Judul : Cahaya di Penjuru Hati
Penulis : Alberthiene Endah
Penerbit: Penerbit Andi
Cetakan : Pertama, Mei 2017
Tebal : 438 hal
ISBN : 9789792966022
Banyak godaan dan ujian mengelilingi kita. Kita harus bertarung mempertahankan diri untuk berada dalam nilai-nilai baik dan berjalan dengan kebenaran. Itulah kunci kemenangan hidup manusia. Dunia ini pertarungan.
(Alberthiene Endah)
Simpel, klasik, dan abadi. Happy problems membelit setiap insan.
Inilah tamsil Alberthiene Endah menukil makna hidup melalui novel Cahaya di Penjuru Hati. Bertarung, duel, lalu uji kenyataan. Medan duel, yakni tarung tiga media. Tak tanggung-tanggung, media buku (novel sastra Indonesia), media CD OST/original soundtrack (geng cinta dibikin lirik lagu oleh Brian dari Jikustik Band-Yogyakarta sebagai melovokalis), dan media film (ekranisasi novel ke layar lebar).
Media lagu dan film mengiringi buku novel. Sebenarnya bukan cara inovatif untuk strategi marketing, justru kontraproduktif, mengapa?
Jika sekadar mengarus air mengalir, bak ikan mati. Wacana diserempetkan bahwa novel Alberthiene ini mirip kisahan Habibie-Ainun. Bandingkan dengan rating film love-story Habibie-Ainun yang disketsa dari kisah nyata. Pahami juga tebar pesona aktor-aktris Reza Rahadian-Bunga Citra Lestari. Konon laris, tetapi edar tak lama.
Telah jamak media film membanting novel. Tak lekang filmisasi “Sitti Nurbaya” (aktor-aktris Gusti Randa-Novia Kolopaking) zaman Balai Pustaka hingga artis panas Eva Arnaz dalam “Darah Mahkota Ronggeng” (tafsir novel Ronggeng Dukuh Paruk). Bahkan, filmisasi menyasar riuh pada “Laskar Pelangi” Andrea Hirata atau “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono. Setelah itu redup, tak lama bernapas. Bagaimana intrik Iqbal-Dilan, Dian Sastro-Kartini, pun Minke dan Annelies (yang dibesut dari tetralogi Pram)?
Berkaca dari momen inilah Alberthiene Endah pernah mencicipi filmisasi salah satu novelnya, Athirah. Lantas, prospek cerahkah film Athirah besutan Riri Riza itu?
Menyigi novel gembur Cahaya di Penjuru Hati menyemburlah persimpangan: sastra, pop, ataukah picisan?
Prolognya tidak menguarkan suspense yang menelikung. Cerita awal stereotipe, datar. Dari data viral promosi booming dan launching yang superbonafide, teranglah novel ini miskin cuitan. Terlalu prematur menyandang label the (national) best seller yang pernah dirilisnya.
Apa biangnya?
Reputasi Alberthiene memang moncer. Terlebih selepas wanita pejuang Athirah, ibunda Jusuf Kalla, ciamik diembat Alberthiene sekaligus dalam novel dan film. Imbasnya, larut selera pasar, novel tergres ini pun digarap sineas dan aktor-aktris gaek untuk segera ekranisasi. Heru Saputra (sutradara) telah menimang aktor Lukman Sardi dan Baim Wong.
Alberthiene masih muda. Mentereng kiprahnya. Tapi di tikungan novel sastra Alberthiene masih medioker. Apa amunisi ledaknya? Humanistis dikaveling para tokohnya, bias gender yang begitu humble, dan karakter yang religius menjadi komunitas nilai plus.
Inilah taji taruhannya. Alberthiene diiming-imingi si empunya cerita. Muasalnya, Alberthiene bimbang. Alberthiene bergeming. Ceritanya monoton, tidak menantang, apalagi eksperimental. Logika cerita kikuk, struktural prosais. Lugu untuk bersaing di level marketing novel-novel polifoni. Sekadar kembara tanding, sebutlah Telembuk (Kedung Darma Romansha, 2017) dan Dawuk (Mahfud Ikhwan, 2017) atau Tanjung Kemarau (Royyan Julian, 2017). Tiga novel kompetitor ini mengumbar akar kukuh human zaman real, banal, dan sarkastis. Campur aduk dengan bahasa yang nyinyir nan keras. Kebetulan novelisnya memang lelaki.
