KURUNGBUKA.com – (09/02/2024) Ia masih menulis puisi. Tua, usia yang disadari dengan keganjilan. Pada akhir 2023, para pembaca sastra disuguhi buku berjudul Tiket Masuk Bioskop Autobiografi. Puisi-puisi dari masa tuanya, yang ditulis tidak selalu sealur dengan buku-buku lama: Abad yang Berlari dan Arsitektur Hujan.
Yang pasti, ia tidak berhenti berpuisi meski pemahamannya terhadap kata terus bergejolak. Kita belum jemu dengan puisi-puisinya. Bosan dirasakan tapi kita tetap mudah terpukau dengan persembahan sastra dari Afrizal Malna.
Ocehannya: “Kata-kata seperti sel-sel penjara peradaban yang hidup dalam setiap aktivitas komunikasi yang dilakukan orang. Orang masuk dalam ‘penjara’ peradaban melalui kata-kata. Sebab kata-kata selalu datang dengan pengertian, dengan konsep-konsep, dengan wacana dan politik bahasa yang paling banyak membentuknya, yaitu kata-kata yang dibentuk oleh lingkungan budayanya sendiri.”
Ia yang sibuk memikirkan kata-kata, tidak cukup dengan menerima atau menolak, mengukuhkan atau membantah, mengutamakan atau meminggirkan. Yang berani terus-terusan memasalahkan kata, yang berani menulis puisi tidak mutlak tergantung pada kata.
Pada akhirnya, ia berani “berpikir dengan gambar”. Afrizal Malna menjelaskan: “Berpikir dengan gambar tidak sama dengan memotret. Puisi-puisi saya tulis bukan hasil pemotretan. Bagi saya, puisi merupakan representasi dari kawasan teks yang kaya.”
Kita tidak dibujuk mempertanyakan kata saja. Puisi ditulis tapi Afrizal Malna tidak membatasi kata yang harus digunakan atau keterikatan atas makna-makna bawaan dan bentukan. Yang tak cukup berbekal kata-kata dalam berpuisi. Kata, masalah tak selesai.
(Pamusuk Eneste (editor), 2009, Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang Jilid 4, Kepustakaan Populer Gramedia)
Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<