Sebelum Kita Terlelap

Suhu 2°C. Beku.
Pekik Gagak masih bergemuruh.
Suara pohon musim dingin.
Dan beberapa klakson kendaraan.


Jalanan sepi.
Sepeda-sepeda terparkir penat,
mengayuh keliling kota.
Rumah-rumah diam,
hanya kain jendela
yang bernyanyi mengisahkan malam.
masih berjalan.
Jaket tebal kita mulai basah
terkena embun yang tercampur salju tipis.
Sepatu bot dan longjhon hangat
masih di tempatnya,
tubuh lelah kita.

Lampu jalan yang temaram,
kadang redup.
Dihembus angin malam.

Kita memasuki terowongan.
Begitu gelap dan lembap.
Kita sedikit berlari.
Lalu, sebelum memasuki pusat kota. Koper dan tas berat
yang terus diangkat
dari desa-desa di perbatasan,
kita lepas.
Kita biarkan mereka terlelap
dan beristirahat,
sebelum matahari yang menyembul
pukul 9 pagi
membangunkan pemilik toko,
dan mengusir mereka.
Biarkan pakaian
dan apapun yang kita bawa dari rumah, kering. biarkan malam ini kita kuyup.

Di hadapan kota
yang berdiri gedung-gedung tua
dan penghangat di dalamnya,
kita berhenti. Saling berpelukan, memberikan kehangatan.
Kini suhu telah mencapai -3°C,
salju turun perlahan,
mengenai jaket dan rambut kita.

Kita saksikan orang-orang kota berjalan,
menghadapi malam mereka.
Dan kita masih saja mengikutinya dari belakang.
Tanpa lelah. Tanpa lelap.
Di sini begitu beku.

Belgia | 2018

*

Pengungsi dan Penjual Miniatur Eiffel

Kau kelelahan, setelah berjalan dari kota-kota sebelah timur. Hujan tak henti-hentinya membasahi kita, Resa. Di tanganku bergelantungan menara Eiffel yang sering kau sebut dalam mimpi. Sedang, di rambutmu, salju telah mekar dan terjaga, rintik hujan tak menggugurinya. Kau kedinginan melihat orang-orang berjaket tebal itu mengelilingi kita. Diam dan tak bergerak. Kau mengangkat tangan. Di kota ini, tak ada rumah hangat bagi pengungsi yang rindu pelukan, Resa. Hanya ada sepatu kita yang lembab, taman dan atap tua pertokoan yang bocor. Burung-burung hantu berteriak di atas kepala kita. Kau ketakutan. Aku pun ketakutan. Orang-orang itu turis, katamu. Kita juga turis, kataku. Kelaparan dengan dingin yang menusuk tulang-tulang kita, Resa. Di kota ini, aku menjual Eiffel. Kau menjual doa-doa. Duduklah di sini, turunkan topi perjalananmu. Angin malam akan datang bersama uang.

Paris | 2018