Judul Buku        : Orkestra Pemakaman
Penulis               : Aslan Abidin
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun                 : Oktober 2018
Tebal                  : xiii + 116 halaman

Setiap kali membaca puisi, acap selalu ada yang tertinggal. Jalinan kisah, metafora yang mengisyaratkan peristiwa lain, atau sebuah jalan sunyi namun terjal– yang membentuk ruang lain untuk terus dihampiri. Tentu, sebuah puisi tak bermaksud untuk mengubah sikap atau perilaku dari seseorang. Mungkin hanya sekadar sketsa, citra, atau fragmen yang kadangkali tak kunjung utuh dalam menyuguhkan potret kehidupan itu sendiri.

Puisi dengan kekuatan diksinya berusaha untuk menangkap sekelebat informasi yang ada. Dengan memaparkan apa adanya dan di tangan penyair pulalah ia menjelma jadi sekumpulan kata-kata yang dapat menggugah segenap getar di dada. Mengoyak mata batin, sekaligus melalui rumus ajaibnya menghampiri sisi batin kemanusiaan yang terasa makin minus dan tumpul.

Setidaknya puisi dapat memberikan kesegaran baru dalam menjalani kehidupan, dengan pertanyaan-pertanyaan yang terkadang musykil dan tak masuk akal dapat memberikan ruang baru untuk menghayati pelbagai riwayat manusia.

Dan melalui kumpulan puisinya, Aslan Abidin, penyair dari Makassar mengisahkan banyak hal. Banyak puisinya yang bernafas panjang, ia seakan memperhitungkan setiap tanda zaman. Menafsirkan ulang lalu mendedahkannya ke dalam puisi. Puisi-puisinya mengambil jarak terdekat dengan keseharian. Ia menguncinya dengan sejarah-sejarah kelam yang pernah terjadi di negeri ini, terkadang menyentilnya dengan “nakal”. Sehingga ketika membacanya kita merasakan memang ada hal ganjil yang tak pernah dituliskan dalam berita.

Buku ini adalah himpunan puisi-puisi yang ditulis Aslan selama 13 tahun dari 1993-2006. Sebanyak 75 puisi, mengambil banyak tema. Namun mengerucut satu pada tafsir tentang kemanusiaan kita. Memang beberapa puisi mengambil latar belakang pribadi, yang merupakan kehidupan individu sang penyair. Namun Aslan menyuguhkan ruang lainnya, yang mungkin terjadi pada diri kita sendiri tanpa pernah disadari.

Obsesi puisinya hadir begitu saja. Ia merayakan sisi-sisi kemanusiaan purba, seksualitas yang panas namun sekaligus mengritik dengan lugas. Simak saja puisi “Rajah di Antara Kedua Buah Dada”, “Phallusentris”, “Lirisme Buah Apel yang Jatuh ke Bumi”, “Religi”– mengingatkan kita pada birahi yang luka. Ia menunjukkan betapa moralitas kita telah tercerai-berai, rapuh tapi kita tetap merayakannya sebagai hal yang biasa saja.

Simak rangkaian kata yang ditulisnya:

pada mulanya/ adalah nafsu, ketika/ gairah adam menghasut dan ia/ butuh teman bercumbu. “seseorang bernama/ hawa aku sembunyikan di tulang rusukmu,: kata/ tuhan.//….di bumi, setelah/ beratus kabisat, mereka bertemu di sebuah/ jasirah dan banyak bersetubuh, melahirkan/ begitu banyak anak. berbagai warna kulit dan/ suku, bermacam ras dan bangsa, beraneka agama/ dan kepercvayaan, juga dengki, perseteruan, serta/ petang. mengubah bumi tempat/ pembuangan mereka seperti rumah sakit/ jiwa raksasa yang sesak//…

Dan puisi ini ditutup dengan tragedi di negeri ini yang sampai sekarang belum terpecahkan: seperti tangis perih marsinah/ yang disula sekelompok lelaki hingga mati di/ suatu tempat gelap dalam sebuah negeri/ yang keji// (hal. 63-64)

Obsesi birahi pada puisi Aslan terasa kental, namun sebenarnya ia hanya ingin menggedor batin dalam diri yang tengah compang-camping agar senantiasa terjaga. Kabar yang dihimpun dalam puisinya seperti menciptakan koreksi-koreksi yang baru kepada diri kita sendiri. Meskipun Aslan tak mengatakan secara gamblang dalam puisinya, ia hanya memaparkan setiap kejadian yang barangkali kerap hadir di keseharian.

