Setangkai Cinta
Setangkai cinta telah mengeluarkan getahnya
Dalam surat embun pengantar siang.
Mungkin juga kepak sayap pipit itu
Ikut tergoda pada mantra pemikat waktu
Karena sejauh matahari tergelincir
Haus adalah air,
Tempat kesalahan rentan mengalir.
Maka ia lepas selembar daun muda pada angin
Laksana aku mencintaimu lewat gemuruh cemburu.
Kusangka beliung,
Rupanya mendung seputih gubis,
Yang nyaris melukis beragam tangis.
Ya! Benar. Cinta itu tak butuh banyak solusi, katamu.
Kubiarkan saja kelelawar di rusuk purnama itu
Mencari pohon rimbun untuk bergantung, bermimpi
Tentang cahaya cinta di cakrawala. Laksana rindu yang keras,
Ludahpun bisa kita mainkan di atas selembar daun talas.
Sumenep, 2021
***
Besok pagi
Demikian, hujan tak pernah mampu
Menjumlah sisa rinduku kepadamu.
Besok pagi kau harus datang kepadaku
Menjemput aroma napasku yang tak lain
Jalan baik menyelesaikan tugasmu.
Besok pagi, mata hari akan mengantarmu
Semoga mendung tahu: apa-apa yang kuingin
Seperti halnya musim datang tepat waktu
Dan tak perlu ada yang menunggu.
Semisal besok pagi kau tak datang
Aku yang akan mendatangimu,
Menemuimu di mana pun kau berada
Sebab begitulah prinsip cinta
Tak ada alasan untuk mengingkarinya.
Lubtara, 2022
***
Tanggal Merah
Minggu itu, pada warna jambu alas
Tanggal berlari ke tepi taman
Menemui catatan di buku muda
Membacanya sehalus benang.
Tapi bagaimana mungkin
Hari yang terhitung dalam bulan
Dapat kita pisah dari kenangan
Sementara kita hanya angka
Yang tahu cara berputar
Tanpa harus berpikir benar.
Lubtara, 2022
***
Di Arus Pagi
Puisi ini akan tumbuh sekuat cintamu,
Sekuat matahari menangisi bumi
Hingga aku tak lagi tahu
Cara terbaik menyambut rindu.
Namun di taman
Yang kulihat tetaplah mekar mawar
Merah dan indah
Walau pernah ada dalam kisah.
Hingga tak terbanding
Antara dirimu yang gundah
Ataukah aku yang resah.
Lubtara, 2022