Terhitung jari kiranya jumlah seniman rajut di Indonesia ini. Terlebih bila ia adalah seorang laki-laki. Tahun 2022 lalu, seorang pelopor seni instalasi benang rajut dianugerahi penghargaan dari HighEnd Magazine sebagai salah satu dari The Alpha Under 40 bersama 18 tokoh lainnya dari berbagai bidang.
Lahir di Bandung tahun 1984, Mulyana Mogus atau sekarang lebih dikenal dengan nama Mang Moel (@mangmoel), berhasil membuat “Dunia berhenti sejenak menikmati karyamu….”─meminjam penggalan lirik lagu Komang karya Raim Laode, dengan sedikit penyesuaian─di Artjog 2018, Yogyakarta, dan menjadi bintang utamanya di pameran bergengsi tersebut dengan karya instalasi lautnya yang diberi tajuk “Sea Remembers” dan terus dipamerkan sampai saat ini di berbagai negara seperti Jepang, Singapore, Australia, Korea Selatan, dan Amerika Serikat.
Tim redaksi Kurungbuka.com merasa beruntung dan terhormat, sekaligus berbangga hati bisa mendapatkan kesempatan mewawancarainya secara eksklusif via Zoom Meeting di sela-sela kesibukannya melangsungkan pameran bertajuk “Mulyana: Modular Utopia” di galeri USC Fisher Museum of Art di Los Angeles, Amerika Serikat sejak 25 Februari – 13 April 2023 mendatang.
Lewat kreativitasnya ini Mang Moel berhasil mendobrak konsep normatif dalam pandangan masyarakat umum sekaligus merayakan beragam tema melalui karya seni rajut yang memberikan sensasi rupa dan tekstur. Tak hanya itu, tema yang ia angkat selalu membawa isu dan pesan penting bagi penikmat karyanya.
Tanpa perlu berlama-lama lagi, mari simak obrolan singkat namun penuh makna kami bersama Mang Moel, Sang Seniman Rajut Indonesia!
***
- Halo, Mang Moel! Terima kasih sudah berkenan untuk kami wawancarai. Saya sudah lama mengikuti karya-karya Mang Moel, termasuk sosok “Asam dan Garam” di video klip lagu “Hati-Hati di Jalan” milik Tulus. Dan saya sudah menyaksikan obrolan Mang Moel di beberapa media baik dalam dan luar negeri. Jadi, anggaplah kita sudah mengenal lama dan saya tak lagi akan berbasa-basi.
Sebagai seniman, kita sering dikotak-kotakkan dalam perspektif masyarakat, bahwa harusnya begini dan begitu. Apalagi seni instalasi yang Mang Moel geluti ini cukup unik, yaitu seni instalasi rajut. Sementara aktivitas merajut seringkali diidentikkan dengan gender tertentu. Nah, menurut Mang Moel sendiri, apa itu normal?
Anjir, susah juga ini ya pertanyaannya hehe… Normal itu biasa, sesuatu yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Makanya itu, aku mau breaking the stereotype bahwa merajut ini bukan milik perempuan atau emak-emak saja. Aktivitas merajut milik semua orang. Dan normal dilakukan oleh siapa pun.
Selain itu, menurutku memiliki keahlian merajut itu banyak manfaatnya. Bisa diaplikasikan ke pakaian, wearable, bisa juga ke seni. Sebagai seniman aku kasih pandangan dan sentuhan yang berbeda, bukan hanya untuk pakaian tetapi bisa juga diaplikasikan dalam seni instalasi.
- Bagaimana Mang Moel memandang seniman secara umum di Indonesia? Baik dalam kehidupannya maupun kekaryaannya. Apakah menjadi pelaku seni di negeri ini menjanjikan? Kalau boleh, bisa ceritakan kisah perjuangan Mang Moel…
Acuan aku sih seniman-seniman yang kulihat sendiri waktu aku residensi dan pindah ke Jogja. Banyak seniman yang aku temui dan ajak ngobrol, dan ternyata mereka bisa hidup. Kalau mereka bisa hidup kenapa aku nggak. Dari kepercayaan itu aku coba aja jalani. Yang penting mah mau berusaha dan konsisten. Asal kuat-kuat nunggu momen aja sampai sukses.
