Judul         : Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia, Meluruskan Kembali Falsafah Pendidikan Kita
Cetakan    : Cetakan kedua, Oktober 2019
Penulis      : Haidar Bagir
Penerbit    : Mizan
Tebal        : 209 halaman
ISBN         : 978-602-441-135-0

Siapa yang tidak kenal Haidar Bagir? Ia adalah salah satu dari sekian sosok intelektual di Indonesia; salah satu dari 500 tokoh muslim berpengaruh di dunia (Nabila, 2018); dan pendiri sekaligus direktur Mizan grup. Haidar Bagir juga dikenal sebagai penulis yang banyak menulis tema-tema keislaman, filsafat Timur Tengah, dan tasawuf. Tapi, siapa sangka Haidar Bagir juga orang yang perhatian dengan pernik dan pelik pendidikan? Yayasan Lazuardi yang diketuainya layak ditunjuk sebagai bukti kompetensinya sebagai pendidik.

Pada awalnya saya sempat berpikir buku ini dimaksudkan sebagai manifesto gagasan pendidikan yang ditawarkan oleh Yayasan Lazuardi dengan asumsi di bagian sampul depan dicantumkan nama penulis dengan perannya sebagai ketua yayasan dan di belakang ditampilkan logo yayasan – dan karena itu diam-diam jadi semacam promosi. Tapi nampaknya saya keliru. Hingga bagian akhir tulisan, tidak saya temukan apa pun terkait dengan Yayasan Lazuardi. Ini adalah murni gagasan-gagasan pendidikan yang disusun Haidar sebagai kritik atas kondisi pendidikan di Indonesia hari ini.

Benang merah buku ini terletak pada gagasan bahwa sekolah Indonesia semakin hari semakin menjauhkan manusia dari hakikat kemanusiaannya karena sifatnya yang parsial, hanya mengolah dimensi kognitif-mekanistik peserta didik sambil terus-menerus menyingkirkan dimensi afektif dan spiritualnya. Oleh karena itu, diperlukan suatu paradigma baru yang berwawasan kemanusiaan. Sekolah yang sejak awal tujuannya mengoptimalkan potensi peserta didik menjadi manusia seutuhnya beralih fungsi menjadi mesin pencetak tenaga kerja dan warga negara yang bermental ternak. Dalam bahasa Haidar Bagir, “… pendidikan kita melahirkan semata-mata warga negara yang baik dalam rangka membina nasion yang kuat dan mampu untuk bersaing dengan nasion-nasion lainnya, bukan individu-individu yang reflektif dan berkarakter.” (hal. 28).

Seharusnya pendidikan tidak lain sebagai upaya untuk membangun potensi manusia demi mendapat kehidupan yang sejahtera baik secara fisik, mental, maupun spiritual. Nyatanya hingga hari ini, sekolah justru mencetak peserta didik menjadi kuda pacu korporasi atau, dalam bahasa Bagir, “angkatan kerja yang kompetitif” serta warga negara yang patuh tapi kehilangan nalar kritis.

Haidar Bagir dengan latar belakang filsafat berupaya melihat sekolah dalam perspektif yang menyeluruh dan umum. Oleh karenanya, alur pembabakan bab maupun pembabaran subbab di buku ini juga bersifat dari umum ke khusus. Buku ini terdiri dari tiga bagian, dimulai dari bagian pertama yang membicarakan falsafah dan tujuan pendidikan. Persoalan falsafah dan tujuan pendidikan tentu saja terkait dengan pertanyaan hakikat pendidikan dan tujuan pendidikan. Falsafah pendidikan sebagaimana dikritik Haidar, mengutip Prof. Winarno Surakhmat, “… kurang dipahami oleh praktisi pendidikan karena kurangnya sosialisasi.” Dengan demikian, tujuan pendidikan yang sebenarnya telah jelas menjadi kabur (hlm. 25).

Tujuan pendidikan dipahami secara sempit sebagai upaya menjadikan peserta didik menjadi warga negara yang baik dan angkatan kerja yang kompetitif. Secara tidak disadari pereduksian berbahaya semacam ini meresap hingga tataran praktis dan menyumbang pendangkalan kegiatan bersekolah hanya untuk mengembangkan keahlian kognitif (pintar) dan psikomotorik (terampil). Tentu saja aspek kemanusiaan tidak hanya kepintaran dan keterampilan saja karena apabila hanya itu, mesin-mesin pintar juga mampu melakukan.

