KURUNGBUKA.com – (01/04/2024) Orang tidak tiba-tiba menjadi penulis. Yang mengerti situasi kesusastraan biasanta menginginkan diri menjadi penulis dengan mengikuti beragam diskusi, kursus, dan percakapan. Keinginan menjadi penulis fiksi didukung kemauan besar mencari dan menambah pengetahuan.
Jadi, ada orang mungkin meyakinkan diri agar menjadi penulis dengan mewajibkan ikut kursus-kursus. Keputusan itu memerlukan waktu, ongkos, alat, dan lain-lain. Namun, kursus bukan pengesah orang berhak dan berhasil menjadi penulis. Pembuktiannya merujuk kesanggupan menempuhi babak-babak menjadi penulis.
“Tulisan terawal mungkin sangat autobiografis, tetapi ini akan segera ditinggalkan seraya dirimu semakin akrab dengan dirimu sendiri sebagai penulis,” ungkap Carmel Bird (1996). Yang ingin menjadi penulis wajib segera duduk dan menggerakkan jari memunculkan kalimat demi kalimat. Ia pun menulis, bukan menuruti kemanjaan dan kemalasan.
Tulisan lancar memang biasanya bersumber dirinya, sebelum beranjak memasuki yang lain-lain. Carmel Bird menyatakan: “Ketika si penulis benar-benar memanfaatkan sumber diri, teknik penulisan fiksi agaknya datang secara alamiah, hanya membutuhkan sedikit pembahasan dan hanya menimbulkan sedikit masalah.”
Bersegera menulis dan menjadi diri sebagai sumber itu penting ketimbang ketagihan ikut kursus-kursus. Kita masih dinasihati: “Semakin banyak dirimu menulis, semakin banyak dirimu menjelajahi, akan semakin takjub dirimu dengan siapa dirimy dan apa yang bisa dirimu pikirkan.”
Di permulaan, yang diurus bukan masalah-masalah yang mengurangi hasrat. Namun, orang diharuskan menulis sambil mengetahui tulisannya yang mengandung masalah-masalah untuk nantinya diselesaikan setelah hasrat itu terlunaskan. Yang menulis, yang mengetahui dirinya.
(Carmel Bird, 2001, Menulis dengan Emosi: Panduan Empatik Mengarang Fiksi, Kaifa)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<
