Seperti malam-malam yang biasa kau sudahi setelah mengecek berkas-berkas penting, kau tinggalkan cangkir favoritmu dengan sisa kopi yang agak banyak. Kau tak pernah menggunakan cangkir yang lain meski istrimu membeli gelas-gelas baru yang cantik atau mug berukuran besar. Kau tetap menggunakan cangkir berwarna putih gading itu dan mengisinya dengan kopi kesukaanmu.

Aku mengenalmu pertama kali sebagai sosok yang begitu mencintai kopi dan selalu memiliki cara untuk menikmati setiap sesapnya. Hobimu adalah mencicipi berbagai jenis kopi. Kalau tak salah ingat, kau paling suka kopi jenis arabika dan robusta.

Sependek yang aku tahu, kau tak pernah menyisakan setetes pun kopi yang kau sukai. Namun, setelah kita bertemu satu setengah tahun yang lalu, kau selalu menyisakan kopimu banyak-banyak dan meninggalkannya di atas meja. Paginya, kau pasti akan mendapati cangkirmu kosong. Bahkan, tak ada ampas kopi yang tersisa. Kau selalu tersenyum setelahnya dan memandang langit-langit kamarmu dengan binar bahagia. Sepanjang pagi, kau akan selalu tersenyum, kemudian mengambil cangkir itu, mencucinya.

Malam berikutnya, kau menggunakan cangkirnya lagi, dan kembali menyisakan kopi di dalamnya. Begitu seterusnya. Tanpa pernah bosan.

Bagiku, sisa kopi favoritmu yang kau tinggalkan dalam cangkir itu adalah pertanda bahwa kau orang baik. Sungguh, kau orang baik, benar-benar baik.

***

Tak seperti malam yang biasa kita lalui berdua, hari itu, kau lembur hingga nyaris subuh. Aku menghitung berapa cangkir kopi yang sudah kau habiskan. Belasan atau mungkin sudah puluhan? Aku tak begitu tahu. Kau pasti paham, aku tak pandai berhitung.

Hari itu, dari rumahmu yang senyap, terdengar ketukan pintu yang memburu. Kau menerka-nerka siapa gerangan orang yang membikin gaduh di waktu subuh. Tak ada orang di rumah selain kau dan aku. Istri dan anak bungsumu tengah menjenguk mertuamu yang tengah sakit, sementara anak sulungmu sedang melakukan perjalanan karya wisata.

Kau bisa saja mengabaikan suara ketukan pintu itu, tetapi kau tak melakukannya. Dengan tergesa-gesa pula, kau menghampiri pintu—berpikir bahwa tamu di waktu subuh itu memang membutuhkanmu. Bahkan, kau sempat berpikir pula bahwa bisa jadi orang itu adalah istri atau kedua anakmu.

Sayangnya, hari itu menjelma jadi kesialanmu. Saat baru membuka pintu selebar satu lengan tangan orang dewasa, seorang pria dengan tangan kekar menarikmu keluar. Wajahmu dihantam balok kayu. Kau tak sempat bersuara bahkan untuk sekadar merintih kesakitan. Tangan lainnya membekap mulutmu. Kemudian, balok kayu itu dihantamkan berkali-kali pada tubuhmu, disusul golok yang ditancapkan ke bahumu.

Aku berdiam diri di balik pintu, kebingungan. Kau orang baik. Sangat baik. Sungguh, kau tidak pantas mengalami hal seperti ini. Apa yang membuat orang baik sepertimu harus didatangi tiga pria yang masing-masing membawa golok dan balok kayu besar? Kau orang baik. Sungguh-sungguh baik. Kau tak pantas diperlakukan seperti ini. Sungguh, orang baik sepertimu tak pantas mendapatkan perlakuan seperti itu.

Aku masih berada di balik pintu, mengamati dengan kaki gemetaran. Kakiku nyaris tak lengket lagi saking gemetarnya melihatmu dihantam berulang kali, sementara tak ada satu hal pun yang bisa aku lakukan.

Maka dari itu, aku memohon kepada Tuhan untuk mengubahku menjadi manusia, barang satu atau dua jam saja. Bahkan, jika hanya lima belas menit pun tak apa. Aku akan berteriak keras-keras agar tetangga-tetanggamu mendengar atau aku bisa menjadikan tubuhku sebagai pelindungmu, biar golok dan kapak itu menancap ke tubuhku. Lalu kau selamat.

***

Kau orang baik. Aku tidak bohong. Kau kuanggap baik bukan hanya karena selalu menyisakan kopi dan remahan kue untukku. Meski istrimu menjerit-jerit tak menyukai kehadiranku dan anak-anakmu selalu ingin membunuhku dengan ketapel, kau tetap mengizinkanku menguasai dinding-dinding rumah.

Aku memang tak pandai berhitung, kau pasti paham. Namun, aku sedikit-sedikit bisa membaca. Kau selalu membiarkanku tergeletak di atas berkas-berkas yang kau selidiki tanpa sedikit pun berniat untuk mengusirku. Dari sana, aku mulai belajar membaca, berangsur memahami apa yang tengah kau kerjakan. Dua bulan yang lalu, baru kuketahui bahwa kau sedang menyelidiki kasus-kasus korupsi yang dilakukan beberapa oknum pejabat. Nilainya tak main-main, triliunan!

