Judul Buku: Kematian Rasionalitas Komunikatif Media Online Radikal di Indonesia: Studi Media Perspektif Habermas
Penulis: Saiful Mustofa
Penerbit: Akademia Pustaka
Tahun: 2019
Tebal: x + 190 + indeks
Awalnya saya sempat terjebak dengan diksi “kematian”. Diksi ini mengingatkan saya, yang awam filsafat, kepada sederet adagium yang digunakan para pemikir posmodern. Dari ‘kematian Tuhan’ (Nietzsche) hingga ‘kematian pengarang’ (Barthes), seluruh gagasan yang secara alegoris diungkapkan sebagai ‘kematian’ di atas pada hakikatnya menyiratkan nuansa yang sama, yakni pesimisme. Kematian Tuhan menyiratkan pesimisme pada metafisika dan kematian pengarang menyiratkan pesimisme kepada keutuhan makna. Nuansa pesimisme posmodern yang lesu dibungkus oleh sampul hitam dengan tulisan “kematian” berwarna merah yang super besarsaya rasa menjadi kombinasi yang ‘sangat harmonis’.
Tapi kesan itu berbalik 180 derajat. “Kematian” justru menjadi judul yang provokatif. Begitulah kesan yang saya dapat serampung membaca karya Saiful Mustofa, seorang penulis dan akademisi IAIN Tulungagung, ini. Hal demikian bukan karena pilihan kata “kematian” yang terdengar sangar, tapi karena secara tidak langsung kita didorong untuk berkomunikasi secara ‘baik’ dengan cara diperlihatkan bagaimana komunikasi yang ‘buruk’. Kita diperlihatkan bagaimana bentuk komunikasi yang tidak menghendaki perubahan tapi menghendaki status quo; bentuk komunikasi yang tidak menghendaki kesalingpahaman tapi menghendaki pemaksaan; bentuk komunikasi yang tidak hendak mengerti perspektif orang lain tapi hendak mengganti perspektif orang lain. Singkatnya, kita ‘dibentak’ dengan diperlihatkan bentuk-bentuk komunikasi yang tidak manusiawi.
Buku ini sebagaimana dinyatakan penulisnya adalah hasil adaptasi tesis master di Jurusan Akidah dan Filsafat IAIN Tulungagung. Penulisnya mengaku gelisah atas maraknya media daring yang mempromosikan kekerasan, ekstremisme beragama, dan sara sehingga jauh dari nilai jurnalisme (hal. v). Kaidah-kaidah jurnalistik seperti akurasi, keimbangan, dan kelengkapan tidak begitu menjadi pertimbangan. Justru provokasi dan pemelintiran informasi semakin diglorifikasi. Saiful Mustofa sebagai peneliti filsafat berhasil masuk ke celah yang luput dari perhatian kebanyakan peneliti media, komunikasi, dan bahkan peneliti bahasa. Bila kebanyakan peneliti bahasa sebagaimana dikatakan Wodak (2001) melakukan kritik untuk menyibakkan inkonsistensi, paradoks, dan dilema suatu teks yang diskriminatif, Saiful Mustofa berjalan lebih jauh untuk menyibakkan distorsi pada nalar produsen teks. Saat peneliti bahasa berhenti pada teks, Saiful Mustofa berjalan terus pada pikiran pembuat teks, yaitu pikiran yang terdistorsi secara sistematis.
Usaha ini dilakukan dengan memanfaatkan hermeneutika kritis Habermas sebagai pendekatan dan meminjam konsep tindakan komunikatif sebagai piranti analisisnya (hal. 10; lihat juga Hardiman, 2016, hal. 224). Pemikiran Habermas secara sederhana dapat dirunut dari ketidakpuasannya pada praksis kerja Marx yang tidak bisa diandalkan untuk melakukan emansipasi. Karena tidak puas, Habermas beralih dari praksis kerja kepada praksis komunikasi. Habermas percaya bahwa komunikasi yang baik dapat mendorong dan menjamin emansipasi.
Praksis komunikasi hanya dapat dijalankan apabila ada tindakan komunikatif, yakni tindakan yang terarah kepada konsensus (mufakat). Kebalikan tindakan komunikatif adalah tindakan strategis, yakni tindakan yang terarah pada penguasaan. Tindakan komunikatif melibatkan manusia dalam hubungan subjek dengan subjek. Sebaliknya, tindakan strategis melibatkan manusia dalam hubungan subjek dengan objek. Tindakan komunikatif hanya dapat dilakukan apabila didasari oleh rasionalitas komunikatif, yakni rasionalitas yang membimbing tindakan komunikatif untuk mencapai tujuannya. Tujuan tindakan komunikatif ialah mencapai kesepakatan mengenai sesuatu atau mencapai konsensus akan sesuatu (Hardiman, 2015). Ketika kita menggunakan rasio komunikatif untuk melakukan tindakan komunikatif, kita akan mengeluarkan klaim-klaim kesahihan. Klaim kesahihan ini terdiri atas klaim kebenaran, klaim ketepatan, dan klaim kejujuran. Ketika klaim tidak dipenuhi, tidak ada konsensus. Tanpa konsensus tidak ada revolusi. Tanpa revolusi tidak ada emansipasi. Dengan demikian, klaim tersebut wajib dipenuhi (hal. 101).
Apakah media daring radikal seperti Nahimunkar.com memenuhi ketiga klaim tersebut? Jawabannya jelas tidak. Di celah inilah kritikan Saiful kepada media daring radikal dibangun. Titik tekannya ialah pada pertanyaan ketiga, bagaimana karakter rasionalitas komunikatif media daring radikal (hal. 8). Sebatas yang dapat saya cermati, secara menarik penulis berusaha mengoperasionalisasikan teori Habermas yang abstrak ini untuk menganalisis teks-teks media daring radikal yang konkret. Ini adalah usaha yang luar biasa, mengingat filsafat yang senantiasa abstrak dan umum sangat tidak mudah untuk dilacak landasan proposisi empirisnya apalagi dioperasionalisasikan sebagai piranti analisis. Toh, Saiful Mustofa berhasil melakukannya.
