KURUNGBUKA.com – (08/02/2024) Para penulis memberi sebutan berbeda-beda untuk tulisan-tulisan yang dihasilkan. Penyebutan yang menentukan siasat atau kenikmatan dalam menulis. Yang meyakini sebutan itu representasi gairah menulis akan memberi kepastian sekaligus pemenuhan janji-janji dari pelbagai ide.

“Tulisan reflektif,” sebutan yang diberikan Mulyadi Kartanegara, penulis yang menghasilkan beragam artikel dan buku-buku. Ia pun menggubah puisi. Kita mengartikan reflektif itu renungan. Dimulai dengan renungan dan akhirnya rujukan renungan bagi pembacanya.

Pengertian: “Tulisan seperti ini merupakan renungan-renungan pribadi dan karena itu menjadi milik pribadi, dan sesuai dengan kaidah ilmu hudhuri. Kita tidak punya kendala apa pun untuk memahaminya karena apa yang telah menjadi milik kita identik dengan diri kita sendiri.”

Ia tidak ingin mendapat kutukan-kutukan dalam menulis. Yang diinginkan ketulusan dan kenikmatan. Ia mengartikan reflektif bukan mengharuskan kaidah-kaidah penulisan secara ilmiah. Kita ikut sedikit mengerti bahwa tulisan reflektif menjadikan penulis dalam kemudahan dan hasrat “membagikan” dirinya.

Kita bisa membuat tulisan reflektif, tidak harus setara dengan Mulyadhi Kartanegara yang mahir filsafat dan agama. Pada mulanya dan akhirnya: renungan. Keuntungan dari membuat tulisan reflektif: “… bahasa kita mengalir, berirama, dan senada karena memang hampir seluruh naskah yang terdapat di dalam tulisan seperti ini sepenuhnya milik kita.”

Penulis itu perenung. Pembaca pun perenung. Tulisanlah yang mengesahkan renungan terungkap dan beredar. Yang membuat tulisan reflektif mungkin tidak sutuhnya memusat dalam renungannya. Di hadapan tulisan reflektif, pembaca dalam keseriusan.

(Mulyadhi Kertanegara, 2005, Seni Mengukir Kata, MLC)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<