ziarah taman bungkul
taman ini menjelma katup
yang terbuka saat hari senja
aku berdiri di tepiannya
disergap lamunan seribu anak muda
yang tergesa menghirup kopi atau membuang bosan
dan menukarnya dengan peluk hangat kekasih
taman ini juga
merekam sepersekian persen dari tingkah kotamu
suara perempuan mengutuk-ngutuk suaminya lewat ponsel
orang-orang membeli mobil untuk menikmati kemacetan
dan suara rem berdecit panjang mendorong sore jadi malam
malam menduduki bangku-bangku taman ini
bangku yang dulu pernah sama-sama kita duduki
lalu meninggalkannya kosong dan sendiri
*
starlet
antara tubuhmu dan jalanan yang kulalui
selalu menyisakan debar tak kenal usai
tak tahu lagi dengan kekuatan apa
aku bisa melawan tatapan matamu
: batuan cadas—terkaman hewan buas
ketika hari hujan dan kau begitu jauh
seluruh gerak melambat di semestaku
selain kesedihan, tak ada yang bergerak
cepat menggenapi seluruh tubuhku
malam turun lembar demi lembar
dengan kegelapan yang membuat cantikmu
serupa starlet yang mengapung di danau hitam mimpiku
*
bundaran waru
di kotamu yang telah tiris
aku hanya turis
yang dikirim oleh masa lalu
sejauh kenang memanjang
aku cuma gema dari bayang-bayang
tualang bimbang yang takut pulang
sebab ranjang adalah jurang, sayang.
*
makan pagi di garasi
bulan telah menempuh separuh jalan
setelah kita tunai menyigi masa lalu dengan puisi
di rambut semua orang bintang-bintang mati
tinggal kita berdiri digigil udara masai
⎼menepi di parak pagi
aku kira cuma kata
mengapung di lambungmu yang perih
tapi tidak. tidak. ada anggur yang menjenguk kedalamannya
“antar aku ke sumur, biar kuseka wajahku debu
yang menyatu bersama timbunan waktu,”
lirihmu serupa gema bisik pengembara
sepiring nasi sepenuhnya dekat dengan detak nyawa
makan nasi di garasi sama halnya upacara tolak bala
selain alasan mengapa bumi dihamparkan.