“Tik…tik…tik,” suara jarum jam yang bergerak sangat perlahan memenuhi ruangan kelas itu. Kesunyian malam membuat suara yang pelan itu seolah keras. Tetapi detak jantung jam itu bukan satu-satunya suara. Ada suara lain yang lebih pelan dan lebih jarang terdengar, suara itu berasal dari gerakan halus dalam membalik lembaran-lembaran buku.

Seorang pemuda berusia dua puluh tiga tahun masih duduk tenang di kelas yang sudah lengang. Sesekali dia membalik lembar demi lembar buku yang dibacanya. Dia tidak punya pilihan lain. Dia sudah menghabiskan siangnya dengan menunaikan kewajiban mengajar di pondok pesantren setingkat SMP, hanya malam, waktu yang bisa dia pakai untuk mempelajari apa yang ingin dia pelajari.

Di samping buku sejarah yang tebal itu dia menyediakan buku kecil yang berisi kata-kata motivasi dari hal-hal yang dia alami dalam kehidupannya. Saat jenuh melanda dia biasa mengambil buku kecil itu untuk kembali mempertegas tekadnya. Dia terus mencoba menyemangati dirinya sendiri.

Belajar adalah tanda syukur atas kejadian yang pernah dia alami. Berada di tempat ini dan kegiatan seperti ini adalah hal yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Ingatan tentang masa lalunya datang bersama embusan dingin angin malam.

***

Empat tahun lalu.

“Fardan, ayo segera tutup! Sudah jam sepuluh,” ucap Bima dengan nada sedikit memerintah.

“Iya, ayo.” Fardan menjawab cepat.

Bima bersama Fardan dengan cepat merapikan tempat mereka berjualan ayam geprek. Mencuci wajan, baskom, dan alat-alat lain dilakukan keduanya dengan cepat. Salah satu alasannya malam sudah makin larut dan mereka ingin segera beristirahat. Bekerja dari jam delapan pagi sampai jam sepuluh malam sudah cukup membuat mereka merindukan kasur. Setelah semua beres mereka segera menaiki motor ke rumah bosnya untuk memberikan setoran hari itu.

“Ini hasil hari ini, Pak.” Fardan menyerahkan semua uang hasil penjualan.

“Alhamdulillah, ini buat kamu.” Pak Dian secara bergantian memberikan gajian harian kepada Fardan dan Bima.

“Alhamdulillah, kami izin pulang, Pak.” Fardan dan Bima hampir bersamaan.

“Silakan,” ucap Pak Dian tenang.

Bima berjalan pulang ke rumahnya sementara Fardan pulang ke kosannya. Setelah makan dan mandi Fardan segera menghitung uang hariannya, 75 ribu, sama seperti hari-hari kemarin. Dia bisa mengumpulkan dua juta dua ratus lima puluh ribu dalam sebulan. Fardan tersenyum melihat angka itu di kalkulator ponsel.

Namun senyumnya sedikit meredup setelah ingat nilai itu harus dikurangi 600 ribu untuk biaya kos. Satu juta enam ratus lima puluh ribu. Itu adalah jumlah bersih yang bisa dia dapatkan dalam sebulan. Fardan bersyukur tidak perlu mengeluarkan uang untuk makan karena dia sudah mendapat jatah tiga kali makan dari tempat kerjanya.

Realitas kadang tidak sesuai dengan rencana. Itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan hal yang dialami Fardan. Setelah lulus dari salah satu SMK favorit di kotanya dia berencana untuk masuk ke salah satu pabrik yang bisa memberinya gaji yang banyak, setelah itu dia akan kembali ke kampungnya untuk berwirausaha menggunakan modal yang didapat dari tabungan selama bekerja. Sebuah rencana yang sederhana. Tetapi sayangnya kehidupan tidak membiarkan rencana sederhana itu berjalan mulus begitu saja.

Kenyataannya dia gagal berkali-kali dalam mengikuti tes kerja. Bukan karena rendahnya nilai akademik atau nilai akhlak. Berulangkali dia telah berhasil melewati tes psikotes dan wawancara namun keberhasilan itu menjadi sia-sia setelah gagal dalam tes medical check up. Pabrik hanya menerima karyawan yang “sempurna”, tinggi dan berat badan harus proporsional. Kata ‘proporsional’ telah menjadi kata horor dalam kehidupan Fardan, dia yang berbadan kurus terus mendapatkan penolakan karena “kata horror” itu.

