Syehrazad, kekasihku yang amat kucintai. Aku menulis surat cinta ini kepadamu setelah kamu meminta sesuatu yang tak mungkin lelaki lainnya sanggup memenuhi, kecuali aku. Telah kuputuskan untuk mengambil risiko demi memenuhi permintaanmu yang aneh itu. Aku tuliskan surat cinta ini untuk memberi kabar kepadamu. Kumasukkan dalam sebuah botol kaca yang dijaga oleh laba-laba. Tidak ada tangan yang berani mengambil surat dalam botol itu kecuali kamu. Sudah kupinta angin untuk meniupkan hembusan suaraku ini. Kalau sudah sampai kepadamu, entah sudah berapa lama aku berada di Halfeti. Mungkin keberuntungan, jikalau surat ini dihanyutkan oleh gelombang laut, tersangkut di karang, atau dilempar ekor ikan-ikan paus hingga sampai padamu. Bacalah kekasihku yang amat kucintai.
Aku telah memutuskan untuk berlayar menyebrangi sungai Eufrat yang menyeramkan. Selama ini, tidak ada yang berani menyebranginya kecuali tentara Mongol dan Turki. Dari tumpukan kayu cendana, akhirnya jadilah sebuah perahu yang cukup untuk satu orang dan satu ekor keledai. Sebagai gantinya, rumah peninggalan mendiang istriku kugadaikan kepada tuan tanah yang tamak. Mungkin ini satu-satunya jalan yang harus kujalani. Menyebrangi Eufrat.
Kata orang-orang yang ahli dalam seluk beluk kapal, kayu cendana yang harum ini membawa keselamatan. Penghuni Eufrat akan senang melihat kapal itu, lalu mengabulkan sebuah permintaan. Sudahlah lupakan saja, itu sudah kulalui. Setelah melewati sepertiga sungai Eufrat, tidak juga muncul penghuni Eufrat. Perjalananku kali ini, aku membawa keledai yang setia menemaniku. Dialah sahabatku dikala sedih, bersedia membelikan gandum di pasar, dan membawaku ke tabib saat sakit. Aku tak bisa meninggalkannya, seperti aku tak bisa meninggalkanmu.
Sebelum perjalanan ini kulakukan dengan tekad dan kebodohan, seorang wanita berhidung mancung dan panjang, sangat panjang dengan ujung telinga yang runcing berbicara kepadaku, “Kalau nanti sudah sampai di sana, kamu hanya akan menemukan kesedihan dan kehilangan.” Dia wanita yang gila, berbicara tanpa arah tak terkendali. Aku senyum kecut padanya. Tidak ada halangan yang boleh menghambat pelayaran bersejarah ini. Aku dan keledai ini akan tetap memegang perahu ini supaya tidak karam diterjang lautan buas. Hanya kapal ini satu-satunya harta benda di atas bumi, setelah rumahku tiada.
Banyak berbagai hal yang kualami dalam perjalanan ini. Kalau tidak percaya, bertanyalah pada keledai yang selalu di atas perahu bersamaku selalu. Aku telah menuliskannya di dalam surat yang sedang kamu baca ini. Kamu tahu sendiri, mesir jauh dari laut dan mata air. Aku menaiki punggung keledai ini selama dua hari dua malam. Selama di atas punggung sahabatku, aku gemetar ketakutan sebab suara kucing liar masih terdengar di gurun-gurun. Selain itu, aku juga harus melawan ketakutan melawan teror hewan melata yang mempunyai racun yang berbahaya, atau mereka bisa saja menyerang kami dari belakang.
Angin telah menjadi saksi, betapa keras perjuangan hidup seorang pengembara. Hanya berteman keledai dan belati, tanpa berbekal kompas dan buku pedoman arah, perjalanan kami sedikit mengesankan. Syehrazad, kekasihku yang sangat kucintai. Sekali lagi kutambahkan kata cinta ini biarpun hidup jauh darimu.
Matahari siang hari semakin membakar kulitku. Bulu keledai makin rontok diganyang panas. Kini giginya yang berbau pasir memuntahkan debu dan terbatuk-batuk. Itulah saat aku terbahak melihat kelucuan. Suara yang muram dan gelisah mendekap dua mahluk. Berdua bagaikan sepasang kekasih.
