Pancaran sinar rembulan dan bintang memberi pesona keindahan langit malam itu. Lamunanku menerawang jauh, di atas kursi rotan yang sudah usang termakan waktu. Pandanganku mengarah pada pojok halaman rumahku. Apalagi kalau bukan tempat sampah yang dipenuhi oleh sampah organik dan nonorganik.
Ingatanku langsung tertuju pada masalah sampah di sekolahku. Pikiran ini semakin berkecamuk dan menggelayut di kepalaku. Apa yang harus kulakukan? Mengapa harus ada sampah di sekolahku? Siapa yang harus bertanggung jawab? Kapan harus dimulai? Dan bagaimana solusinya? Pertanyaan-pertanyaan itu menari-nari di pikiranku. Belum selesai semua pertanyaan-pertanyaan itu kujawab, suara lembut ibuku membuyarkan semuanya.
“Fi, belum tidur, Nak?” Ibu menepuk pundakku dengan pandangan menyelidik, seakan-akan ingin tahu apa yang sedang aku pikirkan saat itu. Kutepis tatapan itu dengan senyuman hangat untuk menyambut kehadirannya.
“Belum, Bu. Fifi belum mengantuk.”
Ibu hanya bisa tersenyum seraya membelai rambut anak kesayangannya ini.
“Jangan tidur larut malam. Tidak baik untuk kesehatanmu,” ujar Ibu kemudian, seraya meninggalkanku dalam kesendirian malam.
Tanpa sadar, jam sudah menunjukkan pukul 24.00 WIB. Dengan langkah gontai, aku bergegas memasuki kamar tidurku, dan langsung menjatuhkan diri di peraduan yang penuh kehangatan. Kupandangi langit-langit kamarku dengan tatapan sendu. Pikiranku masih dipenuhi hal terkait sampah di sekolah.
Aku harus bisa, dan aku pasti bisa! Aku membatin, penuh percaya diri.
Kriiiiing…!
Suara jam beker berusaha membangunkanku. Aku pun terbangun dan segera beranjak dari tempat tidur. Bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Cerahnya pagi ini kusambut dengan keriangan hati mengayuh sepeda pemberian Kakek, seakan tak peduli dengan udara pagi yang telah bercampur dengan asap kendaraan bermotor dan debu jalanan yang berterbangan tertiup angin.
Tiba di gerbang sekolah, terdengar sayup-sayup suara penghuni sekolah memecah kesunyian pagi. Dengan langkah pasti, kulangkahkan kaki menuju kelasku. Terlihat teman-temanku yang sedang asyik bersenda gurau di depan kelas.
“Hai, semua!” sapaku, penuh semangat.
“Hai, Fi!” jawab mereka secara bersamaan. Hanya suara Deka yang tidak terdengar jelas olehku. Kudekati dia untuk mencari tahu apa yang sedang dipikirkannya.
“Apa yang kamu pikirkan, Dek?”
“Teman-teman, coba kalian perhatikan sampah di sekitar selokan itu,” ucap Deka sambil menunjuk selokan yang dipenuhi sampah.
“Ada apa dengan selokan itu? Bukankah selalu seperti itu?” Selfi menanggapi.
“Apakah kalian merasa nyaman dengan sampah-sampah itu?” tanya Deka.
“Sebenarnya tidak, tapi mau bagaimana lagi. Setiap hari kan sudah dibersihkan oleh Mbak Suci, tapi selalu seperti itu lagi,” keluh Intan.
“Mari kita bersihkan. Masih ada waktu sebelum bel masuk berbunyi,” ucapku menyemangati.
“Tapi, itu kan tugasnya Mbak Suci,” timpal Dino.
“Kebersihan sekolah itu tanggung jawab kita bersama. Bukan hanya Mbak Suci atau petugas kebersihan lainnya,” jelasku, sambil berjalan mengambil sapu dan pengki, diikuti yang lainnya. Kami pun memulai kegiatan membersihkan lingkungan sekolah secara bergotong royong.
***
Black Soldier Fly atau lalat tentara hitam, materi IPA hari ini yang sedang dijelaskan oleh Bu Ani di kelasku. Aku sangat antusias dan tertarik dengan apa yang dia sampaikan.
