Asap mengepul, menerobos celah-celah genting untuk kemudian membebaskan diri di udara. Meliuk-liuk, mengular dari pondok tinggalnya—sebuah hunian yang terlalu buruk untuk disebut rumah dan terlalu merendahkan jika disebut gubuk, sekalipun di beberapa bagian, dindingnya yang terbuat dari bambu dianyam telah jebol.
Asap itu pecah setiap kali membentur pepohonan, berbelok arah dan pecah lagi membentur pondokku, baru setelah itu ia bebas mengembara ke angkasa. Pondokku sendiri tak lebih baik dari pondoknya. Sama-sama terletak di antara dua dusun, pondok kami sedikit terpisah dari rumah penduduk desa yang lain. Kurang lebih lima ratusan meter dari rumah penduduk yang paling dekat.
Adalah Mbah Jais, seorang lelaki tua yang sudah sekian lama menempati pondok di samping-belakang pondokku. Mbah Jais tinggal berdua dengan cucunya—anak dari anak perempuan bungsunya yang merantau ke kota sejak dicerai suaminya. Anak-anak Mbah Jais yang lain tinggal menetap bersama suami/istri mereka masing-masing. Setahun sekali menyambanginya, itu pun tidak semuanya. Sekarang hanya mereka berdualah tetanggaku. Aku dan Emakku tetangga mereka.
Tentang keberadaannya yang terpisah dari penduduk lain, aku luput menanyakan. Seakan-akan aku berada dalam barisan yang mengatakan “mengetahui sejarah tidaklah penting dalam kehidupan ini”. Aku telanjur meyakini anggapan sendiri bahwa keberadaan pondok itu disebabkan Mbah Jais, juga Emak, tak memiliki lahan lain selain yang kini ditempati.
Mbah Jais, meskipun telah renta, rambut telah memutih seluruhnya, tubuhnya masih bugar. Di usianya yang hampir sembilan dasawarsa, sisa-sisa kekar di badannya masih terlihat saat tak ada pakaian yang menutupinya. Orang-orang sepantarannya, umumnya sudah meninggal dunia, tetapi ia masih terlihat sehat. Bahkan menggendong cucunya yang berumur lima tahunan pun ia tak kepayahan.
Suatu ketika ia pernah menuturkan bahwa Jais remaja adalah juru masak sekaligus juru antar makanan untuk tentara Indonesia yang sedang berperang mengusir Belanda. Sebuah peristiwa yang disebutnya Agresi Belanda Dua. Meski tak ikut berperang langsung, ia sangat membanggakan apa yang pernah dilakukannya itu. Apalagi jika membandingkan dirinya dengan orang-orang yang berkecukupan lantaran memilih menjadi antek Belanda. Dibanding londo ireng itu, lima puluh kali lipat aku lebih berharga, katanya, berapi-api.
Menilik hal itu, agak mengherankan melihat kehidupannya sekarang. Hidup mengandalkan uang bulanan—kiriman anak bungsunya. Tak ada perhatian dari pemerintah desa untuknya. Jangankan mendapat tunjangan seperti kebanyakan veteran, raskin saja ia tak dapat. Keluarga miskin lain dapat bantuan langsung tunai, ia tak dapat. Keluarga miskin lain dapat jaminan kesehatan, ia pun tak dapat. Rumah keluarga miskin lain didata untuk dibedah, pondoknya hanya dilewati petugas. Begitu juga pondokku, tak pernah didata untuk ikut dibedah. Bedanya, raskin dan jaminan kesehatan, aku dan Emak mendapatkannya. Di situ aku melihat ketidakadilan dipraktikkan.
Bohong jika Mbah Jais tak menghendaki semua itu, tetapi bohong juga jika perangkat desa tidak lebih mementingkan keluarga miskin yang berbau kerabat dengan mereka. Bukankah yang semacam itu lazim terjadi di negeri ini.
Asap terus mengepul. Dari sumbernya, bisa kutaksir, ia sedang memasak sesuatu. Aku hafal sekali di mana ia memasak, di mana ia dan cucunya tidur, dan di mana biasanya seorang tamu dipersilakan duduk. Aku hafal semua. Aku hafal lekuk-lekuk pondoknya.
Entah apa yang dimasaknya, mengepulkan asap begini rupa, begini lama. Dua jam sudah, kalau perhitunganku tidak salah. Dalam rentang itu juga, terdengar tangisan cucunya—timbul-tenggelam, mengiris perasaan.
Keingintahuanku menyeret kakiku melangkah untuk mendekati pondoknya. “Sabar ya, Le. Sebentar lagi matang.” Rayu lelaki yang sudah kuanggap kakek sendiri itu. Kata-katanya menegaskan bahwa ia sedang memasak sesuatu. Membenarkan dugaanku.
Dua buah kuali tertutup rapat di atas pawon dapat kulihat dari lubang dinding yang jebol di beberapa bagian. Kobaran api melahap kayu di mulut pawon. Menjilat-jilat badan kuali di atasnya. Sejenak kemudian dapat kulihat Mbah Jais membuka penutup kuali-kuali itu. Satu tangannya yang lain menggenggam pegangan gayung yang terbuat dari batok kelapa, menuangkan air ke dalamnya, bergantian.
