KURUNGBUKA.com – (07/02/2024) Keinginan atau keputusan menjadi penulis itu berpamrih. Kita mungkin sering mengartikan pamrih itu tak perlu, semestinya ketulusan dan kesungguhan. Pamrih tetap harus ada, yang diraih atau diwujudkan.

Yang berhitung untung itu pamrih. Yang merasa bahagia pun pamrih. Yang menempatkan diri sebagai “pemberi pengetahuan” bisa dimengerti pamrih. Konon, pamrih menjadi sakral saat dibahasakan secara berbeda dan amalannya diistimewakan dari hal-hal lain. Yang berpamrih tetap bisa sampai ke pemenuhan lahir dan batin.

Mulyadhi Kartanegara mengungkapkan: “Bagiku, menulis adalah salah satu cara yang baik dan mungkin bagi seorang manusia untuk mengabadikan hidupnya.” Kalimat yang biasa jika melacak pengakuan dari para penulis lainnya. Yang utama: “mengabadikan”. Kita mengetahuinya dari referensi lama.

Penjelasan yang mendukung: “… ada orang yang telah meninggalkan dunia ini beberapa ribu tahun yang lalu, tetapi ia pada hakikatnya masih hidup karena ide-idenya masih dibicarakan.” Yang dimaksud adalah yang menuliskan ide atau pemikirannya dapat melewati tahun dan abad.

Pada akhirnya, ada jalinan tulisan dan kematian. Yang menulis mengetahui pasti mati. Pada hari-hari belum berjudul kematian, yang membuat tulisan-tulisan berharap itu bisa terwariskan. Tulisan-tulisan yang ingin melebihi usia jasad. Kemauan menulis menuju arah kematian. Hari-hari yang tidak ingin disia-siakan.

Ia menyatakan: “Sempitnya waktu dan ketidakmampuan memprediksi kematian, semua itu telah menjadi dorongan yang kuat bagiku untuk terus menulis…” Hidup dengan memberi tulisan-tulisan, yang diharapkan bergerak terus setelah kematian.

(Mulayadhi Kertanegara, 2005, Seni Mengukir Kata, MLC)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<