Berlayar meretas layar kapal. Kayu kapal yang sedikit rapuh selalu kutambal dengan harapan. Aku dayung melewati sungai yang agung. Sungai yang bermata biru dan bertubuh indah, berkelok-kelok di setiap melewati gunung yang besar. Aku mendayung dengan tekad dan keberanianku. Masih belum hambar jiwaku sebagai seorang lelaki. Kini harus kudapatkan bunga mawar di Halfeti.
Syehrazad, ketahuilah kembali. Dalam perjalanku ini aku tidak membawa cukup bekal makanan. Hanya dua bungkus kain roti yang kusimpan di saku bajuku. Bahkan, keledai ini aku biarkan minum di samping kapal. Meminum air sungai yang mengalir deras. Biarlah perjalanan ini penuh makna. Jangan biarkan lagi aku diburam ketakutan dan kegelisahan.
Setelah berlalu kota Mesir, kini telah sampai kita pada kota Persia. Percik lampu dan meriam menjelang petang membantu perjalanan kami dalam kegelapan malam. Orang-orang Persia suka dengan gunung dan lautan. Mereka berdiri di tepi sungai Eufrat untuk melemparkan bunga dan menyalakan api perkemahan. Gunung-gunung mereka tundukkan sebagai tempat hunian. Melewati Persia bersama sahabatku, si keledai yang diam saja dari tadi. Bersama awan yang mendung, menabur air ke bumi.
Di musim hujan seperti saat ini, angin setiap hari datang dari segala arah. Membuat ombak yang besar dan tiada terkira. Sehingga kapal cendana ini kadang terombang-ambing. Kadang pula hampir karam ke tepian dinding batuan yang cadas. Apalagi kalau malam, angin telah membuat kami harus menepi ke daratan. Kalau itu tidak dilakukan, bisa saja pucuk tiang kapalku patah dan membuat kapal kehilangan keseimbangan, atau bahkan membalikkan badan kapal.
Kami menepi ke daratan. Sebuah gurun yang hijau. Dipenuhi oase dan kurma yang menjadi ladang rizki tiada terkira. Aku segera menaiki batang pohon kurma. Memetik buahnya yang ranum satu per satu. Sungguh ini bukan mimpi. Gurun yang subur ini mengingatkanku pada seorang dari suku Akadian yang pernah menaruhkan kejayaannya di gurun. Aku menjatuhkan kurma itu satu persatu. Keledai ini langsung memungutnya dengan mulut yang kepanasan dan kelaparan. Beginilah perjuangan dan penderitaan.
Malam itu aku membuat perapian. Supaya tidak ada ular atau hewan liar yang mencekik leher keledaiku. Supaya tidak mengganggu kami ini yang sangat lelah. Di bawah malam yang dihiasi bulan dan bintang yang benderang, tetapi dingin dan menusuk pinggang. Layar kapal harus menjadi selimut untuk kami malam itu.
Esoknya mesti kulanjutkan perjalanan. Kuasah kemilau belatiku yang tajam. Sesekali kugunakan untuk memotong roti. Sebelum berlayar lagi, aku harus mengisi tenagaku, atau dikalahkan oleh angin lautan.
Sudah enam hari aku berlayar. Setelah melewati dua kota yang bersejarah, Mesir dan Persia. Kapal cendana yang harum ini mengharumkan air sungai Eufrat. Di hari itu, angin sangat tenang. Bahkan aku merasakan tidak ada angin. Gelombang tenang sekali. Kucoba membasuh mukaku dan melihat ke dalam air. Tiba-tiba, mataku menjadi merah. Wajahku merah merona. Seluruh tubuhku menjadi merah. Aku angkat kembali kepalaku. Kulihat ke belakang. Keledai itu tak berubah menjadi merah. Aku tengok lagi kapalku, tak juga menjadi merah. Hanya punggung kapal yang berwarna merah. Sungguh, air di laut ini sangat berwarna merah. Seperti darah. Untuk mencapai Halfeti, melewati muara Eufrat, melewati lautan, dan melewati gunung dan gurun telah mewarnai pengembaraanku. Seperti saat harus meninggalkan Mesir, terlebih dahulu aku harus mengarungi laut Merah, melewati padang Sahara, dan kuil-kuil peninggalan Yunani.
