Suatu sore di sebuah kedai kopi di Bogor, beberapa tahun lalu, saya mengobrol dengan seorang sastrawan terkemuka. Tentu saja di antara hal-hal yang kami obrolkan itu salah satunya adalah sastra, lebih tepatnya kesusastraan kita. Di satu titik, sang sastrawan terkemuka mengemukakan pendapatnya bahwa tipe karya sastra yang digandrungi pembaca saat itu adalah karya sastra dengan tempo yang cepat atau terbilang cepat. Agaknya ketika itu ia sedang berusaha meyakinkan saya bahwa tipe karya sastra seperti itulah yang sebaiknya dikejar para sastrawan kita, terutama mereka yang masih “muda”.

          Tentu pendapatnya ini sulit dibantah. Apabila kita membuat daftar karya sastra berkualitas yang laris manis di pasaran dalam konteks kesusastraan kita beberapa tahun terakhir, kita memang cenderung mendapati banyak di antaranya adalah karya sastra yang menawarkan tempo cepat, tidak membosankan, serta yang terus merangsang pembacanya untuk bergerak. Misalnya, Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi (Banana, 2016) karya Yusi Avianto Pareanom atau 24 Jam Bersama Gaspar (Mojok, 2017) karya Sabda Armandio. Memang ini masih sebatas dugaan saja, tetapi seandainya karya-karya sastra ini tidak menawarkan tempo yang cepat, seandainya cerita-cerita di dalamnya bergulir dengan lambat dan berpotensi membuat pembacanya bosan, kiranya keberhasilannya di pasaran tidak akan sebaik yang diperolehnya.

          Namun, di sini kita harus jeli dan hati-hati. Kalau sebuah karya sastra laris manis di pasaran adalah satu hal bahwa apa yang ditawarkannya itu merupakan sesuatu yang berkualitas. Keduanya tidak selalu berjalan beriringan. Kadang, kualitas sebuah karya sastra bahkan sedikit saja andilnya dalam membuatnya banyak dicari dan dibeli orang. Dalam hal ini, tempo yang cepat tadi berfungsi sebagai penunjang atau pelengkap saja; sesuatu yang tidak secara langsung dan signifikan meningkatkan kualitas sebuah karya sastra.

Tempo Cepat Bukan Hal Utama

Bandingkanlah, misalnya, Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi dengan 24 Jam Bersama Gaspar. Jika kita bicara soal tempo yang cepat, novelnya Armandio, saya kira lebih unggul. Pasalnya, novel ini memang didesain untuk dibaca sebagai sebuah petualangan yang berlangsung selama dua puluh empat jam—kurang lebih mirip dengan novel-novelnya Dan Brown. Tetapi, jika kita bicara soal kualitas, tentu novelnya Pareanomlah yang lebih unggul. Keunggulan itu bahkan terlihat di banyak sisi mulai dari karakterisasinya yang matang hingga bangunan narasi tokoh-tokohnya yang kokoh. Bahwa tempo novel ini kalah cepat dari tempo 24 Jam Bersama Gaspar, pada akhirnya sama sekali bukan masalah. Terlebih lagi “kekalahan” ini dibayar oleh sesuatu hal lain yang tak kalah menariknya, yakni gaya bertuturnya yang legit dan kerap berhasil membangkitkan indra-indra pembaca.

          Ini satu contoh sederhana betapa tempo yang cepat dari sebuah karya sastra tidak menentukan kualitasnya. Itu artinya, ia bukanlah hal utama yang harus dikejar si pengarang saat ia menulis sebuah karya sastra.

         Lebih jauh lagi, tempo yang cepat pun bukan sesuatu yang bisa “menetralisasi” kekurangan sebuah karya sastra. Novelnya Armandio tadi, misalnya, kalau kita mau jujur, sebenarnya belumlah novel yang matang; karena masih ada kekurangan sangat mengganggu yang kita temukan saat membacanya. Gaspar selaku si penutur utama di novel ini, kendati terbilang berhasil membuat kita hanyut dalam arus cerita yang ditawarkannya, punya kecenderungan untuk pamer referensi di situasi-situasi ganjil. Sebab, tak terasa natural, seolah-olah ia adalah perpanjangan belaka dari si pengarang yang ingin menjejali pembaca dengan informasi-informasi yang menurutnya mahal dan berharga itu. Kekurangan ini tetap ada dan terasa, meski tempo cepat yang ditawarkan si pengarang di sepanjang cerita cukup mampu membuat kita terlena. Ia, tak pelak lagi, adalah sebuah gangguan yang menyadarkan kita bahwa novel ini cacat.

