KURUNGBUKA.com – (03/03/2024) Para pengarang pasti bosan jika keseringan mendapat pertanyaan: cerita-cerita ditulis dari pengalaman nyata atau sepenuhnya imajinasi? Jawaban yang diberikan akan membosankan sekaligus menggelikan. Para pembaca yang mengaku kagum biasanya menyiksa pengarang.

Pertanyaan yang menurutnya bermutu tapi sebenarnya hampir omong kosong. Pengarang yang menjawab berada di antara malu, malas, dan geram. Namun, ada yang memberi penjelasan agar pertanyaan yang sama tidak berlanjut sampai kiamat. Pertanyaan yang anehnya malah mengabadi.

Satyagraha Hoerip (1983) mengungkapkan: “…. saya juga mengarang dengan metode blasteran.” Ia tidak mau menjawab untuk mewakili dirinya sendiri tapi mencari yang lain-lain sehingga mengesankan kebenaran. Blasteran diartikan “mencampur imajinasi dengan realitas, mengaduk-aduk khayalan dengan kenyataan.”

Kalimat bisa diubah susunannya. Kita gampang mengerti tanpa harus mengajukan seratus pertanyaan lagi. Satyagraha Hoerip memilih sopan dalam menerangkan cara mengarang. Ia merasa tidak istimewa, memiliki hak membagi penjelasannya untuk orang-orang yang ingin ikut menulis cerita.

Jawab itu jelas. Namun, pengarang masih bermurah penjelasan: “Nah, pengalaman dan khayalan ini, ditambah dengan gejolak dan gelitik yang sedang melanda diri saya, pada saat-saat yang khusus akan melahirkan cerpen atau novelet, yang tidak seberapa banyak itu.” Ia bukanlah pengarang yang menghasilkan banyak tulisan meski menggunakan metode blasteran.

Cara membuat cerita yang tidak menjamin kuantitas tapi capaian kualitas. Satyagraha Hoerip menyamakan dirinya dengan pengarang-pengarang lain, yang membuat para pembacanya cukup sekali saja bertanya tentang pengalaman dan khayalan. Jawaban tetap berulang.

(Pamusuk Eneste (editor), 1984, Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang II, Gramedia)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<