Aku tak tahu nama laut yang berwarna darah ini. Tetapi, aku teringat pesan dari seorang nenek yang pernah kujumpai. Kalau sudah sampai di laut yang berwarna merah darah, maka itu tandanya perjalanan menuju Halfeti semakin dekat. Halfeti kini semakin dekat kurasakan. Air laut merah ini menutupi dasar lautan yang tak terlihat sama sekali. Tidak ada tanda kehidupan di sana. Ikan-ikan dan bintang laut tak muncul mengambil udara dan menyapa orang-orang. Suasana yang seperti itu sungguh mencekam bagi manusia. Lautan yang merah serta buih pasir yang merah pula. Seperti bekas peperangan yang menumpahkan darah.
Waktu itu memang senja, awan berubah. Sungguh berubah, menjadi merah darah. Seperti air lautan tempat kapalku berpijak. Apakah ini kiamat, perbuatan sihir, atau sifat alam. Aku sungguh dibikin gila dan tak menemukan jawaban. Keledaiku meringkik. Meringkik dengan suara lirih dan semakin keras. Seekor penyu besar beriak ke permukaan air. Dari cangkangnya yang separuh kelihatan, nampak seperti seekor penyu. Tetapi tunggu dulu, penyu itu berleher panjang dan bergerak seperti lumba-lumba. Aku tak bisa menjulukinya penyu. Sepintas saja terlihat seperti penyu. Ternyata bukan. Aku semakin dibuat tak berdaya. Keledaiku semakin meringkik keras kembali. Tangan kananku bersiap memegang belati, berjaga-jaga kalau hewan itu menyerangku. Mahluk yang terlihat seperti seekor penyu itu masih berloncatan seperti lumba-lumba. Tetapi tak menunjukkan tanda untuk memangsa kami. Layar kapal cendana ini terus di dorong angin. Kami berlabuh di sebuah teluk. Aku menjulukinya teluk tanpa nama, karena aku sendiri tak tahu nama teluk tersebut.
Panas sekali, hanya ada tumbuhan kaktus serta tumbuhan yang berdaun rapat seperti cawan. Tak ada seorang manusia di sini. Hanya hewan-hewan melata seperti kadal yang berlarian mengejar ekor temannya sendiri. Panas sekali pasir di sini. Kakiku melepuh kepanasan. Keledaiku tergeletak lemas dan tak mau berjalan. Saat itulah, aku kehilangan semangat dan hampir putus asa. Sudah berhari-hari melewati perjalanan, raungan samudra, gurun yang ganas, dan tebing yang sepi. Melewati kota-kota tua dan permai, tetapi aku kali ini hampir berputus asa. Aku bersandar pada sebuah batu untuk melepas penat. Tiba-tiba, kejadian tak terduga terjadi. Aku tidak berbohong, sebuah batu berbicara kepadaku. Aku sangat ingin tidak mempercayai ini. Tetapi itu benar, batu tersebut berbicara kepadaku. Aku masih sadar, dan tidak dalam mimpi. “Siapakah kamu? Apakah kamu tinggal di sini? Jangan bersandar kepadaku,” ucap batu itu. Aku masih tak ingin percaya, tetapi hal itu benar-benar terjadi. Aku mencoba menjawab dengan mulut gemetar, “Aku Mustafa, dari Mesir. Aku sejenak bersandar, karena aku penat melewati lautan merah dan awan merah di Baghdad.”
Aku masih mencoba untuk tak percaya. Batu itu berbicara padaku lagi, “Apa tujuanmu? Kalau tidak ada tujuan, segeralah berpaling dari sini.” Batu itu seperti batu Nabi Sholeh yang melahirkan unta, atau juga seperti batu yang membela Nabi Muhammad ketika menumbuhkan tumbuhan dari dalamnya, atau juga batu yang menyimpan orang sholeh dan alim yang ditunjukkan kepada Nabi Sulaiman. Aku berpikir semakin kacau. Kucoba menjelaskan tujuanku ke sini, “Aku sedang mencari bunga mawar hitam. Di dunia ini hanya Halfeti tempat tumbuh bunga itu, tempat yang sudah ditaklukkan oleh Turki. Tak bisa kuceritakan panjang lebar kenapa aku nekat melakukan hal ini. Sekiranya, kenapa kami disuruh harus segera berpaling dari pulau ini?”
Aku merasa diinterogasi oleh batu tersebut. Dia menanyakan hal yang paling dalam, rahasia dari perjalananku ini. Batu tersebut bersuara kembali, “Segeralah berpaling dari sini, kamu tak akan sanggup berlama-lama di sini. Jangan mendekati danau dan sebuah tebing berlubang di pulau ini. Orang-orang menjuluki danau tersebut ‘Danau Tiberias’. Segeralah berpaling dari sini.”