          Hal serupa berlaku juga untuk Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi. Terlepas dari sejumlah keunggulan dan daya tarik yang dimilikinya sebagai sebuah karya sastra, novelnya Pareanom ini punya satu celah yang menjadikannya cacat, yakni perspektif bawah sadarnya cenderung maskulin-berlebih. Ini pernah dibahas dengan sangat baik oleh Anindita S. Thayf dalam esainya, “Aroma Maskulinitas dalam Daging Sapi” (Haluan, 3 September 2017), bahwa di novel ini hal-hal yang merupakan simbol dari maskulinitas begitu ditonjolkan seolah-olah Pareanom sedang menampilkan sebuah pertunjukan maskulinitas.

          Gambaran tentang perang dan hal-hal yang terhubung dengannya, misalnya, disajikan begitu hidup dan “meriah”. Ini membuat kita bertanya-tanya apakah dengan cara ini si penutur tengah berusaha mengglorifikasi perang-perang itu. Para aktor utama dari perang ini sendiri, sementara itu, adalah lelaki-lelaki yang sangat maskulin, yang secara fisik begitu kuat dan dominan. Tokoh-tokoh perempuannya, di sisi lain, dikisahkan mengalami kemalangan demi kemalangan, karena mereka kerap dikenai objektifikasi seksual secara terang-terangan. Ada bahkan satu adegan yang dideksripsikan dengan tone surgawi ketika beberapa perempuan membantu salah satu tokoh lelaki berejakulasi, seakan-akan sebuah upaya untuk menguatkan kemachoan si tokoh lelaki.

          Maskulinitas dalam novelnya Pareanom ini bisa dibilang sudah mengarah ke misogini, atau paling tidak menguatkan nilai-nilai patriarki[1]. Ini tentu saja sebuah kecacatan, terutama ketika kita menariknya ke konteks saat ini di mana kita sedang mencoba membentuk sebuah masyarakat baru yang menjunjung tinggi kesetaraan gender. Tempo cepat novel ini yang turut berperan dalam membuatnya laris manis di pasaran, tak sedikit pun bisa “menetralisasi”-nya.

Tempo, Relasi, dan Konteks

Karena tempo sebuah karya sastra tidak menentukan kualitasnya, sebuah karya sastra bisa tetap berkualitas terlepas dari temponya itu cepat atau lambat. Logikanya begitu. Memang ada banyak sekali karya sastra berkualitas yang menawarkan tempo lambat, yang bahkan sangat lambat. Misalnya novel Shibasaki Tomoka berjudul Spring Garden (Pushkin Press, 2017). Atau dwilogi Samurai—buku pertama berjudul Samurai: Kastel Awan Burung Gereja (Qanita, 2005; terjemahan Esti Ayu Budihabsari), buku kedua berjudul Samurai: Jembatan Musim Gugur (Qanita, 2005; terjemahan Esti Ayu Budihabsari)—karya Matsuoka Takashi.

          Spring Garden adalah sebuah novel bercerita tentang seorang lelaki yang menjalani hidup dalam kesendirian setelah ia bercerai dan berganti profesi sebagai “konsekuensi” dari perceraiannya itu. Ia tinggal di sebuah apartemen yang sebagian besar penghuninya telah pindah sebab apartemen ini memang akan segera dijual oleh pemiliknya. Di sepanjang cerita, sedikit sekali tokoh lain yang dihadirkan berinteraksi dengan si lelaki. Meski hampir semua tokoh lain ini perempuan, termasuk seseorang bernama Nishi yang sempat menarik perhatiannya karena tingkah anehnya mengamati sebuah bangunan di dekat apartemen itu (bangunan ini dikenal dengan nama Spring Garden), tak sedikit pun digambarkan si lelaki mengalami ketertarikan seksual kepada salah satu dari mereka. Justru kesan kuat yang dimunculkan adalah sikapnya yang dingin kepada perempuan-perempuan itu, di mana ia sering merasa canggung atau tak nyaman saat terjebak dalam situasi di mana ia harus berhadap-hadapan dengan salah satu dari mereka. Di beberapa adegan, terlihat sekali bahwa si lelaki, kendati ia tahu betul sikap dinginnya inilah yang memisahkan dan menjauhkannya dari orang-orang yang semula pernah dekat dengannya, memutuskan untuk tak melakukan apa pun terhadapnya; seakan-akan ia menerima bahwa di sisa hidupnya, apa pun yang terjadi, ia akan menjalaninya dalam kesendirian. Novel ini dengan sangat baik menggambarkan bagaimana orang-orang Jepang terjebak dalam kesendirian yang akut dan menahun di kehidupan kontemporer mereka.

