Judul buku : Mati yang Menakjubkan
Penulis : Aksan Taqwin Embe
Penerbit : Basabasi
Tebal : 148 halaman
Cetakan : Pertama, April 2020
ISBN : 978-623-7290-83-4
Kematian demi kematian menjadi peristiwa yang memenuhi sekujur kumpulan cerita pendek (cerpen) Mati yang Menakjubkan. Kematian acapkali dihadapkan oleh pengarang, Aksan Taqwin Embe, pada kompleksitas kehidupan yang bergerak di luar skema-skema nalar atau jadi bagian dari derita tak tertanggungkan.
Di sejumlah cerpen, kesan yang menyeruak, tokoh-tokoh cerita adalah individu yang tercerabut dari ikatan kekerabatan, meninggalkan daerah asal, mengalami duka kehilangan atau sebatang kara. Identitas mereka bertautan dengan keberbagaian tema yang hendak diangkat yakni kehidupan kaum papa, masyarakat urban dengan renik peliknya, pergolakan nafsu, cinta dan penghianatan, serta kesetiaan.
Di cerpen “Mati yang Menakjubkan”, Aksan misalnya menyusuri psikologi seorang kuli panggul di pelabuhan Tanjung Priok. Karmin namanya. Ia merasa tak berguna sebagai suami. Sudah tiga lebaran, ia gagal memenuhi keinginan istrinya untuk mudik. Saat Karmin menunggu rezeki dari muatan kapal-kapal yang bersandar di dermaga, rengekan istrinya saban kali membayangi.
Suatu hari, Karmin memperoleh jasa mengangkut peti-peti. Dari dalam peti, ia sayup-sayup mendengar suara-suara rintihan perempuan kesakitan. Ketika menata peti di kargo dan menggeser ujung kotak yang berlubang, Karmin menyentuh jari yang bergerak-bergerak. Ia ketakutan.
Singkat cerita, Aksan mengaitkan antara rengekan istri, upah yang tak cukup untuk mudik, serta bayangan rintihan perempuan di dalam peti menjadi tekanan batin tak tertanggungkan. Karmin pun kejang-kejang. Ia meregang nyawa di kediamannya di bawah kolong jembatan. Cerita ini adalah alegori pekerja rantau yang begitu rapuh di tengah gemuruh kota besar.
Lika Liku Kematian
Aksan berkecenderungan meramu teknik penulisannya dengan gaya realis. Umumnya cerita bergerak dalam tempurung pikiran narator sebagai fragmen ingatan. Strategi tekstual ini menjadikan teknik penggarapan 15 cerita nampak mekanis. Pembaca akan selalu berhadapan dengan flash back yang memungkinkan waktu ditarik kembali ke masa lalu untuk menata kronologi cerita.
“Racik Kopi” merupakan salah satu cerpen yang menampilkan strategi tekstual semacam itu. Dikisahkan di depan makam kekasihnya, Saufa, seorang barista mati bunuh diri. Ia menenggak obat serangga. Hari kematiannya tepat di hari kelahiran mendiang kekasihnya. Cinta keduanya terhalang oleh norma, “kita sesama perempuan yang terkutuk jatuh cinta”. Cerita dituturkan oleh kekasih Saufa dari alam kubur yang menjelaskan rinci riwayat hidup Saufa. Kematian dalam cerpen ini berasosiasi dengan kehendak mengakhiri kehidupan sekaligus bukti kesetiaan.
Beralih ke “Menemui Kenangan” membicarakan seorang istri yang kehilangan suaminya. Terakhir kali ia bertemu suaminya di kedai kopi berbusana jubah hitam, menumbuhkan brewok dan bersorban. Si istri tak sepenuhnya mengerti perubahan suaminya. Ia hanya tahu, suaminya mati sembari memeluk tas saat tragedi ledakan. Kematian dalam cerpen ini rasanya berasosiasi dengan fenomena fundamentalisme agama.
Adapun cerpen “Sepotong Roti dan Sebilah Pisau” bermula di suatu pesantren. Seorang Kiai diketemukan mati mengambang di sendang. Keluarga Kiai histeris, santri dan warga lantas berpandangan alim ulama mereka mati dibunuh oleh sosok ninja. Peristiwa kematian ini berkecenderungan eksoforik, mengacu ke dunia di luar-teks yakni peristiwa teror ninja tahun 1998. Sedang sebagai bagian teks fiksi, peristiwa kematian kiai semata jadi teknik perpindahan latar dan alur cerita. Kematian menjadi penutup episode tokoh utama cerita ⸻seorang santri⸻ yang alami kisah asmara tak sampai pada putri mendiang kiai. Santri itu lalu jatuh cinta pada perempuan lain. Malangnya, cinta lanjutan pun bertepuk sebelah tangan.
Alegori Kematian
Begitulah lika-liku peristiwa kematian dalam buku Mati yang Menakjubkan. Sehimpun problem yang saya dapati, peristiwa kematian sangat minim dieksplorasi oleh Aksan menjadi berbagai alegori. Kematian semata berurusan dengan pandangan romantik sebagai kesetiaan atau kerapuhan.
Tak diolah misalnya, peristiwa kematian sebagai tragedi-komedi. Kemungkinan pengolahan itu, sebagai contoh dapat kita tengok misalnya dalam cerpen Joni Ariadinata berjudul “Tuhan, Bolehkah Kami Bunuh Diri” (terkumpul dalam buku Air Kaldera) berikut. Syahdan, Rantawi putus asa didera penyakit asma dan jatuh miskin karena pengobatan. Ia pun lantas menenggak segelas racun babi berharap mati. Kenyataan yang ia dapati justru sebaliknya, racun menjadi obat mujarab. Ironinya, keajaiban racun babi itu tak berlaku pada lain orang, Rantawi di akhir cerita justru digelandang polisi ke dalam bui. Ia dituduh berkomplot dalam pembunuhan.
Kematian dan kehidupan dalam cerita Joni Ariadinata menjadi permainan teks sekaligus kiasan bahwa takdir di bawah kendali Tuhan. Pesan itu terdeskripsikan dalam monolog ini: “… Tuhan kini tengah berhitung; menjawab tantangannya ketika ia memilih mati bunuh diri. Benarkah tak ada dosa yang tak diperhitungkan?” (hal. 46). Melalui cerpen Joni Ariadinata, saya sekadar ingin menunjukan kemungkinan-kemungkinan baru yang bisa dirambah Aksan kelak,
Beranjak ke problem lain dalam buku Mati yang Menakjubkan, peristiwa kematian sebagai bagian bangunan cerita, kerap dimanfaatkan Aksan untuk meredam konflik antar pelaku cerita (tokoh), membelokkan alur, membangun tempat, waktu, suasana cerita baru (latar), atau mengakhiri pokok masalah. Dengan kata lain, peristiwa kematian dalam struktur cerpen semata siasat teknis.
Entah disadari atau tidak oleh Aksan, peristiwa kematian jadi cara praktis sekaligus jalan pintas memenggal cerita. Penggalan cerita itu, sayangnya kerap ditinggalkan begitu saja dan menjadi teks yang mati sebab tak berpengaruh pada perjalanan cerita selanjutnya, tak saling meneguhkan, serta tak berdampak pada karakter tokoh. Nampaklah kemudian, peristiwa kematian juga berarti kebekuan Aksan sebagai pengarang untuk merambah berbagai kemungkinan strategi naratif untuk mengembangkan atau menyudahi cerita.
Trackback/Pingback