Aku paham yang dia katakan. Aku segera berpaling dari tempat tersebut. Melanjutkan perjalananku kembali. Sungai Eufrat yang berwarna hijau cukup indah untuk dilihat. Sanggup menghibur hati yang kacau. Keledaiku tertidur pulas di atas kapal cendana. Aku lapar, kubuka bekal makananku. Roti bekal perjalananku tinggal separuh telapak tangan. Aku sungguh lapar, tapi juga memikirkan nasib keledai itu. Aku telah membawanya untuk menemani perjalananku. Aku tak bisa membiarkannya kelaparan saat dia terbangun. Aku juga memiliki rasa tanggungjawab. Kulemparkan sedikit kepingan roti yang tersisa untuknya di hadapannya, biar nanti cukup untuk mengganjal perutnya. Kami masih berlayar.
Tebing-tebing menjulang tinggi. Air sungai Eufrat berkilauan diterpa matahari. Di ujung sana, kulihat sebuah kawasan penduduk dan bendungan yang besar. Aku teringat pesan seorang nenek yang sempat menyapaku, “Kalau nanti kamu melihat air sungai Eufrat berkilauan seperti emas, terlihat pemukiman dekat sungai Eufrat yang dekat sebuah bendungan besar, di situlah kamu mencapai perjalananmu.”
Hatiku sungguh riang. Tak sia-sia aku melakukan perjalanan ini. Kutengok keledai sahabatku, dia sudah terbangun dengan mulut menguap. Aku berteriak bahagia, “Eufrat, Eufrat, aku telah menaklukanmu. Halfeti, kini aku datang kepadamu.”
Kami tiba di Halfeti. Penduduk di sana ramah sekali. Mereka sangat menghargai tamu dan orang lain. Kami dipersilahkan menginap di rumah salah satu penduduk Halfeti bernama Umairoh. Suami Umairoh yang bernama Abizard juga ramah kepada kami. Aku dan keledaiku disambut hangat. Keledaiku tetap menunggu di luar rumah bersama domba-domba Abizard, minum air dari sungai Eufrat yang jernih. Aku sendiri dijamu Abizard dengan madu yang manis. Kata dia, madu ini sangat cocok untuk mengobati dahaga. Aku melihat daun berwarna hitam di atas meja, mungkin itulah daun dari mawar hitam.
“Apakah daun yang berwarna hitam itu daun mawar hitam?”
“Bukan, ini daun tumbuhan yang kami bakar, untuk mengobati sakit anakku yang memar karena terjatuh dari atap rumah.”
“Maklum, aku belum pernah sama sekali melihat bunga mawar hitam.”
“Bunga mawar hitam sekarang sulit dicari. Dahulu, Halfeti memang surganya mawar hitam. Tumbuhan itu sangat indah, dan wanginya sangat menyegarkan. Tetapi, sejak kemunculan sekelompok manusia yang memuja iblis datang menyerang Halfeti, bunga mawar hitam juga menjadi tujuan mereka datang ke Halfeti. Mereka menculik bayi yang baru lahir dan membunuh sebagian dari kami dengan cara menghisap darah. Bunga mawar hitam adalah sumber keabadian dari manusia pemuja iblis tersebut yang disebut ‘Vampir’. Vampir itu dipimpin oleh Victor, seorang dari Romawi bekas prajurit Yunani. Kini, yang tersisa hanya beberapa saja.”
Setelah mendengar kisah dari Abizard, aku mendengar seorang wanita menjerit. Keledaiku meringkik kembali. Kulihat ke luar halaman rumah, Victor menyerang Halfeti. Wanita yang menjerit tadi telah tergeletak tak bernyawa di tanah. Aku berlari bersama Abizard dan Umairoh. Kubawa berlari keledaiku menaiki bukit, menjauh dari Vampir yang haus darah itu.
Syehrazad, kekasihku yang sangat kucintai. Jika kau menerima surat ini dan aku belum sampai kembali ke pelukanmu, maka memintalah bantuan. Jemputlah aku kembali di Halfeti. Kapal cendanaku telah hancur. Aku bersembunyi dan berlari. Kutulis surat ini saat berada di tepi sungai Eufrat. Aku berharap bisa kembali kepadamu.
Pati, 2 Oktober 2020