Dari berkas-berkas yang kubaca, kasus-kasus korupsi itu saling berkaitan. Mulai dari beras, migas, hingga kartu identitas! Aktor-aktornya tidak lain dan tidak bukan, ya mereka-mereka itu saja. Orang-orang yang sama, yang katamu sudah punya riwayat “baik” dalam sepak terjangnya menjadi maling berdasi.

Aku hanya seekor cicak, kalaupun bumi dikeruk oleh orang-orang tamak, aku tak akan merasakan dampak buruknya. Dinding-dinding rumah masih tetap akan ada. Aku bisa sesekali bersemayam di dinding rumah orang-orang yang korup itu. Tentu sembari menguping pembicaraan mereka. Jumlah mereka tentu banyak. Melebihi jumlah orang-orang sepertimu. Meski begitu, orang-orang baik seperti kau harus tetap ada. Meski kalah jumlah dan berisiko dimusuhi banyak orang.

Aku jadi tahu, mengapa kau memiliki banyak musuh. Sebaik apa pun kau padaku, rumahmu tak pernah tenang. Anak sulungmu pernah pulang dengan kaki terluka karena seorang pengendara bermotor berusaha menabraknya. Kau pernah menjumpai mobilmu dirusak orang dengan kaca yang pecah di suatu pagi. Gerbang rumahmu pernah dicorat-coret menggunakan cat pilox. Ancaman demi ancaman menyerbumu hampir setiap hari. Mereka datang tanpa diminta. Sesekali membawa kawan-kawannya.

Sebagai seekor cicak, aku tak pernah mengerti dunia manusia. Mengapa orang baik memiliki musuh sebegitu banyaknya? Mengapa orang-orang baik malah dibenci dan diperlakukan dengan kejam seperti yang kau alami? Aku tak pernah bermusuhan dengan cicak-cicak yang lain. Kami berkawan akrab. Kami tak pernah saling berkelahi. Kadang-kadang kami bernyanyi bersama-sama untuk memecah sepi. Aku sering membagi remahan kue yang aku dapatkan darimu. Lalu, mengapa manusia malah saling berperang?

Yang selalu membuatku tak habis pikir adalah orang-orang yang kau selidiki. Aku pikir, sebagai pejabat pemerintah, mereka seharusnya cukup kaya. Namun, kau bercerita padaku kemarin, para pejabat pemerintah itu meminta apartemen pribadi sementara jutaan manusia diusir dari rumahnya, digusur dari lahan-lahan pertaniannya, dan telantar di pinggir-pinggir jalan yang panas dan penuh bahaya. Kau tertawa miris setelah menceritakan hal itu padaku. Di lain waktu, kau ceritakan pula kekayaan aktor-aktor kunci yang terlibat dalam beberapa kasus korupsi.

Mereka memiliki bisnis yang panjang dan awet. Beberapa di antaranya menjadi penanam saham perusahaan yang membakar sebagian besar hutan. Beberapa yang lain memiliki usaha bisnis tambang dan hotel yang merusak lingkungan. Hampir semuanya memiliki usaha-usaha kotor. Jauh sebelum mereka menggiati usaha-usaha itu, mereka sudah lebih dulu kaya.

Mengapa mereka masih mencuri dengan cara membabi buta seperti itu selama belasan tahun lamanya lewat berbagai macam praktik, politisasi produk hukum, dan berdalih melakukan pembangunan demi kepentingan umum?

Aku ingin bertanya kepadamu mengapa mereka serakah sekali, sementara kau hidup sederhana-sederhana saja? Aku ingin bertanya kepadamu, mengapa dalam satu hari ada saja orang yang mampu menghabiskan uang sebegitu banyaknya, sementara yang lain mati-matian menahan lapar hingga esok pagi, dan mungkin esok paginya lagi, bahkan mungkin selamanya hingga mereka mati kelaparan sementara yang lain kekenyangan? Harusnya aku tak bertanya kepadamu. Kau orang baik. Kau pasti punya pemikiran dan pertanyaan yang sama denganku. Kau pasti juga memikirkan orang-orang yang tengah menderita di luar sana. Harusnya aku bertanya kepada pencuri-pencuri itu, mengapa begitu tega menyiksa banyak orang yang sudah menderita?

Sayangnya, orang sepertimu sepertinya sedikit sekali. Buktinya, dibanding kawan yang sevisi, kau lebih banyak dimusuhi. Dunia manusia memang aneh, mengapa kebaikan dan kebenaran sulit sekali dimenangkan? Padahal, sungguh, kau itu orang baik. Kau tak pernah membuangku ke tong sampah ketika mendapatiku mengeliat kekenyangan di dalam cangkir kopimu. Kau akan membiarkanku di sana sampai kenyangku agak hilang. Lalu dengan berhati-hati, kau memiringkan cangkirmu agar aku keluar pelan-pelan.