Tujuan pendidikan juga untuk mengembangkan empati, kreativitas, dan kebahagiaan. Jadi, sesungguhnya sekolah hanya menggarap aspek kemanusiaan secara parsial akibat falsafah pendidikan yang tidak dipahami.

Pembicaraan yang disajikan pada bagian kedua terkait hal praktis seperti kurikulum, metode pembelajaran, dan penilaian. Haidar secara jelas menunjukkan persetujuannya pada model Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang dianggap mampu membangun pendidikan yang berkemanusiaan (hal. 115). Alasannya terletak pada kekurangan kurikulum sebelumnya yang memaksa peserta didik mempelajari materi yang kurang relevan dan bermanfaat bagi kehidupannya. Tujuan instruksional ditetapkan terlebih dahulu tanpa melihat kompetensi yang dinilai penting untuk dicapai siswa dengan materi tersebut. Sebaliknya, Kurikulum Berbasis Kompetensi, karena bertolak dari kompetensi, meminimalkan penghamburan materi dan kerugian waktu (hal. 116).

Penulis juga mengajukan sejumlah metode pembelajaran yang dinilainya tepat untuk membangun pendidikan yang berkemanusiaan (hal. 127). Sejumlah model pembelajaran seperti pembelajaran autentik, pembelajaran kontekstual, dan pembelajaran berbasis proyek diajukan untuk mencapai cita-cita tersebut. Yang hendak dicapai dengan model-model pembelajaran tersebut ialah bahwa pembelajaran seharusnya bukan sarana untuk menjejalkan ‘pengetahuan’ ke dalam benak peserta didik yang dianggap celengan. Pembelajaran adalah sarana untuk mengaktualisasikan potensi peserta didik. Akibat pembelajaran model ‘celengan’ ini, “mereka justru kehabisan waktu dan tenaga untuk mengembangkan kreativitas, keterampilan riset, dan kemampuan reflektif”.

Aspek penilaian juga tidak luput dari kritikan Haidar. Model penilaian yang berwawasan kemanusiaan ialah model penilaian yang autentik di mana peserta didik dinilai sebagaimana dia akan dinilai di lapangan kehidupan yang kelak akan digelutinya. Sebaliknya, yang banyak diterapkan oleh sekolah saat ini adalah model penilaian yang mencirikan kekurangan peserta didik, memisahkan peserta didik yang baik dengan peserta didik yang kurang baik. Model penilaian ini dianggap Haidar sebagai model penilaian ‘mencari karyawan’. Yang demikian ini muncul akibat pandangan sempit melihat tujuan pendidikan untuk mempersiapkan orang-orang sukses dalam karier bukan untuk mencapai kebahagiaan (hlm. 146) .

Di bagian ketiga Haidar mengajukan gagasan pendidikan moral berbasis pengembangan rohani. Hal ini dapat dipahami, mengingat Haidar merupakan salah satu intelektual muslim di Indonesia. Ketertarikannya pada tasawuf nampaknya merembes hingga kontemplasi tentang falsafah pendidikan Islam ala tasawuf. Yang hendak disampaikan bagian ketiga ini bertolak dari pendapat bahwa penekanan aspek materialistis seperti kepintaran dan keterampilan praktis mengakibatkan tumpulnya daya rohani. Yang bermakna adalah yang dianggap bermanfaat secara lahiriah. Akibatnya, bagi orang-orang seperti ini yang terpeting adalah memiliki kemampuan yang bermanfaat bagi upaya mengumpulkan berbagai pencapaian duniawi (hal. 173). Kenyataannya ‘kebahagiaan’ yang dicari dari berbagai pencapaian duniawi itu tidak jarang justru mengakibatkan kesengsaraan.

Dengan demikian, hal yang penting menurut Haidar (hal. 174) dalam menyelesaikan masalah pendidikan yang miskin nilai kemanusiaan ialah mengubah paradigma pendidikan kita dalam ranah teori dan praktiknya dari berpusat pada rasional-saintifik dan vokasional kepada berorientasi rohani, akhlak, dan estetika. Pengembangan kemampuan akademis mestilah didasari perspektif rohaniah, akhlaki, dan estetis.

