Saepurrohman

2 tahun silam, dunia diterjang oleh Covid-19. Semua sektor kehidupan mengalami kelesuan—terutama pada bidang pendidikan. Hal yang paling utama harus dilakukan oleh umat manusia untuk tetap eksis melakukan kegiatan—adalah dengan beradaptasi.

Pendidikan berganti rupa, yang semula dilakukan dengan cara tatap muka mau tidak mau harus menerima perubahan baru—tentu saja online—yang menarik dari semua itu, setiap kampus berlomba-lomba menjadi yang terbaik dalam menangani masalah pendidikan tersebut.

Misalnya pada bidang pendidikan, perpustakaan daerah berlomba-lomba untuk mengadopsi buku-buku cetak menjadi digital—dan itu dilakukan juga oleh perpustakaan UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten.

Perpustakaan hybrid yang bisa diakses baik dari jarak jauh dan dekat—memang sudah dilakukan oleh kampus-kampus besar, tetapi di UIN Banten itu merupakan sebuah gebrakan yang agung dan maha dahsyat.

Gebrakan Baru dan Minat Baca Mahasiswa

3 tahun silam, koleksi buku perpustakaan UIN Banten tidak pernah ada perubahan. Bahkan tidak jarang, ketika mahasiswa mencari referensi yang sangat penting—tetapi sangat disayangkan belum ada wujudnya sama sekali.

Begitu pula dengan koran-koran. Bagi mahasiswa yang sering menulis untuk koran biasanya ia membuka pada halaman opini. Dan sangat disayangkan bukan opininya yang tidak ada di koran, tetapi perpustakaan UIN Banten tidak berlangganan.

Beruntunglah, setelah dihajar Covid-19—perpustakaan UIN Banten mengalami perubahan yang drastis. Buku-buku, majalah, dan koran baik nasional maupun lokal dengan sangat mudah didapatkan dengan tertanggal yang baru.

Mohammad Shoheh selaku kepala Perpustakaan UIN Banten sangat menyayangkan—walaupun buku, majalah, dan koran sudah dilengkapi—tetapi minat baca mahasiswanya sangat rendah sekali, sehingga dari sejak pagi sampai sore—jarang sekali mahasiswa yang membaca koran atau majalah di ruang tunggu.

Penulis mengakui bahwa sejak dari dulu, minat membaca mahasiswa sangat rendah sekali. Tentu saja, ini bukan hanya di UIN Banten, tetapi juga di kampus-kampus lain, mahasiswanya tidak suka membaca atau bahkan tidak tahan membaca lebih dari lima menit.

Dari Akreditasi ke Peringkat Kampus

Mohammad Shoheh penulis buku Futuh al-Asrar fi Fadhail al-Tahlil wa al-Adzkar itu memiliki keinginan kuat untuk membuat kampusnya bisa bersaing dengan kampus-kampus yang sudah mapan. Satu hal gagasan besarnya adalah digitalisasi karya tulis mahasiswa (berupa skripsi) yang lebih modern.

Maksudnya, skripsi mahasiswa bukan cuma sekedar bisa diakses melalui repository, tetapi lebih dari itu—masing-masing mahasiswa harus memiliki akun google scholar dan menggunakan email kampus.

Kemudian, cara penyusunannya menggunakan aplikasi yang mutakhir seperti middle range—agar orang yang mengutip karya ilmiah mahasiswa bisa masuk ke email Google Scholar-nya masing-masing. Dengan demikian, itu akan membuat akreditas dan peringkat kampus menjadi jempolan.

Doktor filologi itu berharap realisasi gagasannya bisa diaplikasikan pada tahun mendatang—tentu saja semua mahasiswa akan diberikan pelatihan—tanpa terkecuali. Yang lebih unik, Muhammad Shoheh akan turun gunung seandainya ada mahasiswa yang mau belajar mulai dari sekarang.

Penulis berkesimpulan gagasan besar itu merupakan perubahan besar yang terjadi di UIN Banten. Namun, yang menjadi kendala dalam merealisasikan gagasan itu dibutuhkan pula dana yang besar. Kira-kira begitu.**”