itu tidak boleh terjadi, aku akan mencegahnya apa pun caranya.

“Hentikan pernikahan ini, Mas. Ini tidak benar!” Kucengkeram lengan suamiku, kutatap matanya dengan keteduhan seorang pengiba.

Suamiku menangkap tatapanku dengan mata elangnya tetapi ia menolak mengabulkan permohonanku lewat keterdiamannya.

“Amira itu anak kita, Mas. Mengapa harus dengan Amira bila kamu ingin menikah lagi? Aku akan mengizinkanmu dengan wanita mana pun kecuali dengan Amira,” kataku matang karena aku sudah memikirkannya masak-masak selama perjalanan Pekalongan-Solo.

“Darahku tidak mengalir dalam dirinya tetapi aku bisa menyayanginya sedemikian rupa. Maka aku ingin mengalirkan darahku padanya agar sempurna kasih sayangku itu,” tutur suamiku lentur tanpa rasa malu, sesal, atau bersalah.

Sialnya, aku tak bisa mencacinya karena ia tampak gagah dengan jas juga peci hitam serta ronce melati yang terkalung di lehernya. 

“Aku manusia dan laki-laki biasa. Walau berusaha menepisnya, aku tidak bisa membohongi diri, aku ingin memiliki keturunan yang bisa meneruskan namaku,” imbuh suamiku membuatku kian terluka.

Aku berupaya menyadarkan suamiku dari asmara yang tengah memabukkannya, tetapi justru aku yang tersadar dari tidur panjangku.

Kini, kurasa bukan air mata lagi yang mengalir di pipiku tetapi lava pijar yang merah, panas, dan melepuhkan.

Sirene sepur kelinci yang akan mengantar ke KUA meraung-raung laksana tangisanku dalam hati. Sepur dengan kursi panjang yang lapang itu seumpama menunggu kerelaanku untuk mengantar, melepas, mendoakan suamiku menikah dengan anak angkatku sendiri.

*) Image by istockphoto.com