Saya dan rekan-rekan guru makan siang bersama sambil ngobrol receh di kantor, beberapa hari lalu. Obrolan yang keluar dari mulut kami ialah tentang pengalaman lewat di Jakarta. Pak Ajizi, guru olah raga, bercerita tentang pengalamannya naik kereta. Saat itu ia masih mondok di Bogor. Alkisah, ia melihat seorang bapak-bapak yang kantung celananya dikorek-koreki, diakal-akali oleh orang lain di belakangnya. Lalu dompet si bapak-bapak itu jatuh. Ia yang belajar ilmu akhlak dasar dan masih polos tentu tak tinggal diam. Ia memberitahukan hal itu kepada si pemilik dompet.

Ia lalu didatangi beberapa orang, salah satunya orang yang ngakal-ngakali dompet si bapak-bapak tadi.

Yeuh, ieu yeuh budak na anu mere nyaho dompet tadi,” kata Pak Ajizi menirukan dialog si orang yang ngakal-ngkali dompet. Kerah bajunya diangkat salah seorang dari mereka. Lalu ia seketika mau dipukul.

Kemudian setelah mereka pergi, orang-orang yang ada di sekitarnya berkata padanya, “Lain kali kalau ada yang kayak gitu diem aja. Masing-masing aja.”

Omongan itu membuatnya kaget sekaligus sadar bahwa perbuatan baik tidak selalu menjadi benar di ibu kota dan malah bisa mengancam keselamatannya.

Itu salah satu hal yang terjadi di Jakarta, berdasarkan pengalaman teman saya.

Saya juga punya pengalaman semacam itu saat naik metromini di Jakarta. Kalau tak salah ingat waktu itu saya naik metromini dari Kalideres ke Senen. Saat itu saya bersama teman saya. Namanya Mamet.

Seorang pengamen mendekati kami, meminta uang receh setelah ia selesai perform. Saya mengajukan tangan sebagai tanda maaf tidak memberinya uang. Mamet juga begitu. Tapi tiba-tiba Mamet dicubit oleh si pengamen dan si pengamen terus mepet si Mamet. Akhirnya ia memberikan uang atau mungkin rokok ke si pengamen. Barulah si pengamen itu pergi. Tentu saja, si Mamet merasa ngeri dan terancam karena itu.

Di momen lain, saat menaiki kendaraan dan tujuan yang sama, seorang bocah kecil dengan telinga yang memakai anting ngamen di metromini yang saya naiki. Saat itu saya melakukan perjalanan sendiri. Lalu ia meminta uang kepada saya. Saya tak beri. Ia tak mau pergi. Tiba-tiba ia ganti topik dan bilang, “Pinjem hape!” dan tangannya langsung merogoh saku kemeja kiri saya, di mana saya menyimpan hape Nokia jadul yang cuma bisa menelepon, kirim SMS dan mendengarkan musik.

Saya reflek menepis tangannya. Dia tetap memaksa ingin meminjam hape saya. “Saya mau nelepon,” tambahnya. Saya tahu ia bukan mau menelepon, tapi mau membawa kabur hape saya. Saya bentak dia. Baru dia pergi. Orang yang ada di bus cuek-cuek saja. Apalagi si sopir. Untung saja saat itu yang melakukannya bocah. Kalau yang melakukannya badannya lebih besar dari saya, bisa lain ceritanya.

Kriminalitas

Dari kisah Pak Ajizi, Mamet dan saya, kita bisa melihat potret kehidupan jalanan di Jakarta, beberapa tahun yang lalu. Jakarta memang bukan tempat aman. Ia adalah kumpulan kriminalitas. Keselamatan kita, apalagi bagi yang bukan orang Jakarta, harus kita sendiri yang menjaganya. Jangan berharap orang lain membantu kita—meski tak semua orang Jakarta seperti itu.

Kemudian setelah makan siang itu, Pak Rispan, guru PKN, bertanya kepada saya bagaimana cara menekan kriminalitas di Jakarta. Saya refleks menjawab, tentu saja jawaban saya itu sangat subjektif dan belum tentu benar.

Jika kita mau menekan angka kriminalitas, perekonomian kita harus menigkat, harus sejahtera. Orang melakukan tindak kejahatan karena untuk memenuhi kebutuhannya. Bisa jadi karena ia tidak bekerja dan bekerja itu butuh skill, dan ia tak punya itu, maka ahkirnya ia ambil jalan pintas. Mencopet atau memalak, misalnya, yang kebetulan tidak perlu ijazah untuk bisa melakukannya.

Tapi jika perekonomian kita maju, dan merata, pengangguran tidak ada, pasti tidak ada pemalak atau copet. Pertanyaannya, bagaimana caranya agar perekonomian masyarakat kita maju, agar menekan angka kriminalitas? Ah, untuk masalah itu saya rasa sudah dibahas oleh para pakar ekonomi dan kriminologi.

Tapi yang jelas, akar dari masalah ini ada di sistem politik yang ada di negeri ini—dan itu tentu saja merujuk langsung kepada moral para politikusnya. Toh, masih banyak kasus kriminalitas yang terjadi seperti pejabat yang korupsi padahal kondisi ekonomi atau keunganan mereka sudah jauh lebih dari cukup dibandingan dengan pencopet dan pengamen gadungan yang diceritakan di awal.

Pilpres

Lalu bagaimana dengan pilpres 2024? Apakah itu bisa mengubah kondisi bangsa ini? Apakah presiden yang terpilih nanti bisa membenahi masalah-masalah yang ada di Indonesia, khususnya Jakarta, seperti kasus kriminalitas kecil yang dibahas di tulisan ini?

Entahlah. Saya tidak tahu. Tapi kita tentu berharap bisa. Masalahnya bukan hanya siapa presidennya, tetapi juga apa program yang akan dijalankannya. Jika kita menoleh ke belakang, ada Gus Dur dan Habibie yang menjadi presiden Indonesia. Kurang hebat apa mereka? Selain berwawasan luas, karismatik dan revolusioner, mereka juga adalah sosok yang jujur, tegas, dan berani. Tapi apakah mereka bisa langsung menjinakkan (orang-orang) Jakarta, termasuk para politikus yang ada di Senayan? Tentu jawabannya tidak. Malah, dibandingkan dari presiden-presiden lain di negeri ini, justru merekalah yang masa jabatannya paling singkat.

Akhirnya percakapan kami berakhir seiring bel sekolah berbunyi. Kami harus masuk lagi ke kelas dan mengawasi para siswa kami yang sedang ujian. Di saat yang sama, di Jakarta sana, atau mungkin di kota-kota lain di negeri ini, mungkin kisah-kisah serupa yang Pak Ajizi, Mamet dan saya alami terulang kembali.

Rumah Baca Bojonegara, Serang, Banten, Senin, 15 Mei 2023 04:03 WIB