          Sementara itu, dwilogi Samurai bercerita tentang transformasi-transformasi yang dialami masyarakat Jepang dari waktu ke waktu, baik itu secara sosiologis, psikologis, filosofis, maupun politik, dengan kehidupan beberapa keluarga samurai dan satu-dua keluarga Amerika sebagai sampel. Ruangnya yang sangat lapang memungkinkan dwilogi novel ini menghadirkan transformasi-transformasi tersebut secara bertahap, dengan detail yang cukup, dengan tawaran-tawaran pembacaan yang mendalam dan berani di tiap-tiap prosesnya. Di satu adegan, misalnya, digambarkan beberapa orang samurai dari sebuah klan, yang masing-masing berdiri pada posisi berbeda dalam hierarki feodalisme Jepang yang masih dipegang teguh ketika itu, membahas masuknya pengaruh Barat yang memengaruhi kehidupan masyarakat Jepang. Salah satunya ajaran Kristen mulai diterima dan dikhawatirkan kelak akan menggeser Buddhisme dari posisi strategisnya. Pembahasan mengenai hal ini ditawarkan dengan sangat sabar dan natural, disisipi humor dan ironi, tanpa mengabaikan konteks sosial-politik yang melatarinya ketika itu. Di adegan lain, digambarkan bagaimana relasi personal yang konyol antara seorang lelaki Jepang dan seorang perempuan Amerika bisa membawa keduanya begitu dekat ke semangat kosmopolitanisme, karena mereka perlahan-lahan mulai mengabaikan sekat-sekat sosial, politik, agama, maupun lainnya.

          Ketiga novel ini disajikan dengan tempo yang lambat—di beberapa bagian bahkan sangat lambat. Spring Garden penuh dengan deskripsi yang detail dan obsesif tentang bangunan bernama Spring Garden itu, sedangkan dwilogi Samurai penuh dengan deskripsi yang detail dan obsesif tentang diri tokoh-tokohnya—diri-luar maupun diri-dalam. Temponya yang lambat ini bersesuaian dengan apa yang berusaha ditawarkannya, seperti kesunyian (Spring Garden) dan transformasi masyarakat yang kompleks-cum-gradual (dwilogi Samurai). Dalam hal ini, temponya lambat itu adalah sesuatu yang melengkapinya, yang memperkuatnya, yang turut membangun komposisinya. Akan berbeda tentu kesan yang muncul dan terasa apabila tempo yang ditawarkannya itu adalah tempo cepat.

          Dengan begitu, kita bisa mengatakan bahwa perihal tempo sebuah karya sastra yang perlu dipikirkan oleh si pengarang saat ia menulisnya bukanlah semata apakah temponya ini sebaiknya cepat atau lambat, melainkan bagaimana ia berelasi dengan si karya sastra itu sendiri dengan apa yang berusaha ditawarkannya. Dengan kata lain, kita mengaitkannya dengan kontekss baik-buruknya ia bagi si karya sastra sangat tergantung kepada konteksnya. Ketika kita bicara soal konteks, kita pada akhirnya bicara juga soal sesuatu yang lebih luas, seperti realitas yang tengah berlangsung dan dijalani si pengarang maupun pembaca. Itu berarti, kita mencermati bagaimana tempo sebuah karya sastra berelasi dengan realitas tersebut, apakah ia merepresentasikannya atau menegasikannya atau bagaimana.

Tren, Hegemoni, dan Sikap Pengarang

Setelah menyadari tempo sebuah karya sastra sejatinya berelasi dengan realitas yang dijalani si pengarang maupun pembaca. Kita selanjutnya juga menyadari bahwa ia pada dasarnya adalah unsur belaka dari sebuah karya sastra—tak jauh berbeda dari karakterisasi, gaya bertutur, tema, perspektif, maupun unsur lainnya. Sebab, kita memahami betul bahwa relasi antarunsur di dalam sebuah karya sastra cenderung simbolis. Ia adalah representasi dari relasi konkret yang kita temukan di realitas yang kita jalani, demikian pulalah kita melihat relasi antara tempo sebuah karya sastra dan realitas—cenderung simbolis dan representasional. Dalam redaksi lain kita bisa juga mengatakan ketika si pengarang memilih tempo untuk karya sastranya, ia sesungguhnya sedang mencoba merespons realitas yang dihadapinya, sesuai dengan perspektifnya dan sesuai dengan apa yang diyakininya. Fokusnya, pada seperti apa responsnya ini, bukan semata pada apakah temponya itu cepat atau lambat.