Secara umum buku ini terdiri atas empat bab. Sebagai hasil adaptasi tesis, bab pertama banyak membicarakan paparan metodologis penelitian. Disajikan ulasan sejumlah penelitian sebelumnya mulai dari penelitian berancangan analisis wacana kritis, penelitian aktivisme radikal di media daring, penelitian agama di ruang publik, hingga penelitian yang deradikalisasi dunia maya. Yang menarik bahwa ulasan-ulasan tersebut selain disajikan dalam bentuk deskriptif juga ditampilkan dalam bentuk tabel sehingga mudah sekali untuk dibaca (hal. 17).
Pembahasan dimulai dengan penjelasan mengenai perkembangan media radikal dan radikalisme di Indonesia (hal. 19). Poin penting yang hendak ditunjukkan penulis ialah bahwa radikalisme di Indonesia yang pada masa sebelum reformasi mengendap menyeruak setelah reformasi dan secara kreatif memanfaatkan media daring sebagai mimbar indoktrinasi. Secara mengejutkan penulis, meminjam penelitian Sidney Jones, memperlihatkan bahwa Imam Samudera adalah orang pertama yang berhasil mengibarkan jihad secara daring (hal. 51).
Apabila pada bab 3 dipaparkan konsep rasionalitas komunikatif, pada bab 4 konsep abstrak rasionalitas komunikatif ini berusaha untuk dioperasionalkan pada sejumlah teks berita yang diambil dari Nahimunkar.com. Kematian rasionalitas komunikatif dimulai dari penegasan bahwa Nahimunkar.com belum layak dimasukkan ke dalam kriteria atau kategori rasionalitas komunikatif (hal. 109). Hal ini ditandai dengan absennya jejak pada kolom komentar situs yang menunjukkan absennya interaksi antara pembaca dengan pengelola situs. Sifat eksklusif semacam ini tidak mendukung munculnya pergulatan informasi dan gagasan sehingga tidak mendorong hadirnya refleksi kritis. Padahal masyarakat komunikatif dalam pengertian Habermas bukanlah masyarakat yang melakukan kritik melalui jalan revolusi atau kekerasan, melainkan lewat argumentasi (hal. 97).
Pada bagian selanjutnya ditunjukkan sebab munculnya kematian rasionalitas komunikatif dalam Nahimunkar.com. Penulis beranggapan bahwa kematian rasionalitas komunikatif ini disebabkan oleh logika berpikir oposisi biner dan pemahaman yang skripturalis. Ini mengingatkan saya dengan tesis yang dibangun Dr. Aksin Wijaya (2018) perihal nalar gerakan agamaisasi kekerasan. Disebutkan bahwa gerakan Wahabisme memiliki metode berpikir dialektika dikotomis yang tidak menerima jalan tengah, dengan demikian oposisi biner, dan menggunakan tafsir literal sehingga kurang memperhatikan konteks.
Pesan inti buku ini ialah ajakan untuk berkomunikasi secara jelas, benar, jujur, dan betul (h. 95). Berkomunikasi secara jelas artinya seseorang bisa memaparkan pendapatnya secara tepat sesuai dengan apa yang dia maksud. Berkomunikasi secara benar artinya seseorang mengungkapkan apa yang ingin diungkapkan. Berkomunikasi secara jujur maksudnya bahwa seseorang tidak berbohong dengan pernyataannya. Dan berkomunikasi secara betul berarti bahwa apa yang disampaikan itu wajar. Ketika keempat klaim ini dapat dipenuhi maka muncullah rasionalitas komunikatif.
Saya menduga pembaca yang kurang cermat tidak akan menemukan ‘ajakan’ di atas karena penulis tidak mengungkapkannya secara gamblang (eksplisit) pada bagian akhir pembahasan – selayaknya buku panduan. Pembaca harus merenung, meraba-raba, dan menghayati dirinya sendiri untuk sampai ke sana. Menurut saya ini adalah gaya khas hermenutika kritis yang menjadi keunikan buku ini. Kemudian, meskipun yang menjadi objek penelitian adalah teks, pembaca yang antusias terhadap analisis teks sedikit banyak akan merasa kurang puas. Perlu diketahui bahwa buku ini tidak memaparkan analisis teks media secara kebahasaan. Yang menjadi titik tekan bukan teksnya, melainkan bagaimana logika produsen teks itu beroperasi secara cacat sehingga yang dihasilkan bukan tindakan komunikatif tapi malah tindakan strategis.
Tantangan di masa depan penelitian ini, sebagaimana penelitian lain yang menggunakan pendekatan hermeneutik kritis, ialah bagaimana hasil penelitian dapat diterima kelompok yang dianggap mati rasionalitas komunikatifnya. Terinspirasi pernyataan Prof. Mujamil Qomar dalam epilog buku Dari Membela Tuhan ke Membela Manusia karangan Aksin Wijaya (2018), kelompok yang dianggap sebagai ‘radikal’ ini sulit ditundukkan dengan saran yang mengikuti alur pikiran kelompok ‘liberal’ (istilah lain untuk pluralis) karena keduanya bagaikan kutub ekstrem yang saling berbenturan. Tebersit pertanyaan bagaimana agar hasil penelitian demikian ini dapat efektif. Saya yakin Ini adalah pertanyaan besar selanjutnya yang harus segera ditemukan jawabannya.