- Mang Moel sendiri menunggu prosesnya berapa lama sampai namanya dikenal luas seperti kayak sekarang?
Kata orang sih termasuk cepet ya, kurang dari 10 tahun. Karena apa yang aku lakuin beda dengan seniman di Indonesia kebanyakan, aku termasuk pelopornya gitu; perajut, laki-laki, dan instalasi. Kalau dicari itu nggak ada, aku doang kalau di Indonesia saat itu. Makanya cepet banget dikenal.
Pertama kali aku pameran di Artjog tahun 2015. Aku inget banget sampai akhirnya bisa booming dan dikenal luas itu pada tahun 2018 jadi seniman utama di Artjog, kayak jadi bintang utamanya gitulah. Artjog itu salah satu pameran yang prestige banget buat seniman, masuknya susah tahu-tahu baru 2 kali ikut, yang ketiga kalinya langsung di depan sebagai Guest Star.
Aku seniman Bandung, masih muda, dan karyanya pun seni instalasi rajut. Makanya booming banget, pas dapat momentumnya.
- Waktu di Bandung apa sudah cukup dikenal?
Nggak, sih, di Bandung belum kayak gitu. Aku waktu di Bandung aktif banget di Tobucil; Toko Buku Kecil, tempat di mana kami bicara soal seni dan literasi. Berbasis literasi, makanya banyak orang kreatif kumpul di sana. Semisal kayak klub-klub menulis, origami, dan rajut. Aku juga awalnya gabung karena tertarik sama seni origami, lalu ke rajut. Itu tempat yang sangat bermakna, Tobucil ini salah satu tempat paling berjasa di perjalanan karierku.
- Jadi, keahlian merajut sebelumnya dari mana? Teman, keluarga atau komunitas?
Di Tobucil, karena ada klub rajutnya. Awalnya aku cuma ngobrol, lalu diminta jaga bazaar, terus kebagian jadi pengajar untuk kelas craft kids, hari Sabtu dan Minggu banyak klub lain kumpul, dan ada yang beli buku walaupun nggak begitu banyak peminatnya.
- Kenapa tertarik dengan aktivitas merajut?
Seni rajut ini aku dapatin gara-gara suka sama origami modular, origami dengan bentuk sederhana lalu dirangkai jadi 3 dimensi dan instalasi. Aku udah melakukan itu dan masuk majalah dapat kerjaan untuk display-nya. Tapi karena media kertas kan rapuh, aku merasa kerepotan kalau rusak harus buat lagi.
Nah, aku nemuin alternatif dengan benang rajut ini. Keren banget, karena selain kuat dan bersih, rajutan ini bisa dibawa ke mana-mana, fleksibel banget. Itu awal ketertarikan aku. Aku mikir, gila ya, susahnya sama tapi kalau origami butuh meja, dan segala macam sementara rajutan fleksibel.
Yang banyak orang nggak tahu, seni rajut ini mesti tahu ilmu hitung-menghitungnya dan konsentrasi tinggi kayak origami. Itu kenapa banyak orang nggak suka karena butuh kesabaran, konsentrasi, paham pattern, dan harus terbiasa dengan itungan. Kalau nggak, nanti susah konek karena nggak tahu dasarnya. Di sana letak tantangannya. Selain itu, seni rajut ini juga sekarang jadi semacam media meditasi. Sama kayak nulis, bisa dipakai untuk melepas stres dan mencari ketenangan jiwa.
- Apa manfaat lainnya kira-kira?
Karena mesti hitung-menghitung, otomatis otak kita akan terus berpikir dan bisa menjauhkan kita dari kepikunan, pelupa, atau penyakit alzheimer. Orang kan ngelihatnya cuma ngerajut doang, padahal kalau nyoba ngerajut banyak yang nyerah. Makanya aku sampe sekarang, 10 tahun di Jogja bisa bertahan dan dikenal itu karena belum ada yang nyaingin, soalnya aktivitas merajut itu susah dan gampang bikin males.