Berbicara tentang kelebihan, secara teknis buku ini mudah untuk dibaca. Pada setiap pembahasan selalu disediakan lembar tersendiri yang berisi poin-poin yang dianggap penting atau hendak ditonjolkan. Itu pun ditulis dalam ukuran poster. Selain itu, substansi buku mudah untuk dipahami. Materi yang disampaikan terkait dengan hal-hal yang sifatnya umum. Memang terdapat beberapa istilah teknis, misalnya beberapa model pembelajaran, bentuk evaluasi, dan kurikulum yang agaknya asing bagi pembaca berlatar belakang selain bidang pendidikan. Tapi penjelasan sederhana yang disediakan sangat membantu. Kemudian, bahasa yang digunakan sering bergaya lisan dibandingkan tulis. Nampaknya, buku ini sengaja ditujukan bagi masyarakat umum tanpa latar belakang di bidang pendidikan dan tertarik serta peduli dengan pendidikan di Indonesia.

 Yang pelik dari buku ini justru gagasan yang ditawarkan. Saya tidak hendak mengatakan gagasan pendidikan kemanusiaan yang ditawarkan agak utopis. Sesungguhnya gagasan-gagasan yang diajukan di buku ini absah secara teoritis dan telah dipraktikkan di sejumlah negara, seperti Finlandia dan Cina baru-baru ini (hal. 137). Tapi di Indonesia, gagasan ini segera saja menemui tantangan ketika dihadapkan dengan praktik di lapangan. Dalam hal tidak membahas tantangan-tantangan tersebutlah yang menjadi kekurangan buku ini. Menurut saya, perlulah penulis menyatakan dengan tegas mengenai hal tersebut meskipun tidak hendak membahasnya secara mendalam. Dengan begitu, pembaca segera saja dapat menyiapkan strategi apabila hendak mengaktualkan gagasan ini.

Perihal kesejahteraan guru, misalnya, adalah salah satu dari sekian tantangan yang harus dihadapi (Kartono, 2009). Yang terjadi di lapangan ialah para guru muda yang bersemangat mendorong perubahan, kehilangan energinya karena rentetan kesibukan untuk menambah penghasilan di luar sekolah, banyaknya beban mengajar, dan administrasi – para pendidik senior, sebaliknya, tidak mampu mendorong perubahan justru karena pudarnya gairah seiring umur dan kenyamanan fasilitas yang diperoleh. Tidak jarang mengunduh dari mesin pencari menjadi solusi praktis. Penyebabnya mendasar, pekerjaan utama sebagai guru dengan tanggung jawab besar kurang menjanjikan kesejahteraan. Para pendidik muda ini terpaksa menambah pekerjaan di luar sekolah. Akibatnya pendidik tidak mampu fokus. Pikiran dan tenaga yang seharusnya digunakan secara optimal untuk mengajar terkuras.

Bila demikian yang terjadi di lapangan, dapat dipastikan bahwa sepadat apa pun pembinaan yang diberikan dan sesempurna apa pun sistem yang dibangun untuk menjamin mutu pendidik tidak akan pernah efektif. Kesejahteraan pendidik menjadi hal mendasar yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum membicarakan hal-hal rumit seperti paradigma pendidikan, kurikulum, model pengajaran, model evaluasi, dan lain sebagainya. Bila yang dasar ini dapat dipenuhi, hal-hal substansial dan teknis serumit apa pun sedikit demi sedikit terurai.

____________

Referensi

Nabila. 2018. Haidar Bagir, 10 Kali Masuk dalam 500 Tokoh Muslim Paling Berpengaruh di Dunia. Diakses dari https://blog.mizanstore.com/selamat-haidar-bagir-masuk-500-tokoh-islam-berpengaruh-di-dunia/
Kartono, ST. 2009. Sekolah Bukan Pasar, Catatan Otokritik Seorang Guru. Jakarta: Kompas
Bagir, H. 2019. Memulihkan Sekolah Memulihkan Manusia, Meluruskan Kembali Falsafah Pendidikan Kita. Jakarta: Kompas