“Black Soldier Fly atau dikenal dengan nama ilmiah Hermetia Illucnes adalah serangga yang termasuk ke dalam kelompok keluarga lalat dengan Ordo Diptera. Serangga ini tersebar luas hampir di seluruh belahan dunia. Hanya kita saja yang mungkin tidak sadar akan keberadaan serangga ini,” jelas Bu Ani.
“Pemanfaatan serangga ini terletak pada fase larva, yang berbentuk belatung lalat.” Bu Ani menjelaskan sambil menunjukkan gambar belatung pada layar proyektor. “Belatung ini dapat mengurai limbah organik secara cepat. Umumnya limbah yang kaya akan nitrogen, contohnya limbah makanan. Mereka memakan limbah tersebut dan mengurainya menjadi semacam kompos.”
“Sampah organik ternyata dapat dimanfaatkan menjadi kompos dengan media belatung lalat tentara hitam,” gumamku, pelan.
“Black Soldier Fly tidak dianggap sebagai pembawa penyakit layaknya lalat buah atau lalat rumah pada umumnya, karena Black Soldier Fly tidak tertarik ke tempat manusia atau tidak hinggap pada makanan manusia.” Bu Ani melanjutkan.
Kriiing…!
Bel istirahat sudah berbunyi, tanda pelajaran berakhir. Aku mengembuskan napas dalam-dalam, sebagai bentuk protesku terhadap waktu.
“Ada apa, Fi?” tanya Deka ingin tahu.
“Aku sudah menemukan cara menanggulangi sampah-sampah di sekolah kita ini,” ucapku dengan senyum mengembang.
“Bagaimana caranya, Fi?” tanya Intan.
“Kita manfaatkan Black Soldier Fly untuk mengurai sampah organik menjadi kompos,” jawabku, bersemangat.
“Tapi bagaimana caranya? Apakah kita harus mencari kotoran agar lalat ini datang?” tanya Dino, penasaran.
“Tidak. Kotoran saja tidak akan membuat lalat ini datang. Yang membuatnya datang adalah aroma kuat dari buah-buahan busuk yang telah mengalami proses fermentasi, seperti yang telah dijelaskan Bu Ani. Lalat ini tidak mau hinggap di kotoran untuk meletakkan telur-telurnya. Oleh karena itu, kita perlu menyediakan tempat bersih agar mereka mau meletakkan telur-telurnya. Salah satunya berupa potongan karton berongga atau daun pisang kering,” jelasku.
“Oh, iya. Selain sebagai pengurai sampah organik, larva ini juga dapat diberikan kepada hewan ternak, seperti ayam dan ikan,” tambahku, menirukan penjelasan Bu Ani.
Bel pulang sekolah berbunyi, kami segera menuju ke belakang sekolah untuk memisahkan sampah organik dengan sampah nonorganik. Kami ingin memanfaatkan belatung lalat tentara hitam untuk menguraikan sampah organik menjadi kompos dalam waktu singkat.
“Fi, bagaimana jika kita membuat kolam ikan,” usul Shelfi.
“Kenapa kita harus membuat kolam ikan?” tanya Intan.
“Bu Ani tadi menjelaskan, belatung-belatung ini nantinya dapat diberikan kepada hewan ternak seperti ayam dan ikan. Kita dapat memelihara ikan di kolam, sambil membudidayakan tanaman dengan metode aquaponik di atasnya. Jadilah sekolah kita ini menjadi sekolah yang inovatif dan bebas sampah,” ujar Shelfi, bangga.
“Ide yang bagus,” kata Intan.
“Tapi, untuk membuat itu semua dibutuhkan biaya yang besar,” keluh Shelfi.
“Benar juga ya,” timpal Dino.
“Kita bisa memanfaatkan sampah nonorganiknya. Kita olah menjadi bahan kerajinan tangan berbahan limbah sekolah yang berdaya guna,” ucap Deka, semangat.
“Setuju! Kita harus berusaha mandiri. Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah,” ucapku, tak kalah semangat.
Waktu terus berjalan seiring kehidupan di sekolahku yang semakin gemilang. Kini tiada lagi sampah kutemukan. Hanya ada kreativitas dan inovasi dari para penghuninya. Aquaponik dan pembudidayaan belatung lalat tentara hitam itulah buktinya. Kebanggaan terpancar dari wajah penghuni sekolah yang kreatif dan inovatif. Selamat tinggal sampah, dan selamat datang Adhiwiyata di sekolahku.[]