KURUNGBUKA.com – Banyak sekali komunitas kepenulisan yang tumbuh dan mengakar di tanah Banten. Tak sedikit pula yang melahirkan penulis-penulis kenamaan yang bisa dikenal hingga tingkat nasional. Tapi, bisa dihitung jari berapa yang kemudian bertahan dan tidak tumbang ditinju waktu.

#RubrikWajah kali ini akan mewawancarai salah satu pendiri komunitas menulis yang lahir di wilayah Singarajan, Pontang. Pendirinya ialah seorang penulis muda, pernah menerima Anugerah Seni Dewan Kesenian Banten kategori Penggerak Sastra Generasi Muda tahun 2017.

Ia juga seorang guru yang produktif menulis dan melahirkan karya tulis cerpen, puisi, dan esai bahasa. Selain itu, kesibukan terbarunya, mengelola website www.ngewiyak.com yang digawangi oleh para anggota komunitas yang didirikannya. Dia adalah Encep Abdullah Pontang. Mari berkenalan, Kurbukers!

***

  • Apa kabar, Kang Encep? Boleh tahu apa kesibukannya sekarang?

Alhamdulillah sehat, sehari-hari sibuk menjadi hamba Allah: mengajar, menulis, mengurus keluarga hehe…

  • Masyaallah, kesibukan yang produktif nih. Keren! Oh, iya, setelah saya intip-intip, kang Encep juga punya binaan TBM ya. Betul, Kang?

Lebih tepatnya komunitas menulis yang saya beri nama #Komentar; Komunitas Menulis Pontang-Tirtayasa, tolong ditulis pakai tanda #.

  • Apakah komunitas ini hanya fokus pada kegiatan menulis saja, Kang?

Tentu saja tidak. Logikanya, orang tidak akan bisa menulis tanpa membaca. Komunitas membaca belum tentu menulis. Komunitas menulis dituntut untuk membaca.

  • Di tahun ini #Komentar memasuki usia ke berapa, Kang?

Sudah masuk tahun ke-5. #Komentar berdiri pada tanggal 9 Juni 2016.

  • Setelah lima tahun berdiri, pasti #Komentar telah banyak melahirkan karya, dong. Bener, nggak, Kang?

Bisa dibilang begitu. Tapi, sebagiannya prematur, sebagiannya hamil anggur, dan sebagiannya selamat. Selama belum menopause Insyaallah akan terus berproduksi dan berkarya.

  • Hhmm, hal lumrah dalam sebuah komunitas ya, Kang. Sampai tahun ini sudah ada berapa angkatan di #Komentar?

Sangat lumrah. Namanya siklus kehidupan. Kalau banyak yang bertahan, malah sebuah kemunduran. Komunitas menulis harus sepi. Dengan kesepian itu akan ada kemajuan. Pada tahun ini sedang berlangsung kelas menulis angkatan ke-9.

  • Daleeem bener nih. “Dengan kesepian itu akan ada kemajuan”. Bisa dijelaskan Kang maksudanya?

Ya, Semakin sepi dia semakin merenung. Semakin banyak merenung, dia semakin banyak menulis. Bisa jadi lebih dekat dengan Tuhan.

  • Beuuh, filosofis banget. Kalau latar belakang didirikannya #Komentar apa, Kang? Dan perubahan apa yang ingin Kang Encep lakukan di tubuh #Komentar?

Saya mendirikan #Komentar untuk saya bubarkan. Cuma, saya belum tahu bagaimana cara membubarkannya. Layaknya orang hidup, dia hidup untuk mati, tapi dia tidak tahu harus mati dengan cara apa.

Kalau ditanya perubahan apa yang ingin saya lakukan untuk #Komentar, saya hanya bisa jawab: istiqamah aja berbuat baik nanti perubahan-perubahan dan metamorfosis diri akan mengikuti.

  • “Diskusi karya, diskusi buku, diskusi ilmu” dalam slogannya. Apakah ada perbedaan nuansa diskusi yang dilakukan oleh anggota #Komentar sebelum dan sesudah pandemi covid, Kang?

Saat awal pandemi, kami libur beberapa bulan. Semakin lama libur, kami seperti makhluk tak bernyawa. Kami kumpul lagi, diskusi lagi, meskipun dengan jumlah yang terbatas.

Selama pandemi, kami hanya kehilangan agenda #Komentar Masuk Sekolah. Agenda ini tatap muka, masuk ke ruang kelas. Kegiatan ini pun kami hentikan karena sekolah tutup. Kelamaan tutup, akhirnya kami buka kelas virtual atau tatap muka terbatas. Alhamdulillah ada yang nyantol meski kami paling tidak suka dengan pelatihan versi virtual.

Karena sekarang sekolah sudah masuk, kami siap lagi hadir di sekolah kawan-kawan. Kuy, daftarkan sekolah kawan-kawan untuk kami datangi. Gratis!

  • Keren betul agenda dari teman-teman #Komentar, ini. saya lihat tulisan Rayammanda di blog mengutip tulisan Ma’rifat Bayhaki (angkatan #4) yang menjelaskan bahwa “Kekurangan pada sisi yang lain ialah pola pembelajarannya yang terkesan monoton. Tidak ada variasi, anggota hanya diwajibkan membawa karya dan saling mengomentari.” Nah, untuk model pembelajaran di #Komentar itu memang seperti apa, Kang?

Bawa karya. Baca. Dibedah. Didiskusikan bersama. Itu saja. Tulisan Ray yang mengutip Bayhaki itu pun atas saran saya. Jangan pernah memuji #Komentar. Cari kekurangannya apa. Nanti dievaluasi. Mungkin itu kekurangannya. Kurang bukan berarti buruk, toh? Berarti perlu disempurnakan.

Oh, iya, yang lebih penting lagi adalah saat pulang diksusi, mereka wajib bawa pulang buku saya. Tidak boleh tidak pinjam. Harus pinjam. Pinjam satu, dua, tiga, empat, atau lima. Minggu depan harus sudah selesai baca. Lalu, ganti dengan buku yang lain. Itu yang lebih saya tekankan.

  • Setuju, Kang. Karena dari kekurangan akan terbangun kesadaran untuk menyempurnakan, ya. Lalu, saat para anggota diberi keharusan seperti itu, apakah kepekaan mereka kemudian terbangun untuk melihat problem sosial di sekitarnya?

Masalah problem sosial itu urusan mereka masing-masing. Saya tidak mau mengusik. Tugas saya hanya menyuruh mereka mambaca buku dan menulis. Itu saja. Karena saya yakin, justru kepekaan itu akan hadir bila mereka membaca buku dengan serius. Menulis dengan serius.

  • Sejauh ini, bagaimana cara teman-teman di #Komentar bertahan dalam melaksanakan kegiatan? Didanai penuh oleh Kang Encepkah, secara cooperative, swadaya, atau bekerja sama dengan instansi dan CSR?

Insyaallah siapa pun yang punya rezeki, dia yang membeli kopi dan gorengan. Tidak mengandalkan siapa pun. Tidak didanai instansi mana pun.

  • Terakhir, Kang, pesan apa yang mau Kang Encep sampaikan untuk pembaca Kurbuk dan para pemuda?

Kepada siapa pun yang merasa muda atau berjiwa muda, tetaplah begitu. Dengan begitu, maka kau akan tetap awet muda. Gitu aja. Saya nggak bisa nulis yang formal-formal. Bukan Mario Teguh. Ahaha…