Sebuah “jemputan” membawa saya ke Kalimantan Utara (Kaltara) Oktober lalu, melalui salah satu wilayahnya yang sejak lama terkenal sebagai penghasil minyak: Tarakan. Ini merupakan nama pulau sekaligus nama kota. Pulau Tarakan tercatat memiliki luas 657,33 km persegi. Sedangkan Kota Tarakan yang terletak di sisi selatan pulau memiliki luas 250,80 km persegi dan jumlah penduduk 253.026 jiwa. Tarakan kota terbesar di Kaltara dan menjadi penyanggah utama ibukota provinsi itu, Tanjung Selor.

Kaltara merupakan pemekaran Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) berdasarkan Undang-undang No. 20/2012 dan diresmikan tanggal 22 April 2013. Jadi Kaltara provinsi paling bungsu di Indonesia, dan terletak paling utara, berbatasan dengan Serawak dan Sabah, Malaysia. Wilayah utama Kaltara adalah Malinau dan Bulungan, di samping sejumlah pulau di lepas pantai timur Kalimantan seperti Nunukan, Sebatik, Bunyu, Mandul, dan Tarakan.

Saya datang ke Tarakan mengisi kegiatan “Gebyar Literasi Kaltara” yang diadakan Balai Bahasa Kalimantan Timur. Karena Provinsi Kaltara belum memunyai kantor bahasa sendiri, maka sejumlah kegiatan sastra/literasi masih ditaja oleh kantor bahasa di Samarinda. “Jemputan” Kantor Bahasa Kaltim via panitia, Tuan Amien Wangsitalaja, sekaligus membuka langkah saya bersua aneka rupa kekayaan “Bumi Paguntaka” (dalam bahasa Tidung “Paguntaka” berarti “kampung kita”).

“Monyet Belanda” tak Suka Berisik

Di sela acara, saya berkunjung ke Pusat Konservasi Mangrove dan Bekantan. Lokasinya tak jauh dari pusat kota tempat acara dilangsungkan. Saya bersama Amien Wangsitalaja, Hajriansyah, dan Rendy Ipen naik taksi online (Grab) dari Hotel Lotus Panaya di Jalan Mulawarman dengan ongkos Rp 7000. Jalan Mulawarman merupakan bagian ruas jalan utama di Kota Tarakan, berupa rangkaian sepanjang tak kurang 15 km dari Bandara Juwata hingga ke Pelabuhan Laut Melundung.

Hanya membayar Rp 5000/orang, kami sudah bisa “melantai” di jalan kayu di antara hutan mangrove yang tinggi dan lebat. Beberapa ruas jalan kayu dalam keadaan rusak. Pusat Konservasi Mangrove dan Bekantan ini diresmikan tanggal 5 Juni 2003 oleh Walikota Tarakan, Dr. H. Jusuf SK. Sesuai namanya, di sini hidup primata khas Kalimantan yang dilindungi, bekantan (nasalis larvatus).

Dari literatur yang saya baca, bekantan termasuk hewan mudah stres atas perubahan lingkungan. Meski begitu, bunyi derak jembatan kayu yang ditempuh kendaraan di seberang hutan terdengar kencang bergemuruh, dan itu hampir setiap menit; saya tak tahu apakah bekantan ini stres atau sudah terbiasa. Di ujung jalan kayu yang rusak kami harus berbalik badan. Saat itulah, dari ketinggian pohon api-api, terlihat sekawanan bekantan sedang menyantap pucuk dedaunan!

Bekantan merupakan monyet berhidung panjang dan ujungnya bengkok besar. Permukaan matanya melengkung agak ekstrem sehingga bagian wajah seperti terlindung “atap” dari rambutnya. Uniknya, warna rambutnya merah, punggung  kekuningan, bulu dada putih dan warna kakinya cokelat. Kombinasi warna ini membuat bekantan tampak “cantik”, apalagi ukuran tubuhnya juga lampai. Ekornya tak kalah panjang, bisa hampir satu meter. Orang Tarakan menyebutnya “monyet Belanda” alias monyet bule!

Kawanan bekantan bergayut dan melompat ringan, nyaris tanpa suara di dahan pohon tinggi. Berbeda dengan jenis monyet lain yang ribut, bekantan relatif tenang. Kami bahkan tak pernah mendengar suaranya dan hampir saja tak tahu kalau mereka ada di sekitar kami. Hanya suara burung-burung yang berceloteh dan bernyanyi.

Selain bekantan, di kawasan konservasi seluas 22 hektar ini hidup puluhan jenis burung seperti kuntul, walet sapi, cekakak sungai, kereo padi, elang bandol, bubut, cerukuk, dan sri ganti. Saya juga melihat biawak berenang di aliran sungai payau. Selain biawak dan kadal pohon, juga terdapat ular tambak dan ular pohon. Selain itu, pusat konservasi dilengkapi fasilitas pusat informasi, taman bacaan, musala, kantor pengelola, toilet, pusat karantina bekantan serta pusat kuliner dan souvenir.