Sakit rasanya ketika melihat teman-teman yang sering menyontek tugas sekolahnya dan sering mendapat hukuman dari guru malah dengan mudah mendapatkan pekerjaan bergaji tinggi, sedangkan dia malah ditolak berkali-kali, sekali lagi hal ini berkaitan erat dengan kata “horror” sekaligus sakti yang bernama “proporsional”. Nilai-nilai tinggi saat ujian ataupun nilai-nilai harian sama sekali tidak bisa memberikan pertolongan sedikitpun. Nilai-nilai itu tidak lebih berharga daripada tubuh yang tegap dan berisi.

Setelah gagal berkali-kali dalam tes kerja,  Fardan memutuskan bekerja seadanya asal halal. Menjadi penjaga toko dan kuli bangunan adalah dua jenis pekerjaan yang pernah dia jalani. Bayangkan lulusan SMK favorit yang biasanya lulusannya mendapat pekerjaan yang bergaji tinggi ini malah menjadi kuli bangunan.

Sengatan panas matahari tidak ada apa-apanya dibandingkan cibiran tetangga yang terasa sangat pedas. Berbagai ocehan terus disenangdungkan. “Fulan aja yang sekolah SMK di dekat itu, yang bayarnya murah aja bisa kerja pabrik di Jakarta, setiap bulan kirim orang tua. Masa kamu malah jadi kuli bangunan,” atau, “Nanti kalau fulan pulang kampung kamu tanya-tanya dia ya, biar tidak jadi kuli bangunan lagi”, “Percuma bayar sekolah mahal-mahal cuma jadi kuli bangunan,” dan kata-kata semisal terus berdatangan bak guyuran hujan.

Apa pun itu, bisa bekerja yang halal dan masih bisa mengerjakan salat lima waktu di tengah gempuran pekerjaan haram dan terlupakannya waktu salat adalah hal yang patut disyukuri. Fardan pun masih bisa mensyukuri hal itu, walaupun dia tahu pekerjaan seperti ini tidak akan membuatnya dilirik gadis mana pun.

Sekali lagi Fardan masih bisa mensyukuri hal itu, kesempatan salat saat bekerja tidak didapatkan semua orang, beberapa orang terpaksa “mengurangi” jumlah salat wajib karena tuntutan pekerjaan. Adapun di tempat dia bekerja ada istirahat di jam 12 sehingga dia bisa menggunakannya untuk Salat Zuhur, sementara Salat Ashar dia masih sempat mengerjakannya setelah selesai bekerja dan mandi.

Fardan sadar rencana awalnya yang sederhana gagal terwujud, untuk itu dia segera memikirkan rencana lain. Fardan merenung sembari mengistirahatkan tubuhnya di atas kasur. Mencari tempat kerja yang lain, mencoba berdagang dengan modal entah dari mana ataukah mencari kampus untuk kuliah? Sebenarnya poin terakhir adalah poin pilihannya.

Jauh di lubuk hatinya dia ingin sekali menimba ilmu di bangku perkuliahan. Mendengarkan penjelasan dari dosen, berdisukusi, membaca buku dan berbagai jenis kegiatan lain yang terasa sangat indah saat dikhayalkan. Namun untuk sampai ke bangku perkuliahan tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dia tidak mau membebani orang tua yang sudah terkuras akibat biaya mahal SMK tempat sekolahnya dahulu.

Dia tidak mau merepotkan kedua orang tuanya lagi. Tetapi apa yang harus dia lakukan sekarang? Apakah dia masih sanggup bertahan dengan pekerjaan beratnya saat ini? Hal-hal yang berkecamuk hebat dalam pikirannya tadi sementara menghilang tersapu ketidaksadaran bernama tidur.

“Mohon doanya, Bu.” Fardan meminta doa dengan suara yang pelan di depan ibunya.

“Semoga Allah mempermudah jalanmu, Nak.” Sang ibu sebisa mungkin menahan tangis.

“Kamu yakin mau berangkat?” Ibu Fardan terlihat masih khawatir.