Kau tahu? Aku tak pernah mengerti dunia manusia. Aku dan para cicak tak pernah saling berseteru. Kami saling mengasihi, dan sebisa mungkin tak saling menyakiti.

Aku selalu heran, kau itu orang baik. Lebih patut dicintai dan diteladani daripada disakiti seperti ini!

***

Aku terus berdoa. Seperti malam-malam yang biasa kau lalui selain menghabiskan puluhan berkas. Namun, doaku tak dikabulkan. Aku tidak menjadi manusia. Aku masih seekor cicak. Hewan kelas reptil yang mungkin membuat sebagian besar orang jijik. Termasuk istri dan anakmu.

Sungguh, aku ingin sekali jadi manusia. Biarlah aku yang mati karena kau harus tetap hidup untuk menyelesaikan kasus-kasus itu!

Namun, doaku tak kunjung dikabulkan sampai akhirnya aku melihatmu menggelepar cepat kemudian tak bergerak lagi, mati…!

Ah, tiada lagi pagi yang akan kujumpai dengan melihatmu tersenyum berbinar. Tiada lagi dirimu yang akan mencuci piring-piring kotor bekas makan malam pagi-pagi sekali.

Kau orang baik. Tak semestinya mati dengan cara sekeji ini! Jika pun kau memang harus mati, para pembunuhmu harus mendapatkan hukuman setimpal. Mereka tak boleh dibiarkan bebas begitu saja. Semua orang harus tahu bahwa kau dibunuh!

Namun, bagaimana jika tidak ada yang tahu kau mengejang sendirian di gulita malam? Bagaimana jika tidak ada seorang pun yang tahu bahwa balok kayu itu dihantamkan pada tubuhmu berulang kali hingga kau mati?

Tetangga-tetanggamu sepertinya masih terlelap. Rumah-rumah mereka hanya memendarkan cahaya temaram. Ah, ya, mereka harus tahu dan datang ke rumahmu sekarang!

“Ck ck ck ck ck!” Itu bukan suara decakan kagum atau terheran-heran. Begitulah caraku bersuara.

Aku berusaha mengeluarkan suara sekeras mungkin agar tetangga-tetanggamu bangun dan mendapati tiga pria pembunuh ini. Mereka harus tahu apa yang sedang terjadi!

“Ck ck ck ck ck!”

***

Selagi aku menimbulkan bunyi-bunyian yang menggaggu, aku tetap tak lelah berdoa. Kali ini, meskipun kau telah mati dalam keadaan mengenaskan, orang-orang harus mengetahui hal ini agar mereka jadi saksi. Jika bukan mereka, biarkan aku menjadi manusia agar bisa menjadi saksi mata. Akan kujelaskan dengan sesungguh-sungguhnya di pengadilan nanti hingga para cecunguk itu dipenjara. Aku tahu, setelah itu aku pasti akan diburu untuk dibunuh, tapi tak apa. Pada dasarnya aku hanya seekor cicak. Meski nanti akan terbunuh sepertimu, setidaknya kesaksianku akan membantu mengungkap kasus pembunuhanmu.

“Ck ck ck ck ck!”

Aku sudah bersuara terus-menerus. Mengapa tetanggamu tak ada yang terbangun? Ah, aku tahu ini tindakan sia-sia. Mereka pasti tak akan dengar. Suaraku, meski bisa didengar oleh seisi rumah, tak mungkin tetangga-tetanggamu mengetahuinya.

Cara ini tak berhasil sama sekali. Tuhan, sungguh, biarkan aku jadi manusia. Sekali saja!

“Ck ck ck ck ck!”

“Ck! Dasar cicak pengganggu!” Kudengar salah seorang pembunuhmu berdecak kesal sambil melotot ke arahku yang tengah bersuara di engsel pintu. Dia masuk ke dalam rumah mengambil barang-barang berharga dan berkas-berkas yang kau kerjakan kemudian mengempaskan pintu dengan sangat keras.

***

“Ck ck ck… Ck!”

Sayangnya, Tuhan tidak mengizinkanku. Ia tak mengabulkan permintaan terakhirku, sebelum aku terjepit di engsel pintu karena salah seorang pembunuhmu menutup daun pintu dengan keras. Pada akhirnya, aku harus menerima nasib yang sama seperti cicak-cicak yang lain—mati gepeng selama berjam-jam sampai segerombolan semut datang, membawa tubuhku ke kandang mereka sebagai cadangan makanan selama berhari-hari ke depan.

Aku bisa melihat cuilan tubuhku lenyap satu per satu dibawa semut merah ke dalam tanah. Sampai akhirnya aku melihatmu tersenyum dengan wajah cerah, bagai lampu neon yang biasa menarik perhatianku.

Ah, apakah tadi hanyalah mimpi dan kita berdua kembali menjumpai pagi yang sama? Oh, ataukah kita sudah sampai di surga?

Ahoi, apakah cicak yang mati gepeng karena terjepit di engsel pintu rumah akan masuk surga?[]