Makam Habib dengan Huruf “N” Terbalik

Kami melanjutkan ziarah ke Makam Habib Hamzah Bin Umar Al Marzaq di Kampung Enam, Permusian. Letaknya di samping Baloy Tidung, dijaga juru kunci yang tinggal di rumah sederhana di samping makam.

Setelah mengucap salam, penjaga memberi kami kunci makam. Kami membuka pintu dan masuk sendiri. Ada dua makam berlapis keramik di dalamnya. Makam habib ditandai batu hitam sebagai nisan. Berbeda dengan makam keramat di Jawa yang ramai peziarah, di sini sangat sepi. Saat Hajriansyah mulai melantunkan doa-doa ziarah, suaranya bergema di ruang lengang. Angin sore berhembus dari luar membangkitkan bayangan saya tentang nasib Habib Hamzah (1643-1699 masehi). Sang habib wafat dibunuh sekelompok orang yang menolak dakwahnya tentang larangan berjudi dan minuman keras. 

Selesai berziarah, kunci makam kami serahkan kembali kepada sang penjaga yang ternyata kerabat Habib Hamzah. Namanya Sayyid Salim Al-Marzaq.

Rencananya kami akan langsung berkunjung ke Baloy Tidung, namun sudah tutup. Maka kami memesan Grab kembali ke hotel. Di atas kendaraan yang disopiri seorang Bugis, kami dapat cerita tentang makam keramat dan kerabat habib yang menjaganya itu.

Alhamdulillah, selalu ada yang datang berziarah kemari. Tak hanya dari Indonesia, juga dari Malaysia, Brunai, dan Sulu (Filipina),” kata sang sopir.

Dia melanjutkan: “Kerabat habib penjaga makam itu orang lurus, istiqomah. Bayangkan, huruf N yang terbalik pada kata Bin di gerbang makam, ia pertahankan. Katanya, sejak dulu hurufnya sudah terbalik dan itu dipertahankan sampai sekarang.”

Saya bergumam dalam hati,”Allahummasali ‘ala Sayyidina Muhammad!”

Perempuan Jawa di Baloy Tidung

Keesokan hari, saya bersama istri berkunjung ke Baloy Tidung. Ini merupakan bangunan baru yang dibuat berdasarkan istana lama Kerajaan Tidung di Sungai Bidang. Bahannya kayu lembasu dan ulin. Meski sebagian berupa beton yang diberi kesan seperti kayu, tapi tak mengurangi wibawa dan kebesaran istana. Saya teringat Istana Kotawaringin di Pangkalan Bun yang dibangun kembali setelah istana lama ludes dibakar orang gila. 

Kami membayar tiket Rp 10.000 untuk dua orang. Mbak Etik, petugas museum yang asli Boyolali, ramah menemani. Meski dari Jawa, ia fasih menuturkan segala sesuatu tentang Istana Tidung. Menurutnya, Baloy Tidung terdiri dari lima bangunan utama, yakni Baloy Yampo (rumah raja), Baloy Dedandu (rumah perempuan), Baloy Delaki (rumah lelaki), Baloy Unod (ruang tengah), dan balairung. Jika dinding ruang balairung dibuka pada acara adat atau musyawarah besar, maka akan jadi Baloy Mayo (balai besar). Semua bangunan terhubung satu sama lain dengan geladak/serambi yang dalam bahasa Tidung, uniknya, disebut “jamban”. Setiap bangunan juga memiliki tangga sendiri, dalam bahasa Tidung disebut “tukad”, dan saya teringat dalam bahasa Bali “tukad” artinya sungai.

Benda-benda dipajang berdasarkan fungsi baloy. Di Baloy Delaki terdapat benda-benda yang berhubungan dengan aktivitas kaum lelaki seperti perahu, alat penangkap ikan, alat berburu, alat ke hutan dan ke ladang. Sedangkan di Baloy Dedandu dipajang hasil kerajinan tangan seperti tikar, busana, perhiasan hingga peralatan dapur.

Di Baloy Unod diajang benda-benda kehidupan orang Tidung, sejak pernikahan, kelahiran, masa kanak, remaja, dewasa, hingga tua dan meninggal dunia. Karena itu, di sini terdapat pelaminan pengantin yang disebut panggaw. Pelaminan yang didominasi warna kuning itu sangat indah dan lengkap, termasuk ada nasi penganten dan buah-buahan segar yang menurut Mbak Etik selalu diganti dengan yang baru.

Di bagian lain terdapat alat-alat tradisional perempuan bersalin seperti selakad (tempat tidur khusus), batu panson (penghangat perut perempuan nifas) dan tandang (tempat membakar batu panson). Selain indong (ayunan bayi dari kayu), juga ada ayunan kayu berupa timbangan. Namanya Timbang Sapor.

“Ini untuk menimbang bayi yang lahir di Bulan Safar, bulan perjalanan bagi umat Islam,” kata Mbak Etik.

Tak kalah menarik, koleksi alat musik gamelan lengkap persis di Jawa yang disebut Kelintangan, terdiri dari lundang (gamelan), gelundang (saron), dan kulinting (gong kecil). Menyaksikan itu semua, saya percaya bahwa interaksi budaya telah berlangsung sejak lama di Nusantara. Sebagaimana juga tercermin pada diri Mbak Etik, perempuan Jawa yang setia menjaga warisan Kesultanan Tidung.

