“Kau pernah dengar istilah polusi suara?”

Pertanyaan itu dilontarkan oleh kawan baikku saat kita berdua sedang menikmati kopi di suatu sore. Kita berdua duduk berhadapan di sebuah kedai kopi yang cukup sering kita kunjungi. Sebuah kedai yang berada persis di sisi barat jalan utama yang membelah kota kecil ini.

Tentang kota kecil ini, sebetulnya kita sama-sama pendatang. Dan keberadaan kita di kota kecil ini hanyalah sebatas menetap sementara. Tapi karena sudah lumayan lama, akhirnya kita banyak tahu seluk beluk kota yang cukup rahasia. Misalnya perihal pemimpinnya, ataupun perihal kebudayaannya, atau bahkan perihal sepak bolanya.

Sore ini pun, sebetulnya kita bertemu di kedai kopi ini tanpa sengaja. Kawanku katanya sedang mencari inspirasi untuk pekerjaannya. Ia sedang mengerjakan sebuah proyek gambar ilustrasi untuk buku anak dari sebuah penerbitan di kota kecil ini. Katanya tenggat waktunya sudah mepet, dan kerjaannya belum menunjukkan progres yang signifikan.

Sedangkan aku, tentu saja juga sedang mencari inspirasi untuk menulis buku. Sudah cukup lama ide tentang novel itu mengendap, dan sudah waktunya untuk benar-benar dilahirkan. Sebab begitulah ide-ide tentang apa pun itu kemunculannya amat sangat tak terduga. Jika terlena, maka yang muncul justru banyaknya ide, namun nihil uapaya mewujudkannya.

“Kau pernah dengar polusi suara?”

“Ha…?”

“Dari tadi kau melamun saja.”

“Maaf sedang ada sesuatu yang harus kutuliskan dengan cepat sebelum hilang.”

“Oke, lanjutkan saja dulu. Kalau sedang menulis, kau memang tak bisa diganggu sama sekali.”

“Sssstttttttt…. Dikit lagi, jangan berisik!”

Saat aku menyuruh kawanku untuk tak berisik. Ternyata isi kepalaku justru sangat berisik. Tentang ide-ide itu bermunculan tanpa henti. Akhirnya yang kutulis hanyalah sekumpulan ide lagi, dan ide lagi. Niat awal untuk memulai mewujudkan ide tentang bukuku yang pertama justru menghasilkan deretan ide-ide baru, yang jujur saja justru membuatku harus memberikan petunjuk arah yang baru lagi untuk jadi sebuah cerita yang lengkap.

Merasa tak cukup waktu untuk memberikan arah baru lagi pada ide baru itu, aku sedikit frustasi karenanya. Kopi di depanku pun akhirnya jadi pelampiasanku.

“Acccccchhhhhh…. Nikmat!!!” lumayan keras aku mengucapkannya. Sampai-sampai orang-orang di kedai kopi mengarahkan pandangannya padaku. Namun kawanku kini yang justru fokus pada layar gambarnya, sedang membuat gambar semacam corong suara.

“Gambar apa itu?” tanyaku tak bisa kutahan rasa penasaranku atas gambarnya itu.

“Sttttt…. Jangan berisik, aku sedang fokus.”

“Sialan, ganti aku yang yang diminta jangan berisik.” Dalam hati aku bergumam.

“Makanya jangan sok serius tadi, aku tahu kamu sebetulnya sulit konsentrasi kalau tak sehening tengah malam. Waktu yang kau dambakan tiap kali menulis.”

“Kamu juga kan, tak bisa gambar kalau berisik begini?”

Akhirnya kita berdua tertawa, lalu memutuskan menutup apa yang sedang kita kerjakan. Kita memilih menikmati kopi saja. Barangkali kita sama-sama sadar, kita datang ke kedai kopi ini untuk menikmati kesendirian. Namun sialnya, kita saling bertemu. Dan satu hal yang tak bisa kita hindari saat bertemu adalah obrolannya. Jadilah, kita berdua berbincang banyak hal, dan menunda pekerjaan.

 Menunda pekerjaan memang satu hal yang seharusnya dihindari. Apalagi bekerja dengan menyesuaikan suasana hati, itu hal lain yang harus dihindari juga. Sebab jika hanya menyesuaikan suasana hati untuk mengerjakan sesuatu. Maka ditakutkan kita justru tak mengerjakan apa pun kalau tak menemukan suasana hati yang tepat. Dari situlah terkadang aku menyebutnya sebagai dalih saja untuk memaklumi rasa malas kita.

Sebetulnya kedatanganku untuk menulis di kedai kopi sore ini juga dalam rangka menghilangkan rasa malas. Rasa ingin menunda pekerjaan. Tapi begitulah kenyataannya, sesuatu yang di luar prediksi pun tetiba muncul dan tampak menggairahkan. Bagi seorang yang suka berdiskusi sama halnya kawanku ini. Sebenarnya bukan hanya kebisingan sekitar yang membuat kita berhenti menulis ataupun menggambar. Tapi gairah berbincang banyak hal lah yang juga membuat kita memutuskan untuk berhenti.

