Judul         : Di Tengah Kegelapan Inuvik
Penulis     : Sori Siregar
Penerbit   : Penerbit Buku Kompas
Cetakan    : Pertama, 2019
Tebal         : 140 halaman
ISBN          : 978-602-412-631-5

Sejak kecil, anak-anak disuguhi mitos dan dongeng, hal-hal tak masuk akal. Anak-anak percaya, meski kadang bertanya-tanya, nyatakah dunia itu, misalnya, Malin Kundang dikutuk jadi batu?

Sebagai anak kecil, mereka hanya mengangguk. Beranjak dewasa, kesadaran membawa orang-orang pada titik di mana ada banyak hal perlu dikritik dan dipikirkan kembali. Entah mengapa, orang-orang seperti berhenti begitu saja mempertanyakan keganjilan kisah-kisah masa kecil. Cerita-cerita tak masuk akal pun menjadi biasa saja, konsumsi sehari-hari, meliarkan imaji.

Buku-buku berkisah ganjil punya nilai tersendiri. Imaji berlari, membawa pembaca pada dunia yang tak ada, asing, namun menantang. Tak heran, buku-buku seperti 1Q84 karya Haruki Murakami tak berhenti digandrungi dan dipuji. Ada dunia lain dibentuk sendiri di sana, dunia dengan dua bulan dan kenyataan ganjil tentang Orang Kecil atau Mazda dan Dohta.

Pembaca menikmati dunia buatan, rekayasa pengarangnya. Orang-orang tak mau beranjak dari kekayaan imaji masa kecil. Mereka mau lagi dan lagi, mengarungi imaji. Realitas yang membentang di depan mata kerap membuat orang-orang bosan. Rupanya hanya imajinasilah pelarian paling sempurna.

Tapi bgaimana jika kita, sebagai orang dewasa, diajak duduk sebentar untuk menghayati kenyataan? Kenyataan-kenyataan hidup manusia, sepenggal peristiwa, sebuah kisah, bahkan pengalaman biasa sekali, sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam buku kumpulan cerpen terbarunya, Di Tengah Kegelapan Inuvik, Sori Siregar muncul dengan tulisan-tulisan lama bergaya realis. Tak ada binatang yang berbicara, tak ada dunia tanpa siang dan malam bahkan tak ada alur kisah yang dibuat-buat. Sebelas karya yang telah diterbitkan di Kompas ini menarik kita dari ruang imajinasi, sejenak mengamati kenyataan demi kenyataan yang sebenarnya terjadi.

Kisah dimulai dengan sebuah cerpen berjudul Bonar, Si Penyenandung. Bonar, tokoh utama yang jadi tahanan politik di negeri asing sebab peristiwa 1965 lampau, mengalami hidup yang paradoks: ia mencintai Indonesia, merindukannya, melulu bersenandung “tempat berlindung di hari tua, tempat akhir menutup mata” namun memutuskan untuk tak kembali ke Indonesia lagi. Setelah pelariannya, ia hanya pernah singgah sekali saja, menggenggam tangan ibunya yang meninggal dunia.

Ada kenyataan sederhana dalam kerumitan sejarah. Ketakpulangan bukan berarti ketidakcintaan. Keengganan untuk pulang bagi Bonar adalah keputusan realistis. Ia tetap mencintai Indonesia meski dikhianati dan tak menapakkan kaki di negerinya sendiri.

Cerita pendek lain, Apalah Nama, berkisah tentang Syahbudin, seorang pelayan restoran yang sering mendapat tip. Sebab keseringan mendapat tip, Syahbudin pun diberhentikan dari pekerjaannya. Bosnya merasa tak adil sebab gaji pelayan lain menjadi lebih kecil. Tip mestinya dibagi-bagikan. Syahbudin menolak dan hengkang. Pekerjaan berikutnya tak mujur, ia tak pernah mendapat tip sama sekali.

Saat mendapat pekerjaan baru sebagai pengelola sebuah hotel melati, ia jadi sadar: tip harus dibagikan supaya adil. Sebagai pimpinan, ia akhirnya mengerti, jika salah satu penghasilan anak buahnya jomplang, rusaklah segala ketentuan. Sejak itu, ia mengganti namanya menjadi Syahbudin Adil.

Hal-hal sederhana ini diceritakan Sori dengan luwes, tanpa kata-kata rumit. Laiknya orang tua yang sedang bercerita sebelum tidur untuk anak-anaknya. Cerita-cerita bergerak sendiri, mudah dimengerti tanpa perlu mengernyitkan kening.

Dalam cerita pendek Saran Seorang Pengarang, Sori membuka kisah dengan sebuah dialog: Kalau menulis jangan meliuk-liuk begitu. Langsung saja. Lugas. Gambaran yang melelahkan itu misalnya, kutemukan pada kalimat “Tubuhku saat ini membutuhkan asupan karbohidrat, karena memang waktunya telah tiba. Tak dapat ditunda lagi. Karena keterlambatan akan membuat lambungku menjerit. Itu yang tak kuinginkan’. Mengapa tidak disingkat saja menjadi ‘Aku lapar. Kalau tidak segera makan, lambungku sakit’.

