Sang Ibunda Menyuapiku Waktu Sahur
Sang ibunda menyuapiku
dengan sepotong bandeng
tepat di waktu sahurku.
Tanpa melepaskan sedikitpun
duri-duri yang runcing
sang ibunda tak menyadari
mereka lihai menancapkan diri
kepada dinding tenggorokanku
hingga aku tersedak menyisakan
nada-nada serak–bersorak penuh muak.
Sampai menunjukan waktu tiba imsak
aku masih bekerja keras memuntahkan
beserta amukan kecam penuh kesan kecewa.
Semakin aku tercekik
sang ibunda berniat
menyodokku
dengan gumpalan nasi
dan aku menelannya
hingga liang tenggorokanku
juga tak kunjung lerai
persis murid polos
diracun sekotak susu basi
berkat makan bergizi gratis.
Tampak samsak mungil
yang tergantung dalam
rongga tenggorokanku
ikut meradang bengkak
penuh bekas tonjok
sebab nada-nada lepas kesalku.
“Tetaplah makan dan janganlah ngerengek
seperti anak kecil kerasukan minta netek!”
Sedang aku melanjutkan suapanku
dari sang ibunda hingga subuh tiba
seolah aku terpaksa untuk siap tidak berpuasa.
(2025)
***
Protes Sebab Ulah Ibunda
Memendam dendam
yang binal sekalipun
tak tega bila terbiarkan.
Sedang aku hendak protes
kepadamu adalah wujud
penebusan dosa
sebab ulahmu melanji
di masa silam, ibunda
seperti kenang risalah
Batsyeba dan Daud
yang suram ditikam
pada silam setubuhnya.
Maka, dengarkan
denting jemari Tuhan
mengetuk baring tubuhmu
sebagai sinyal siasat
menembus kromosomku
yang seketika kehilangan
value atas cinta kasih
dirimu dan diriku, ibunda
persis bengis Absalom
melepas jasad Daud
kembali memungut nyawa
lagipula mengemis belas kasih.
Di kasur bentala sana,
ayahanda menantimu tiba.
Kini di ujung bentala itulah,
ayahanda menyeka pedih
letusan kosmos
yang merembes jauh
bersama sehabis penuh
keringat dalam tubuhnya.
“Tidakkah kau sadari dan menyesali
betapa lama ayahanda menantimu
agar bisa singgah bersamamu di Eden
untuk menyaksikanku bertumbuh
dan kembali berkumpul denganmu, ibunda?”
Segala peristiwa
dariku atawa ayahanda,
tewas buyar hati tak tersisa.
Dan yang bisa kulakukan
sembari menebusmu kini
adalah menelan sisa tinja
dari anusmu, ibunda.
Segala maaf darimu
telah kumaafkan, ibunda.
Dan maafkan segala dariku
meski ibunda tak memaafkanku
sebab kromosomku tak segan
mengirimku suatu kemampuan
untuk mengutukmu, menendangmu,
dan memberimu sayang terakhir
ke dalam muntung kubangan
yang menganga panas kian garang.
(2025)
*) Image by istockphoto.com