Walaupun tidak semua puisi Aslan berkaitan dengan birahi atau seksualitas. Ada juga puisi yang terasa “tenang” saat membacanya. Puisi-puisi asmaranya justru menelusup ke relung paling dalam. Menciptakan nelangsa yang jauh tertinggal perlahan-lahan. Kesedihan dari getar asmara. Semacam dalam “Sajak Kecil Buat M”, ia menulisnya dalam tiga bagian:

“pada suratku yang tak/ pernah aku kirim, tergeletak/ hatiku yang mengering”// (hal. 4) atau

meja makan memang belum aku siapkan./ dan menurutmu, percintaan tak akan/ tuntas karenanya. di luar, rembulan/merayap di kaca jendela.// di sini, ranjangku/ yang tak seperti kau– selalu siap menerimaku– aku/ tidur memeluk cermin yang telah melukai wajahku.// (hal. 5)

Lirik yang Terus Bertahan

Melalui kumpulkan puisi ini, Aslan menafsir sejumlah peristiwa dengan narasi-narasi panjangnya. Ia membongkar segala mitos, filsafat, menyambungkan mozaik panjang dan bertahan dengan liris. Ia menggali setiap sejarah gelap dan terang. Dunia Habil-Khabil, La Galigo, Prometheus, Descartes, Marsinah, Aceh, Semanggi, sampai ke muasal Jalan Dolly di Surabaya. Ketragisan yang kerapkali terjadi dalam lembar-lembar perjalanan waktu itulah yang dicatat. Potret carut-marutnya lingkungan kehidupan sosial. Meskipun dalam puisi lebih merujuk pada keseimbangan bunyi, kerinduan yang abadi terhadap jeda kata, di mana ada batas yang saling menelusup antara kegamangan-kegamangan tipografi kalimat.

Bagaimana Aslan menghadirkan Aceh dalam puisinya:

aceh, apakah yang/ aku ketahui tentang/ duka lara?// kala kau diperas/ koruptor, ketika nyaris dipupus/ serdadu, hingga lantak dipangkas/ gempa, dan hampir luruh digerus/ tsunami, aku tak menangis.//…. Seusai mayat dikubur,/ setelah lumpur disiang jadi tanah gembur,/ matahari bersinar, tanaman tumbuh subur,/ engkau mungkin akan bangun lebih tegar.// (hal. 97, Puisi “ Aceh, Aku Hanya Penyair Dungu”). Bagi kita, Aceh mungkin sebuah ingatan yang tak bisa dihapus. Pelbagai ingatan tentang kekerasan di wilayah itu yang represif dan mencekam ditambah dengan kenyataan bencana setelahnya. Dan Aslan menutup puisinya dengan bait ini: esok hari, kita mesti berdiri berbenah lagi,/ bersama menyusun siasat, menata rencana./ dan tuhan, akan diam-diam kembali/ siapkan bencana//

Sebagian puisinya menyatakan “perlawanan” akan setiap kemunafikan juga kesewenang-wenangan. Lebih berpihak pada kaum lemah dan kalah, orang-orang yang dipinggirkan– namun direka ulang dalam wujud individu sang penyair. Meskipun tidak transparan sebagaimana puisi-puisi W.S. Rendra atau Wiji Thukul– Aslan mengisahkannya dengan nafas yang kurang lebih sama. Ia menyuguhkan protesnya dengan ramuan mitos-mitos lama. Dan saya rasa ia berhasil dengan sentakan tak terduga terhadap tema yang diangkatnya. Secara tidak langsung, ia membangunkan keterjagaan kita, di antara keletihan, tragedi, dan bencana yang terjadi. 

Kegagapan kita terhadap kemajuan budaya juga turut diangkat oleh Aslan. Sebagaimana yang dituliskan dalam puisinya “Masuk Keluar Mal: Ingatkan aku Pada Banyak Orang”: masuk ke sebuah mal, disambut/ gadis-gadis pelayan dengan buah dada lapang. melihat/ gadis-gadis pengunjung menggeliat melompat/ seperti ikan di atas bara: cina, jawa, bugis, arab, dst// memegang-megang pakaian dalam impor dan/ membayangkan kemaluan orang asing. Kemaluan-/ kemaluan yang diposkan dari benua-benua baja. dan/ di sni, kita mencocok-cocokannya dengan kemaluan/ sendiri// ber-standing party membaca/ buku agama: jalan-jalan ke neraka,/ dan buku konsultasi seks: bagaimana membebaskan diri dari onani.// keluar dari sebuah mal, disambut bocah peminta-/ minta yang mengingatkan aku pada musa, peminta-minta tua/ dengan mata terpejam yang ingatkan aku pada gandhi, dan/ bandit-bandit bertubuh besar yang ingatkan/ aku pada goliath.// (hal. 43)

Ironi, sebagaimana yang dipaparkan dalam penutup buku ini. Seakan menyentak kita untuk terus berhadapan dengan realitas yang terjadi, tak mampu ditolak, dan kita turut tergagap dalam menyikapinya. Seakan mencari cermin bagi diri sendiri tentang pergeseran segala tata nilai yang telanjur dijalani.