Tidak tampak isi kuali itu. Keingintahuanku semakin besar dan langkahku terseret beberapa meter, semakin dekat dan terus mendekat.
“Ngerebus apa, Mbah?” tanyaku dalam bahasa Jawa. Aku sudah berada di belakangnya, agak jauh. Ia tak kaget dengan kehadiranku yang tiba-tiba. Sejak kecil aku terbiasa masuk-keluar pondoknya, mendengarkan ia bercerita—upahku memijit pundaknya.
“Beras,” jawabnya singkat. Membetulkan posisi cucu di gendongan.
Melas sekali wajah anak lelaki yang masih berusia lima tahunan itu. Matanya sembab. Ingusnya meleleh. Kedap-kedip matanya, sejenak menatapku sejenak kemudian menangis lagi. Tidak seseru tadi. Kehadiranku seolah mengendurkan tangisnya. Aku makin yakin bocah itu lapar.
“Beras jenis apa, Mbah? Tak kunjung matang,” selidikku.
Pertanyaanku dibiarkan menguap begitu saja dan ia berlalu, seakan menyilakanku untuk melihat sendiri beras jenis apa yang ada di dalam kuali. Tanpa meminta izinnya, pelan-pelan kubuka tutup kuali di atas pawon itu. Aku terkejut. Sangat terkejut. Aku gosokkan jari-jariku ke kedua mata, lalu kembali melihatnya. Aku mengulanginya sampai tiga kali, dan benda di dalam kuali-kuali itu tetap tidak berubah.
Lantas kususul lelaki tua itu. Ia duduk di amben, mematung. Entah apa yang dipikirkannya. Cucunya dibaringkan di amben, tak kunjung tidur. Matanya mungkin mengantuk, hanya saja perutnya tak mengizinkan.
Sepertinya, makanan yang ditunggu itu tidak akan pernah matang. Direbus hingga besok pun pasir itu akan tetap pasir. Sedangkan air di kuali satunya hanya akan jadi uap. Aku tak habis pikir, mengapa merebus pasir? Apakah berasnya habis dan uang kiriman dari anaknya belum datang? Atau anaknya memang tidak mengirimkan uang karena suatu hal. Ataukah untuk menjadi juru masak seperti yang diceritakanmya, orang harus punya keterampilan khusus mengubah pasir menjadi nasi? Rasanya tidak mungkin. Kemungkinan terbesar, ia hanya mengelabui cucunya, memberi harapan untuk rasa kenyangnya.
Takut menyinggung perasaannya, sengaja tak kucari jawaban itu dari mulutnya. Ingin sekali memberinya makanan seperti biasanya ketika aku ada makanan lebih yang bisa dibagikan. Namun, hari itu aku sendiri belum makan. Keadaanku sendiri memprihatinkan. Aku memasak sedikit untuk Emak yang terbaring sakit dan memang hanya itulah beras yang tersisa untuk hari itu.
“Pasir itu nanti pasti jadi nasi,” katanya, penuh keyakinan.
“Mustahil.”
“Lihat saja nanti, sejam lagi.”
Aku tak menghiraukannya lagi, meninggalkan pondoknya dan meninggalkan keyakinan bodohnya. Aku tak percaya meski ia bicara dengan penuh keyakinan. Seandainya itu benar bisa dilakukannya, pastilah kemarin-kemarin sudah ia ceritakan dan bangga-banggakan kepadaku.
Di pondokku, setelah zuhur, aku suapi Emak. Nasi putih tanpa sayur dengan tempe goreng tanpa tepung untuknya. Makanan itu lebih banyak yang tersisa daripada yang dimakannya. Sepertinya sakit yang dideritanya membuat mulutnya terasa pahit.
Kata-kata Mbah Jais tentang pasir bisa jadi nasi itu terus mengusik ketenanganku. Aku tanyakan itu pada Emak, ia malah tertawa kecil. “Embahmu itu sedang melucu,” katanya. Ia memintaku agar makanan yang ada dibagikan kepada Mbah Jais.
“Buat makan nanti malam, Mak?” protesku dalam bahasa kromo.
“Nanti malam jangan pikir sekarang.”
Perintah Emak tak kubantah lagi. Aku bergegas ke pondok Mbah Jais.
Sampai di pintu pondoknya, aku tercengang mendapati Mbah Jais dan cucunya sedang bersiap makan. Di depannya, di atas meja rendah, dalam satu wadah besar, tampak nasi putih masih berasap seperti baru matang ditanak serta centong kayu yang menancap di gundukan nasinya. Di sampingnya, beraneka rupa sayur berkuah santan berderet hampir memenuhi meja. Aku pukul pipiku, memastikan tidak sedang bermimpi. Mbah Jais tersenyum melihatku seperti orang bodoh.
Dari mana asal semua makanan itu? Apakah benar ia punya kelebihan khusus yang disembunyikannya?
Kucari jawaban itu dengan segera ke tempat di mana kuali-kuali berada. Kubuka tutupnya perlahan. Lagi-lagi aku dibuatnya terkejut. Butiran pasir di dalamnya lenyap tak bersisa. Api yang menjilat-jilat badan kuali pun telah padam sama sekali.[]
Senori, Januari 2020
Keren