Aku yang lebih awal duduk di kedai kopi, tak menyapanya saat tahu dia datang ke kedai kopi ini juga. Namun kedai kopi dengan salah satu sudut favoritnya itu membuatnya juga mengarah pandangkan matanya ke arahku. Hasilnya, kita berdua akhirnya duduk berhadapan di satu meja, di sisi jendela.

Dari awal ia sudah mulai mengeluhkan suasana kedai yang tak tampak sepi. Padahal biasanya kedai di waktu sore menjelang senja itu, suasananya sepi. Dan kemungkinan rencana kita berdua pun sama. Menikmati senja yang sepi dan pulang menjelang malam, saat pengunjung kedai banyak yang berdatangan.

“Sudah dapat berapa paragraf?”

“Apanya? Justru muncul ide-ide baru. Padahal ide kemarin aja belum kuselesaikan.”

“Ya begitulah, kita ini sama. Terkadang ide-ide itu juga jadi penghambat. Makanya tak heran kalau pas kuliah dulu banyak orang menyebut kalau skripsi yang baik adalah skripsi yang selesai.”

“Dan sekarang, kita menyebutkan kalau karya yang baik adalah karya yang selesai.”

Kita berdua pun akhirnya tertawa, agak terbahak. Sebab kita sadar betul, kalau tawa terbahak kita pun bisa jadi menyebabkan sumber kebisingan yang lain di kedai ini. Makanya kita menahannya agar tetap dalam frekuensi yang wajar-wajar saja.

“Apakah kalau suasana bising begini kau berhenti menulis?”

“Kebanyakan sih iya. Lalu dalam hati lebih banyak mengutuk sumber suara itu. Kalau kamu juga berhenti menggambar?”

“Sayangnya sih iya. Tapi aku tak mengutuk sumber suaranya. Aku lebih memilih tidur dan meninggalkan pekerjaanku. Lalu bangun dengan penyesalan.”

“Dan kenyataan paling nyata dari yang kita alami adalah karya kita tak selesai-selesai.”

Lagi-lagi kita berdua tertawa. Menyadari bahwa tindakan kita dalam menyiasati kebisingan adalah salah. Yang justru menjatuhkan kita dalam sebuah kondisi tak produktif. Dan kesadaran itulah yang membuat perbincangan senja ini menjadi penting. Sebab kita tak lagi menggerutu atau menertawakan kebisingan. Tapi kita mencoba mencari cara menyiasati kebisingan dengan cara yang lebih baik.

“Aku pernah menyiasati kebisingan dengan menutup telinga menggunakan musik yang kusuka.”

“Tapi bukankah kau justru tak bisa konsentrasi menulis?”

“Kalau menulis, aku masih bisa, tapi kalau membaca aku tak bisa.”

“Sayangnya aku tak bisa begitu. Aku benar-benar harus hening kalau menggambar.”

“Menurutmu, dunia ini kedepannya makin bising atau sepi?”

“Bising sih. Lihat aja itu jalanan di depan, dulu kendaraan tak sebanyak itu. Sekarang pagi siang sore selalu macet.”

“Belum lagi ada orang-orang yang gemar membunyikan klakson.”

“Ada lagi yang paling berisik dan mempengaruhi konsentrasi kita?”

“Apa itu?”

“Suara bebunyian dari gawaimu, pun gawai kawanmu.”

“Wah iya ini betul sekali. Kadang kita sendiri tak sadar kalau menggeser-geser medsos dengan video-video pendek itu ternyata berisik kalau didengar orang lain.”

“Makanya, aku tak menegur kawanku kalau aku tak nyaman. Soalnya jangan-jangan aku pun juga demikian kalau tenggelam dalam medsos.”

“Aku pernah menemukan kutipan kalau ada hal-hal yang bisa kita ubah dan yang tak bisa kita ubah.”

“Maksudnya?”

“Bukankah lebih baik kita mengontrol diri sendiri daripada mengontrol orang lain?”

“Aku masih belum paham sih.”

“Ah kau ini. Maksudku bukankah lebih baik kita menyiasati kebisingan itu dengan cara berani mengambil sikap untuk diri kita sendiri.”

“Oh jadi berhenti menyalahkan keadaan?”

“Ada keadaan yang memang salah dan bisa kendalikan. Tapi ada keadaan yang di luar kendali kita. Jadi lebih baik kita mengendalikan diri sendiri saja agar kita bisa tetap berkarya meski bisingnya minta ampun.”

“Setuju sih kalau ini. Menurutmu bagaimana cara mengendalikan diri sendiri?”

“Ya kita pikir masing-masing saja. Kan untuk mengendalikan dirimu sendiri. Hahaha.”

Tak terasa hampir tengah malam. Dan aku sadar betul bahwa kita berdua telah salah menyiasati kebisingan sejak sore tadi. Makanya baik gambar kawanku ataupun tulisanku, semuanya sama-sama tidak selesai. Tetapi kita akhirnya sadar bahwa tak cukup hanya menyalahkan kebisingan itu. Tapi lebih baik mencoba untuk mengoreksi diri sendiri lalu memilih cara yang tepat untuk menyiasati kebisingan itu.

*) Image by istockphoto.com