Selain itu, karena orang kita sisi kemaskulinitasnya pun masih edan, makanya nggak sedikit yang merasa malu buat melakukan sesuatu di luar dari konsep kenormalan seorang laki-laki.
Aku sudah membuktikan sendiri, sejak tahun 2018, saat aku mulai dapat eksposure besar, aku bisa dapat banyak penghargaan. Ya aku termasuk seniman rajut di Indonesia. Aku inget dulu di Bandung ada guruku Teh Palupi Sri Kinkin, sampai sekarang juga masih sering bantu ngasih ide. Yang membedakan aku dengan perajut lain mungkin kalau yang lain belajar rajut aja buat hobi atau bikin pernak-pernik pakaian, nah kalau aku ya buat seni instalasi.
- Saya mendapat kabar Mang Moel sedang pameran di salah satu Galeri di US. Tentu bagi saya itu suatu pencapaian dan kebanggaan tersendiri sebagai sesama warga Indonesia. Kira-kira, dari banyaknya pengalaman menggelar pameran, apa sih yang membedakan pameran karya di Indonesia dengan di negara-negara yang Mang Moel pernah kunjungi atau pernah membuka pameran?
Di Indonesia masih kurang apresiasi dalam arti mengkoleksi karya, ya. Aku tuh bisa hidup dari sini, dari galeri Amerika ini. Alhamdulillah, penjualannya bagus. Mereka tuh kayak bener-bener berusaha untuk menjualkan karya senimannya. Tugas mereka mencari kolektor karya-karya kita.
Sebenernya di luar tuh karena lebih berpengalaman, jadi lebih all out, semua hal dipikirin. Bagaimana penataan penempatan karya gitu. Selain itu saat finishing, orang sini sangat memerhatikan dan membantu banget. Tata cahaya lampu dan lain sebagainya di konsep matang. Di Indonesia juga sekarang udah bagus untuk konsepnya, karena banyak banget yang belajar dari luar lalu diterapkan di sini. Kayak misal museumnya. Indonesia udah mulai aware-lah.
- Mengutip dari film animasi Pixar berjudul Ratatouille, ada dialog “Not everyone can become a great artist, but a great artist can come from anywhere.” Saya penasaran, Mang Moel yang konon background-nya lulusan pesantren, kenapa bisa akhirnya berprofesi sebagai seniman. Kenapa jalan ini yang dipilih? Apakah Mang Moel merasa ini bagian dari jalan dakwah juga?
Seni itu bagi aku penolong, sih. Teman paling baik, sebab dulu aku merasa di bully teman-teman karena berbeda. Seni jadi pelarian aku, untuk healing-nya aku. Sekarang permasalahan udah beres, aku udah berdamai dengan diri sendiri. Ketika itu beres, aku jadi nolongin orang, berbagi ilmu, pekerjaan dan semacamnya.
Lagi pula, dalam arti lain ini tuh bisa bagian dari media dakwah. Sebab seni itu pasti ada ilmunya, ada knowladge yang bisa kita sharing tekniknya. Dan bukan hanya itu, aku mondok di pesantren Darussalam Gontor 1 di Ponorogo selama 5 tahun, sejak lulus SMP, di sana banyak hal aku pelajari termasuk soal kedisiplinan. Ternyata itu bisa diterapkan dalam profesi yang aku geluti ini, tentang ketekunan, aware lingkungan sekitar, dan segala kebaikan lainnya.
Dan karya-karyaku ini bisa jadi pengingat. Sekarang aku lagi bikin instalasi tentang laut, mencoba mengingatkan diri sendiri dan orang lain, karena kita kan merasa nggak hidup di laut, jadi kita sering lupa. Aku sering lihat dokumenter tentang laut, dan aku suka amaze. Jadi, ini upaya aku untuk mengingatkan tentang keagungan Sang Kreator, Sang Maha Pencipta. Akhirnya kita hidup nggak mudah lupa dari rasa syukur.