“Iya, Bu. Insya Allah ini yang terbaik. Kalau gagal juga saya tidak akan masalah, toh saya masih muda.” Fathan mencoba meyakinkan.

“Ibu nggak masalah kok kamu kerja seperti itu, gaji kamu tidak sebanyak yang lain ibu juga tidak masalah. Asal halal, masih bisa salat dan kamu tidak jauh dari penglihatan mata ibu.” Bola mata bidadari tak bersayap itu mulai berkaca-kaca.

“Mumpung masih muda saya ingin mencoba berbagai hal baru, Bu. Insya Allah banyak kebaikan dalam hal ini. Jadi tolong minta ridhonya agar segala urusan saya di tanah perantauan nantinya diberkahi dan dipermudah.” Fardan mencoba menjelaskan sebaik mungkin.

“Iya, ibu ridho. Selama niatmu benar Allah akan memberi jalan. Tetapi ya, seorang ibu yang akan ditinggal oleh anak bungsunya memang tidak akan mudah.” Ibu yang penuh kasih sayang itu memandang Fardan lekat.

“Iya, Bu.” Fardan hanya bisa menjawab singkat, tidak tahu harus berkata apa lagi.

“Aku izin berangkat, Pak. Minta ridho dan doanya.” Kali ini Fardan meminta izin ayahnya.

“Bapak ridho dan akan selalu mendoakan. Semoga Allah mempermudah setiap jalanmu. Jadilah kuat, pemuda tidak boleh lemah!” ucap Bapak Fardan sambil memegang bahu kiri anaknya yang akan merantau.

Sebelum benar-benar berangkat Fardan mencium kening dan tangan kedua orang tuanya secara bergantian. “Bismillah saatnya berangkat!” ucap Fardan bersemangat.

Bus malam yang ditumpangi Fardan kemungkinan akan sampai ke Bogor sebelum azan Subuh berkumandang. Dia membuka ponsel untuk memastikan tempat di mana dia harus berhenti dan apa yang harus dikendarai untuk sampai ke tempat tujuan. Ini pertama kalinya dia berpetualang ke Bogor. Mungkin ini salah satu sebab ibunya sedikit khawatir. Dia belum pernah sampai ke kota hujan, tempat tujuannya pun baru dia lihat lewat internet.

Pondok pesantren. Itulah tujuan Fardan pergi jauh ke Bogor. Beberapa waktu setelah malam perenungan dia melihat program beasiswa S1 lewat di beranda media sosial. Menurutnya beasiswa ini bisa menjadi jalan keluar dari masalah yang dihadapinya saat ini. Program ini menawarkan dua hal sekaligus, pelajaran pondok dan kuliah. Dan berita bahagianya, ini semua gratis, serta di pondok itu dia mendapat jatah makan tiga kali sehari.

Namun untuk mendapatkan beasiswa itu dia harus melewati rangkaian tes terlebih dahulu. Inilah yang membuatnya sedikit khawatir. Di sekolahnya dahulu pelajaran agama hanya mendapat jatah dua jam pelajaran per pekan, tentu dibanding saingannya yang berasal dari pondok pesantren hal itu tentu sangat kurang. Apa pun itu, kalau tidak dicoba dia tidak akan tahu hasilnya. Entah berapa persen kemungkinan berhasilnya, kemungkinan tetaplah kemungkinan, masih ada asa di sana.

Lagi pula dia juga telah menambal kekurangan itu dengan banyak membaca buku agama dan mendengarkan berbagai ceramah dari para kiyai dan ustaz, dan tentunya yang terpenting dia telah berdoa dan mendapat rida dari kedua orang tuanya. “Jika seorang hamba telah menyempurnakan niatnya, Allah juga akan menyempurnakan pertolongan-Nya.” Fardan menirukan kalimat yang pernah dia dengar entah dari mana.

Setelah menyelesaikan tes dia pergi ke rumah kakaknya yang ada di Bekasi. Sambil menunggu pengumuman kelulusan. Sembari menunggu pengumuman tersebut, dia memutuskan untuk bekerja di salah satu tempat di Jakarta. Tentu bukan pabrik, dia bekerja di tempat jualan ayam geprek. Masuk kerja jam delapan pagi dan selesai jam sepuluh malam. Adapun upah diberikan per hari tujuh puluh lima ribu. Di kota besar jumlah itu memang bukanlah jumlah yang besar.