Tak surut heroiknya, si Alberthiene tetep kekeh di rel bahasa feminitas. Tegar-tengkuk (ndableg dalam bahasa Jawa) tak gentar oleh terjangan diksi-diksi maskulinitas.
Lalu mengapa Alberthiene tetep nekat menuliskannya menjadi novel gembur ini?
Lini heroiknya ditilik dari pusar religiositas. Garansinya dicukil dari sabda YB Mangunwijaya yang monolit dalam kitab empu Sastra dan Religiositas. Bak hitung kasar bermain domino, Romo Mangun berani menyelingkungkannya dalam biara novel religius yang andal. Tangkapannya sederhana. Ranah religiositas novel ini memain-mainkan kontekstualitas bahasa-cinta; storge (cinta keluarga), eros (cinta nafsu), phileo (cinta sesama), dan agape (cinta-kasih Allah). Keempat ranah ini berbicara tentang cinta. Bahkan, terbilang korpus cinta.
Cinta picisan, bukan! Insan cendekia bilang manajemen cinta dari ceruk kalbu. Ada tabu yang menggebu. Kaum biofilia menyelipkan cinta humanistis ini dilandasi konsep “trianggolo. Pertama, trianggolo komunikasi personal manusiawi (anak-ibu-bapak, bapak-ibu-anak, ibu-bapak-anak). Kedua, trianggolo komunikasi personal imani (Tuhan-ortu-anak, ortu-Tuhan-anak, anak-ortu-Tuhan).
Berkat rahim religiositas tersebut Alberthiene bertekuk lutut. Alberthiene takluk. Tamsil hidupnya dibenturkan oleh simpati dan empati protagonis (tokoh bapak) yang bertelut dalam doa, berkaca airmata di samping tokoh istri yang sakaratul maut. Cinta sejati tak cukup. Cinta pun justru bikin pepes dan apes. Dari sinilah Alberthiene menyigi sosok dan karakter hero human untuk protagonis dan antagonis bahkan pahlawan sejati.
Lagi-lagi bildungsroman menggenapi sentilun korpus cinta. Istilah pas menginisiasi novel ini. Edukatif. Novel pendidikan penuh bius sekaligus racun, tetapi jelas menghardik jauh derai picisan. Cerita inspiratif memaknai hidup. Kucur air mata sengaja dibuat garing. Lakon hidup diberi nyawa amanah dan mandat supaya tidak cengeng dibantai badai hidup. Sebab kemenangan hidup-jati seseorang adalah penderitaan (siksa-diri) demi kesadaran merayakan syukur. Syukur atas pelayanan kepada semua umat manusia. Tanpa pandang bulu. Oleh karena itu, dewasalah semua tokoh novel karena asa, cinta, dan iman yang mendalam. Lagi-lagi, spiritualitas dan aktualisasi jiwa hero tajam menyusup. Ini kerangka besarnya.
Kisahan ceritanya diunggah dari saksi hidup (witness). Tak banyak gaya penceritaan yang dipakai Alberthiene. Back tracking (kilas balik yang superpanjang) menjadi andalannya. Bisa dikulik, berkat pamer alur genial ini juga novel Alberthiene bernyawa ganda.
Novel ini segaya cerita berbingkai. Bingkai utamanya sepasang tokoh suami-istri (Wim Gondowijoyo dan Liliawati). Mereka beradab etnis Tionghoa. Mereka mendamparkan diri di ICU, Glen Eagles, Singapura (hlm. 11). Berakhir maut, tamat di ruang khusus RS Bethesda, Yogyakarta. Liliawati koma karena sirosis (pengerasan hati) akut. Wim berjaga hingga Lili menutup mata selamanya (hlm. 407).
Dalam bingkai utama inilah protagonis Wim memuntir memori. Bak pendekar kehidupan, Wim gaduh bertarung melawan kerasnya kehidupan, bengisnya tabiat setiap umat yang mengaku punya iman. Akan tetapi, masyarakatnya keropos kepercayaan dan hendak menggadaikan Tuhan. Wim dibesarkan dalam keluarga serbamiskin di Sidoarjo. Wim sulung yang beradik Tiong, John, dan Silvi. Ibunya bakul rengginang. Ayahnya sopir oplet. Prinsip hidupnya, biarlah orang tua supermiskin, tetapi anak-anak wajib menjadi orang sukses. Dengan berjibaku gencetan fulus, Wim dan ketiga adiknya nekat menggelandang ke sekolah favorit (Yogyakarta-Malang-Surabaya) hingga mengantarnya meraih tampuk jabatan, kuasa, dan kerja.