Masak, udah dikasih akal, tangan, dan segala macam buat manusia, kita melupakan-Nya dan malah jadi sombong. Semua ini titipan, kita mah nggak punya apa-apa. Makanya aku anggap ini jalan lain atau alternatifku untuk berdakwah. Saling mengingatkan aja. Karena aku punya kelebihan di kesenian, ya udah aku buat karya aja yang bisa mengingatkan itu.
- Apa pesan untuk seniman yang sedang berjuang agar bisa sampai di titik Mang Moel sekarang atau bahkan lebih dari itu?
Tetap berusahalah, ada yang cepet ada yang nggak. Kadang milik-milikan aja. Aku sering ketemu orang yang selalu bilang “pengen dong kayak kamu.” Giliran ditanya punya karya nggak, jawab nggak. Ya, nggak bisa, kamu mesti punya karya buat pameran. Ya, berkarya dulu, kalau ngga punya karya jangan berharap sukses. Kadang suka kesel ada pertanyaan bodoh kayak gitu. Dikira aku nggak ada perjuangannya apa.
Mereka nggak tau bahwa dulu pas aku abis pameran jatuh sakit berkali-kali karena saking edun beratnya. Seringkali mereka cuma tahunya aku yang sekarang. Mereka nggak tahu waktu aku di kampus dulu aku jualan benang, aku kerja juga waktu kuliah. Tanya aja seangkatan sama aku atau di atas angkatanku. Aku sampai dipanggil Moel Rajut, karena tiap hari aku bawa benang, setiap hari aku merajut jualan benang demi dapat tambahan uang. Aku ajarin temen-temen yang beli benang. Karena kita nggak belajar rajut di Jurusan Pendidikan Seni Rupa, UPI, Bandung. Mereka tuh nggak tahu aku sampe segitunya.
Aku sampe sini tuh ada proses yang panjang banget dari zaman kuliah tahun 2005. Aku udah mulai mencari-cari sesuatu dalam artian aku membaca. Nah ini dia iqro. Aku lihat sekelilingku coba mengeksplore keahlianku apa, dari coba-coba origami sampai nemu seni rajut ini. Ada gagalnya juga pastilah, untuk sampai menemukan teknik yang sekarang cocok sama aku sendiri.
- Saya tahu ini akan sulit, tetapi selama Mang Moel menekuni profesi ini as a professional artist, dari banyaknya pameran yang diselenggarakan dalam maupun luar negeri, mana yang paling berkesan dan selalu teringat sebagai kenangan yang indah? Kenapa?
Pastinya itu pameran Artjog 2018, ya. Karena titik tolak aku. Sampai nulisin semua orang yang ngebantuin aku, ada 70 orang aku tulis semua. Mereka yang bantu juga kayak kagum, wah ternyata rajut itu juga bisa begini. Dari situ juga membuka jalan aku ke mana-mana sampai sekarang aku punya portofolio. Pameran di Jogja itu kayak jadi sample atau acuan orang ngundang aku.
- Kok kayaknya rada emosional, ya, waktu nyeritainnya? Sebesar itukah andilnya dalam proses berkesenian Mang Moel?
Iya, karena itu aku sampe hampir mati lho, pas masang instalasi juga sesek napas masuk rumah sakit. Saking degdegannya. Kata dokternya kalau kamu ngerasa capek dan stress langsung ke sini aja. Perjuangannya kerasa banget saat itu, apalagi ada yang suka nyinyir gitu, jadi aku mau tunjukin kalau aku berada di jalur yang tepat. Beruntungnya dapat support dari temen-temen dan keluarga.
***
Untuk membuat project-project instalasinya, Mang Moel kini bermitra dengan seniman rajut di Jogja dan terus melakukan eksplorasi tema yang beragam. Baru-baru ini, ia sedang berkolaborasi dengan Samsung Indonesia untuk promosi smartphone Galaxy S23 Series 5G dengan tajuk Dive deep “Under The Sea” with Nightography camera dan akan berkeliling ke 3 kota: Jakarta, Surabaya, Medan. Ingin tahu lebih jauh tentang Mang Moel dan karyanya, sila berkunjung ke: http://mulyana.info.
(semua foto dari instagram @mangmoel dan websitenya)