Penebang Pohon

Ia begitu ragu, sesaat mesin yang membising

di kepalaku berdering dan tangan kekarnya

gemetar melirik pohon-pohon yang merindu itu

Serupa tubuh seorang ibu.

Sesekali ia menatap tajam

 memandang wajah  pohon yang seakan meminta belas kasihan

Ia memilah satu demi satu pohon itu

Seperti memilih kenangan

merasakan getaran kesepian disetiap denyut nadi

Ingatan masa kecilnya mendengar suara

Nyanyian burung-burung yang merdu

Seperti rindunya kepada kampung halamanmu

Kini matanya pun agak sedikit berkaca-kaca

 Ia tatap beberapa inchi saja kulit pohon itu.

Dan melihat setetes hujan

 keluar dari helaian daun gugur yang berserakan

Pada rantingnya ia mendapat

Doamu yang sedang meronta-ronta

Pada batangnya ia merekam jejak cintamu

yang dibutakan air mata

Pada akarnya ia menemukan

Dirinya sendiri sedang duduk manis sambil menulis puisi.

Barangkali setelah menebang pohon itu

Ia akan kembali mengaji di sepanjang hutan tubuhmu.

*

Pesan Cinta Kepada Rindu

Di persimpangan jalan menuju cinta dan rindu.

Banyak sepi berkeliaran memakai baju you can see dan rok mini.

Ia melambaikan nasib ke kanan dan ke kiri.

Ia menatap apakah ada malaikat atau iblis paling puisi

yang bisa untuk dilayani.

Ketika Debur ombak di malam hari.

Membuatnya sedikit basah dan mendesah.

Jejalan penuh kenangan, lampu-lampu kota padam,

manusia tak ada lagi di sini.

Mungkin, mereka telah pergi atau hanya sekedar  bersembunyi.

Hanya angin yang sering menggoda

lewat tangan-tangan nakalnya yang semakin gila.

Dari jalan lain, kau datang menggandeng turun bulan

yang terus melambaikan kesepian

Dan aku berhenti, lama . . .

Satu-dua-tiga. . .

Hingga beberapa tahun-tuhan yang tidur mendengkur

di celanaku ini bangun.

Ia menangis suaranya seperti gerimis

yang muncrat dari kemaluan langit yang gelap.

Saat menatap wajahmu terbang seperti kunang-kunang

Malam menyampaikan pesanmu yang tak terbahasakan

*

Tamasya

Aku pelancong hampa

Di tubuhmu tak pernah terbaca peta,

Luka adalah surga

Bagi ikan-ikan yang berenang

Dan laut telanjang.

Jejak pasir berdesir

Mengusir

Cahaya sunset yang mencari senja

Di bibir dermaga

Ingatan kita

Perahu nelayan yang saban hari melaut tidak pernah takut

Di cium gelombang maut

Pasang-surut

Rindu membentangkan tangan

Burung-burung

Terbang berkicau riang menyanyikan

tembang sepanjang jalan kenangan

 nenek moyangku kesepian

Aku pelancong hilang

Di tengah laut hatimu aku karam

Meneguk racun cintamu yang semakin sepi itu

*

Hujan Patah Hati

Hujan yang patah hati itu

Menggenang sepi

Di denyut nadi kota

Sepasang muda mudi sedang berpesta

Terompet menjerit

Kembang api bersorak

Langit riuh tawa

Lalu bibir mereka bertukar cinta

Bulan rindu menyapa

Desember ada di mana?

Hujan bertanya dengan derainya

Menjatuhkan segala cemas

Usia berkemas

Kalender gegas

Manusia sibuk bernyanyi

Menghitung detik detik pergantian tahun

Sambil merayakan kematian

Untuk dirinya sendiri