Banyak hal-hal sederhana dilebih-lebihkan, padahal jika ditulis dengan kalimat yang sederhana, artinya akan tetap sama saja. Sebuah pesan tersemat: hidup sebenarnya sederhana, hanya cara dan perspektif kita saja yang membuatnya menjadi rumit dan penuh beban. Sori membawa pesan sederhana dalam setiap cerita pendeknya.

Dalam buku Tafsir Sosial Atas Kenyataan (2012) Karangan Peter L. Berger & Thomas Luckmann, kenyataan hidup sehari-hari dijelaskan sebagai hal yang diterima begitu saja sebagai kenyataan. Ia tidak memerlukan verifikasi tambahan selain kehadirannya yang sederhana. Ia memang sudah ada di sana, sebagai faktisitas yang memaksa dan sudah jelas-dengan-sendirinya.

Ada struktur waktu dan ruang di sana. Kita mungkin bosan mengerjakan hal-hal yang itu-itu saja sejak dilahirkan hingga sekarang; tidur, makan, mandi, sekolah, bekerja, jatuh cinta, patah hati dan rutinitas membosankan lainnya. Tapi begitulah kenyataan, adanya tak diperlukan alasan dan kita hanya perlu menerima begitu saja. Penerimaan inilah yang membawa orang-orang pada pelarian, menuju ruang yang tak pernah disinggahinya, ruang imajinasi.

Cerita-cerita pendek dalam buku ini tak membuat pembaca menerima begitu saja. Alih-alih membosankan, buku ini justru membawa pembaca ke dalam sebuah permenungan. Yang terjadi di sekeliling kita menjadi bukan hal yang biasa-biasa saja. Ada yang luput kita lihat, cermati dan rasakan. Kisah demi kisah seolah berteriak, “Lihat kenyataan di sekelilingmu, jangan sibuk dengan imajinasi ambigu!” Apakah kita telah benar-benar lari dari kenyataan? Mungkin kita memang mesti berlari sejenak, tapi jangan terlalu lama.

Ada sebuah dialog dalam cerita pendek Di Tengah Kegelapan Inuvik. Tokoh utamanya seorang perempuan bernama Fibri yang terus melarikan diri dari trauma tsunami Aceh. Suatu waktu, ia mendapat wejangan dari ompungnya, “Kamu tidak akan pernah dapat melupakan peristiwa itu ke mana pun kamu pergi. Ia akan terus mengejarmu. Karena itu, bersikaplah realistis. Terimalah kejadian itu sebagai sesuatu yang tidak dapat ditolak. Pergi jauh tidak akan memecahkan masalah”.

Febri berdusta pada dirinya sendiri. Ia merasa bisa pergi dari kenyataan, tapi yang sebenarnya terjadi adalah kenyataan itu semakin mendekat saat dijauhi. Di Inuvik, dunia dan perasaannya terasa lebih gelap. Jauh lebih gelap ketimbang saat berada di Indonesia atau perjalanan demi perjalanannya dengan Kapal Pesiar.

Sastra memiliki dua sisi, jika bukan fiksi dan fakta, ia adalah kebenaran dan dusta. Dunia rekayasa buatan seorang penulis sudah pasti fiksi, meski bisa saja mengandung sedikit fakta. Radhar Panca Dahana dalam Kebenaran dan Dusta dalam Sastra (2001) menjabarkan bahwa seorang penulis mampu menciptakan makna yang unik dengan usaha mengambil “jarak” dengan pengalaman yang didapatkan. Peristiwa umum biasa adanya menjadi “lain” di tangan pengarang. Apa yang disebut “jarak” tersebut adalah “transendensi”, sedangkan kemampuan pengarangnya disebut sebagai “emanasi”, sebuah konsep yang dipaparkan Simone de Beaouvoir, filsuf dan pejuang emansipasi modern. Pengarang berhasil menciptakan transendensi dan emanasi, lahirlah karya sastra yang unik. Seperti pula karakter manusia, tak ada karya sastra yang benar-benar sama. Semuanya unik dan hanya satu-satunya.

Kemampuan itulah yang membuat pengarang akhirnya tak ragu dan gagap dalam memadu kenyataan menjadi fiksi, menuliskannya menjadi cerita pendek. Justru karena itulah kisah demi kisah dalam buku kumpulan cerita pendek ini memiliki posisi yang unik karena mengajak pembaca melihat dan mencari makna lain yang tersembunyi dari makna umum yang seringkali mengelabui.

Makna umum yang tertutupi pelarian demi pelarian, imaji demi imaji yang berebut mengisi ruang kehidupan. Jauh melampaui imaji, kebenaran atau kenyataan yang terkandung dalam sebelas cerita pendek Sori Siregar ternyata jauh lebih dalam dan jitu ketimbang kenyataan sederhana yang sebenarnya.