KURUNGBUKA.com – (25/04/2024) Pada setiap masa, orang menghasilkan cerita dengan tulis-tangan. Ada yang mengalaminya dengan mesin tik. Suara ikut memberi gairah bagi yang bercerita. Pada masa berbeda, orang di hadapan komputer. Ia sedang mewujudkan cerita tak seberisik mesin tik.

Gerak tangan sangat berbeda dengan saat membuat cerita tulis-tangan. Adegan-adegan itu kelak nostalgia. Wujud yang dihasilkan berbeda di tatapan mata. Semuanya memiliki keistimewaan dari gampang dan susahnya. Yang terpenting adalah cerita itu terwujud.

Kita mulai membedakan masalah yang dihadapi jika melakukan penyuntingan. Simak dulu yang disampaikan Mohammad Diponegoro: “Mungkin anda baru bisa menghela nafas panjang setelah duduk selama dua jam di belakang mesin tik, bergelut seorang diri dan terpencil dari orang lain untuk menyelesaikan sebuah cerpen.” Bernafas dulu saja. Tugas belum selesai.

Yang dimaksudkan Mohammad Diponegoro adalah “kewajiban” membaca ulang dan menyunting. “Pekerjaan” yang tidak mudah, tidak “seindah” saat menghasilkan cerita. Dugaan: derita akan terasakan lagi. Derita yang mungkin merusak “keberhasilan” membuat cerita.

Cerita yang sudah di depan mata belum bisa dikirimkan ke koran atau majalah. Orang bersabar untuk publikasi. Cerita itu belum seutuhnya “sempurna”. Menyunting dilakukan untuk perbaikan atau perubahan yang “diharuskan” terjadi. Mohammad Diponegoro mengingatkan untuk peristiwa menyunting, orang bisa geleng kepala atau mengutuk.

Beragam sikap akan bermunculan dengan hasil yang berbeda. Bagi sebagian penulis, menyunting itu menyiksa dan membosankan. Namun, babak-babak dalam membuat cerita memang tidak semudah seperti mengedipkan mata.

(Mohammad Diponegoro, 1985, Yuk, Nulis Cerpen Yuk, Shalahuddin Press)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<