Namun salah satu hal yang membuatnya senang bekerja di sana adalah salat. Bosnya yang bernama Pak Dian sangat memperhatikan ibadah salat. Pak Dian berpesan agar setiap azan berkumandang untuk menutup tempat itu sejenak dan mengharuskan para pekerjanya pergi ke masjid terdekat. Sebuah peraturan yang sangat indah bagi Fardan.

Fardan hanya berjualan berdua dengan tetangga Pak Dian yang bernama Bima. Fardan masih teringat ketika dia baru datang dari Bekasi, dia langsung diamanahi untuk memegang uang harian usaha geprek itu, seraya Pak Dian berpesan, “Saya tidak khawatir kalau kamu membawa semua uang hasil penjualan, sebab kalau kamu melakukan hal itu, saya bisa menagihmu di hari kiamat kelak.” Fardan menyukai keyakinan kuat Pak Dian terhadap Allah dan juga menyukai bagaimana cara dia menaati Penciptanya.

Namun Fardan hanya bekerja di sana selama beberapa bulan, karena setelah hari raya Idul Fitri pengumuman yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba dan berisi kabar yang diinginkan pula. Namanya masuk dalam 100 orang yang diterima mendapatkan beasiswa kuliah tersebut.

***

“Pintu sukses tidak tertutup bila kau gagal, tetapi ketika kau menyerah.” Fardan membaca kata-kata yang dia tulis di buku kecilnya. Kata-kata itu dia rangkai saat dia masih menjadi kuli bangunan. Dia kembali membaca kata-kata itu untuk mengingatkan kembali bahwa apa yang dia lakukan saat ini tidak lebih berat daripada apa yang dia lakukan empat tahun lalu. Mengangkat satu buku tidak bisa dibandingkan dengan mengangkat ratusan bata. Tentu sangat tidak bisa. Apa yang dia lakukan saat ini jauh lebih mudah.

Walaupun dia harus sedikit merelakan waktu tidurnya terpotong. Siang hari telah dia gunakan untuk membantu mengajar di pondok pesantren setingkat SMP. Pasalnya program beasiswa tadi berisi tiga tahun belajar di pondok dan satu tahun mengajar di pondok pesantren lain yang masih dalam satu yayasan. Adapun masalah kuliah dia tinggal menyelesaikan skripsi.

Fardan kembali membaca buku sejarah islam. Tidak ada kata terlambat dalam belajar. Walaupun dia menekuni hal-hal berkaitan agama, baru di waktu kuliah hal itu bukanlah masalah. Dia pernah datang ke kajian yang ternyata pemateri kajian tersebut dulunya bukan muslim.

Fardan masih mengingat kata-kata ustaz tersebut, “Saya dulu masuk Islam umur 19 tahun dan di umur 23 tahun saya sudah mulai berdakwah dari kajian satu ke kajian yang lain.” Fardan tertegun mendengar kalimat itu.

Sebelum memutuskan masuk pondok dia sempat ragu apakah nanti di pondok bisa mengejar ketertinggalan atau tidak. Dia merasa malu pernah berpikir seperti itu, orang yang masuk Islam baru di umur 19 tahun saja di umur 23 tahun sudah mulai berdakwah. “Masa saya yang sudah Islam sejak kecil malah merasa tidak pantas masuk pondok dan telat dalam memulai mencari ilmu?” ucapnya dalam hati. Setelah mendengar penjelasan tersebut dia memantapkan hati untuk pergi merantau untuk mencari ilmu.

Sebanyak apa pun semangat ataupun tekad yang ada di dalam dada, tetap saja yang namanya manusia pasti merasakan lelah dan kantuk. Itu juga yang dirasakan Fardan sekarang. Malam yang makin larut juga menambah kadar kantuk. Dimulai menaruh kepala di atas meja sambil tetap membaca buku, kedua mata yang terbuka itu perlahan-lahan menutup.

Buku besar sejarah itu tergeletak di meja dan tangannya bergerak menindih buku kecil tanpa sadar. Halaman yang terlihat dari buku kecil tersebut tertulis, “Kalau kau bukan Si Jenius yang tak pernah gagal, jadilah Sang Pejuang yang tak pernah menyerah.”

*) Image by istockphoto.com