Wim menjadi petarung tangguh karena ditempa bengisnya hidup. Kuliah bertualang di Gadjah Mada dan Atmajaya. Wim rela makelaran rongsok demi menyambung hidup. Wim berani menikahi Liliawati dengan modal nyali cinta tulus dan iman mendalam. Sungguh kuasa cinta dan iman ini mendewasakan keluarga Wim-Lili dalam bekerja. Sembari kuliah Wim menjadi asisten dosen dan sembari memangku jabatan di bagian administrasi rektorat. Hebatnya, Wim tetap makelaran rongsok. Bolehlah mental kere, tetapi nyali bos.
Lili menjadi pendoa ulung, pelayan umat, penderma, jago kuliner, dan setia mendampingi Wim. Wim sukses. Wim mampu mendirikan usaha cetak CV Andi Offset yang merekrut ratusan karyawan. Wim pun mampu mendirikan Hotel Phoenix di pusaran Malioboro. Sukses materi ini disyukuri Wim dengan mendirikan rumah doa Imelda di kawasan Kaliurang. Sukses Wim-Lili diiringi titipan Allah dengan empat anak (Andi, Yesky, Sheila, Joseph). Keempat anak ini mewarisi lumuran darah sukses orang tua.
Di balik sukses keluarga Wim-Lili, muncullah badai menghajar. Krisis moneter yang melanda tahun 1997/1998 menjadi titik balik. Zero point return. Wim terjerat piutang. Wim dihujat rekanan kerja, karyawan, bahkan karib seiman. Wim tandas. Telak terjungkal. Nyaris tak bermartabat. Benar-benar Wim sakaratul maut. Terpaksa, Wim menjual aset vital, Hotel Phoenix, demi kepul asa hidup baru.
“Ora et labora, celotehku nimbrung menimpuki sang hero Wim.
Kini kembali Wim merangkaki hidup. Hidup dari nol dan kudu mengais rongsokan lagi. Namun, Tuhan berkarya. Usaha percetakan-mini memulihkan luka hidup Wim. Andi-mini semakin membubung besar menjadi CV Andi hingga unjuk gigi menjadi Andi Offset, hotel di Kaliurang hidup, rumah doa Imelda berkumandang. Tuhan memberkati. Saat indah mengepung inilah sirosis Lili kambuh. Lili ambruk. Lili akut. Lili koma.
Novel ini juga mengisahkan mukjizat Allah. Sirosis Lili yang sudah stadium empat pernah sembuh total karena kuasa cinta, doa, iman, dan harapan. Tetapi, suratan takdir harus diterima. Lili menutup mata selamanya ketika keluarga dan anak-anak telah mampu mensyukuri anugerah-Nya. Benar-benar Wim-Lili menjadi pendekar kehidupan. Pahlawan keluarga, pahlawan ratusan karyawan, petarung, pun petualang cinta yang menggelinding humanistis, penuh iman, saleh, dan teberkati Allah.
Secara tidak langsung, tetapi justru tersurat bahwa novel gembur ini seakan menjadi primbon pembaca untuk meraih sukses manakala menggauli bisnis. Jadilah pahlawan untuk keluarga. Jadilah superhero untuk karyawan. Perkayalah harta, perkayalah hati, perkayalah iman yang bertumbuh untuk melayani sesama tanpa pandang bulu melampaui ras, suku bangsa, dan agama yang sekadar baju rombeng belaka. Sebab pahlawan yang heroik tak ubahnya sang patriot selalu membetot anarki.
Beruntunglah, Alberthiene Endah wanita-novelis yang genial. Hebat berkelit ketika mendaraskan tikungan dialog. Meskipun secara ritme alur, tak elak bahwa model alur bolak-balik ini masih menyunggingkan hentakan kasar. Belum menjadi harmonis seperti curaian tematik storge, eros, phileo, dan agape yang smooth. Namun, tak gegabah bahwa etos human telah mumpuni mengantarkan para tokoh fiksinya menjadi junil dan tidak jemawa. Bias gender. Jauh dari lini feminisme.
Janji filmnya di tahun 2018 di ambang gagal rilis. Di tahun 2019, mau ditekuk seperti apa kisahannya. ***