          Pada kasus sang sastrawan terkemuka yang saya bahas di awal tadi, misalnya, ia memilih tempo yang cepat adalah cara ia merespons realitas yang dihadapinya ketika itu, memang seperti mengistimewakan karya-karya sastra bertempo cepat. Di sini ia memilih untuk mengikuti arus yang disediakan realitas atau yang sedang sangat dominan. Ia menceburkan diri ke dalamnya; ia biarkan karya sastranya menjadi bagian dari tren yang sedang hidup meskipun tentu ia secara ketat memperhatikan kualitasnya. Sikap dan pilihannya ini mungkin bertolak pada keyakinan bahwa semakin banyak karya sastranya itu dicari dan dibaca orang semakin itu baik baginya, juga bagi si karya sastra sendiri. Bukan sikap dan pilihan yang buruk. Namun, harus dipahami bahwa sejatinya tersedia sikap-sikap dan pilihan-pilihan lain yang bertolak pada keyakinan-keyakinan lain, yang tidak kalah menariknya dan tetap masuk akal.

          Misalnya, di tengah tren yang sedang mengistimewakan karya-karya sastra bertempo cepat, seorang pengarang bisa memilih tempo lambat untuk karya sastra yang ditulisnya. Ia memosisikan dirinya, begitu juga karyanya, sebagai sesuatu yang berlawanan dengan arus; ia dan karyanya itu bukanlah representasi dari arus melainkan representasi dari sesuatu yang terpinggirkan oleh arus/tertutupi oleh arus. Katakanlah arus itu adalah sesuatu yang dibentuk oleh adanya hegemoni, seperti orang-orang yang tengah menempati posisi-posisi strategis di kesusastraan kita adalah orang-orang yang secara subjektif memang menyukai karya-karya sastra bertempo cepat, maka apa yang coba dilakukan si pengarang itu adalah melawan hegemoni ini, atau paling tidak menentangnya. Memang, sangat mungkin penerimaan dan antusiasme terhadap karya sastra itu di pasaran tidak akan sebaik apabila tempo yang ditawarkannya adalah tempo yang cepat, tetapi paling tidak ia sudah berusaha mengambil jalan lain dan sudah mencoba menawarkan sebuah alternatif. Paling penting, sikap dan pilihannya ini tak mengurangi kualitas karya sastranya. Bahkan, bisa jadi di mata para pembaca yang jeli, hal ini justru dianggap meningkatkan kualitas karyanya atau setidaknya daya tariknya.

Sekali lagi, cepat atau lambatnya tempo bukanlah sesuatu yang harus dijadikan fokus oleh si pengarang saat menulis sebuah karya sastra. Tidak pula ia disarankan atau bahkan diharuskan memilih tempo yang cepat sekadar untuk meningkatkan peluang karya sastranya laris manis di pasaran. Masih ada pertimbangan-pertimbangan lain yang lebih esensial dan mendalam ketimbang itu, seperti bahwa si pengarang memilih tempo untuk mendukung visinya, untuk menguatkan karakternya, atau sebagai bentuk ekspresi—jika ia seorang (pseudo-)ekspresionis. Hegemoni dan tren yang kemudian terbentuk memperlakukan secara istimewa karya-karya sastra bertempo cepat adalah satu hal, bahwa si pengarang memilih tempo cepat untuk karya sastra yang ditulisnya adalah hal lain. Keduanya tidak harus berjalan beriringan. Terpenting, untuk dipikirkan si pengarang adalah bagaimana tempo yang dipilihnya itu berelasi dengan unsur-unsur lain di dalam karya sastranya , dengan komposisi si karya sastra secara keseluruhan, juga dengan realitas itu sendiri—yang dijalani olehnya dan pembaca. Di sini ia berusaha menunjukkan sikapnya sekaligus karakternya dan visinya.(*)

—Cianjur-Bogor, 22-26 Oktober 2019


[1] Untuk lebih jelasnya tentang hal ini silakan baca esai saya, “Perihal Femininitas dan Maskulinitas dalam Karya Sastra” (Nyimpang.com, 15 Juni 2019). Tautan: www.nyimpang.com/esai/ardykresna/perihal-femininitas-dan-maskulinitas-dalam-karya-sastra/.