Ayo, Beramal di Pantai Amal

Kami menggenapkan kunjungan ke Pantai Amal, melewati kampus Universitas Borneo di atas sebuah bukit. Pada masa Perang Dunia II, bukit menghadap pantai ini menjadi kubu pertahanan tentara Jepang.

Pantai Amal terdiri dari dua bagian, pantai Amal Lama dan Amal Baru. Bedanya, satu sudah diberi penangkal ombak karena tergerus abrasi, satu lagi masih seperti aslinya. Tapi kedua pantai sama rindang oleh trembesi, lengkap dengan gazebo untuk mengaso. Di depan terlihat Pulau Bunyu. Di Pantai Amal rutin diselenggarakan acara adat Irau Tengkayu, semacam sedekah laut di Jawa. Warga adat akan melarung Perahu Tujuh Haluan (padaw tujuh dulung), tiruan kapal Raja Tarakan pada abad ke-16.

Sayang botol-botol minuman mineral, bekas bercocok tanam nelayan rumput laut dibiarkan berserakan. Botol-botol itu mulanya dirangkai sebagai wadah rumput laut, namun setelah panen, botol berubah menjadi sampah plastik yang bukan hanya mengganggu pandangan mata, juga merusak ekosistem laut.

“Berkali-kali sudah diatasi, tapi tetap saja begini,” kata Rendy, alumnus Universitas Borneo itu. “Kata warga sini, itu sampah kiriman dari tempat lain.”

Kami memesan makanan khas Bugis, buras, berupa lontong yang dimakan dengan ikan asin goreng dan lokan, bersambal rasa santan. Kami pesan juga kelapa muda. Sambil makan, saya teringat kawan baik saya, Herman Aga, seorang aktivis lingkungan di Batu, Malang. Herman membentuk relawan “Sibers Pungli” (Bersih-bersih Bersama Cemplung Kali) yang membersihkan sampah di kali-kali, khususnya sampah plastik.

Dalam hati saya berpikir, gerakan itu perlu dilakukan di Pantai Amal, hitung-hitung untuk beramal. Sering sekali urusan buang sampah sembarangan tak pernah disinggung dalam khotbah-kotbah keagamaan. Padahal kata Nabi, kebersihan sebagian dari iman.  Kebetulan atau tidak, bayangan Kota Batu dan Pantai Amal sekaligus mengingatkan saya pada even sastra tahun 90-an yang rutin digelar di kota apel itu, yakni “Batu Beramal”. 

Ketemu Kapal Perang di Malundung

            Sore hari, saya bersama Rendy Ipen boncengan naik motor ke Pelabuhan Malundung (Pelindo IV). Pelabuhan ini bersih dengan dermaga dua ruas memanjang ke air, satu jalur beratap dan berpagar, seruas lagi polos tanpa atap dan tanpa pagar. Puluhan peti kemas dalam berbagai nama berderet di sisi kiri: Marsk, Evergreen, Temas Line, dan Meratus. Ini menunjukkan hidupnya aktivitas pelabuhan.

Kehidupan pelabuhan juga terlihat dari banyaknya kapal sandar di dermaga. Jenis kapal bervariasi. Saya hitung setidaknya ada 6 kapal:  2 kapal barang (cargo), 1 speed boat (Indo Maya Tiga), 1 kapal perintis (Bunga Teratai XXV), 1 kapal kayu tanpa nama, dan 1 lagi kapal perang (KRI Badik 623). Sementara kapal tanker Pertamina sandar di dermaga Tengkayu II, bersebelahan dengan Malundung. Jenis kapal sekaligus menunjukkan posisi Tarakan sebagai daerah yang didatangi penumpang dari segala jurusan, tempat masuk dan keluar barang serta daerah perbatasan yang memerlukan kesiagaan kapal perang.

            Senja mulai turun dan bulan besar muncul dari balik atap dermaga. Saat itu memang bulan purnama. Saya kirim pesan ke Syaifudin Gani, seorang penyair yang tinggal di Kendari, mengabarkan saya lagi di Tarakan. “Dikau pasti punya kenangan romantis di Malundung,” tulis saya di WA. Saya tahu, istri Gani adalah putri Tarakan.

“Wah, itu pelabuhan kenangan saya, Bang,” jawab Gani. Ia juga mengabarkan kalau mertuanya sudah pindah ke Tanjung Selor, ibukota Kaltara, di seberang Tarakan.

Tiba-tiba terdengar suara azan dari atas KRI Badik dilantunkan muazin-prajurit yang sedang bertugas. Sebagai kapal perang patroli utama berjenis Kapal Cepat Rudal (KCR), KRI Badik selalu sandar di Tarakan, dalam patroli rutin ke Sebatik dan Nunukan. Kapal perang sejenis adalah KRI Mandau 621, KRI rencong 622 dan KRI Keris 624.

Di atas dermaga purnama makin terang. Cahayanya memercik ke air jernih.