Judul : Dunia di Balik Pintu (Cerita Murid-murid SD Al Islam 3 Gebang Surakarta)
Penyusun : Nuraini
Penulis : Agnieta Cahaya Rhamanda S., Melia Istiqomah, dkk.
Penerbit : SD Al Islam 3 Gebang Surakarta bersama CV. Pramudita Press
Cetak : Pertama, 2019
Tebal : xvi+82 halaman
ISBN : 978-623-7429-04-7
Murid-murid sekolah SD Al Islam 3 Gebang Surakarta memilih menulis sebagai ibadah sekaligus hiburan terpilih. Selama Ramadan, puasa bersantap memang dijalani, tapi menulis menjadi upaya menciptakan momentum penting bersama. Anak-anak yang tidak berpuasa menulis tidak hanya mencatatkan diri sebagai pihak paling rajin ke masjid atau tadarus. Mereka memiliki pahala untuk setiap cerita yang akhirnya dihimpun dalam buku berjudul enigmatik Dunia di Balik Pintu (2019).
Nuraini, pengampu kelas menulis SD Al Islam 3 Gebang Surakarta, menulis di pengantar, “Dalam rangka menjaring bibit-bibit yang kelak akan tumbuh rimbun dan hijau, sekolah merupakan tempat pertama yang akan menyediakan ladang persemaian. Mereka adalah 21 siswa kelas 4 dan 5 yang terpilih untuk masuk dalam kelas menulis Ramadan. Kelas menulis ini termasuk dalam rangkaian kegiatan Ramadan tahun 1440 H yang diadakan oleh panitia SD Al Islam 3 Gebang Surakarta. Tujuan utama kelas menulis ini adalah mengenalkan sastra untuk siswa-siswa SD Al Islam 3 Gebang Surakarta. Dengan proyek membukukan hasil karya mereka, para penulis cilik ini mampu menunjukkan eksistensi sebuah karya sastra anak yang mampu menjadi ladang pembelajaran tingkat SD/MI.”
21 anak membuat Ramadan tidak hanya dipercaya sebagai bulan membaca, tapi juga bulan menulis. Tidak seperti acara pesantren kilat sekolah yang biasanya membuat anak sebagai pendengar, anak-anak diajak menuliskan apa yang teralami dengan bebas dan seru. Selama dua hari, anak-anak menulis pengalaman yang kebetulan mengambil tema Ramadan dan cerita bertokoh apa pun, tidak harus manusia. Benda-benda di sekitar pun bisa menjadi sang tokoh dan pokok. Mereka dipantik dengan buku-buku, ilustrasi memikat, dan kartu-kartu permainan berisi aneka kata. Tiga bagian cerita siap menyapa pembaca: “Pengalaman Ramadan”, “Cerita-cerita Seru”, dan “Puisi-puisi.”
Pengalaman Ramadan (ternyata) menghimpun cerita-cerita menyenangkan daripada keluhan merasa terbebani. Hal ini bisa disimak sejak dari beberapa judul; Serunya di Bulan Ramadan (Agnieta Cahaya Rhamanda Septian), Bulan Ramadan Penuh Berkah (Maulida Alfa), Berpuasa Itu Seru (Fitria Istiqomah). Puasaku yang Menyenangkan (Rahma Handayani). Anak-anak menampik puasa yang sering identik dengan haus, lapar, lesu, ngantuk, atau tidak bersemangat. Kita cerap betapa girangnya Agnieta menuliskan pengalaman, “Pada saatnya sahur aku bangun pertama kali. Bangunku pukul 03.00, kemudian aku membangunkan Ibu, Ayah, dan Kakak. Kita sahur bersama dengan nikmat. Imsak pun tiba, kita minum air putih yang banyak agar tidak cepat haus. Menjelang terbit fajar, aku, kakak, dan teman-temanku jalan-jalan di sekitar rumah. Kita jalan-jalan yang dekat-dekat rumah saja karena kalau jauh aku takut ada penculikan anak. Enak ya, di bulan Ramadan bisa bangun pagi tidak kesiangan untuk berangkat sekolah. Juga bisa shalat tepat waktu dan bisa jalan-jalan yang pagi sekali. Aku bersyukur kepada Allah karena sudah mendatangkan bulan Ramadan yang sangat indah sekali.” Wah!
Namun, bagi Ravan Amagraha dalam tulisan Pengalaman Berpuasa, puasa tetap memberikan rasa haus dan lapar yang menantang. Dia menulis, “Pada saat shalat ashar rasanya haus dan lapar banget. Tiba-tiba tukang bakso lewat di depan rumah. Aku mau makan bakso tapi aku ingat bahwa aku sedang puasa. Akhirnya aku tidak jadi membeli bakso, tetapi aku bilang ibu kalau aku ingin minum es degan.” Sebelum waktu berbuka membuat rasa bersantap menjadi sedemikian berbeda, ujian berhasil dilalui tanpa pembatalan diri.
Hiburan Religius
Yang lucu, meski di judul tulisan tidak ada kata lucu, adalah pengalaman Octa Firdaus, Hari-hari yang Berat Saat Berpuasa. Octa, seperti kebanyakan anak, pernah berpuasa setengah hari karena tidak tahan haus dan lapar. Pengalaman yang lucu kali adalah cara dia membandingkan puasa sebagai ujian yang bersifat ukhrawi dengan ujian kenaikan kelas yang sangat duniawi. Keduanya hadir di waktu bersamaan. “Bulan ini adalah bulan yang berkah, karena setan dibelenggu, pintu neraka ditutup, pintu surga dibuka dan pahala diperbanyak. Tetapi ada yang membuatku pusing, karena di bulan ini aku dan semua temanku sekolah mengerjakan soal untuk kenaikan kelas. Dan saat UKK ada pelajaran Matematika yang membuatku pusing, karena matematika harus menghitung.” Ah, Octa harus bertanggung jawab lulus dua ujian!
Di bagian kedua, pembaca disapa cerita-cerita cenderung berpola sebab-akibat. Keburukan dikalahkan kebaikan atau kesombongan yang ditumpas oleh kerendahan hati dan akhirnya hidup kembali harmonis. Efeknya, cerita-cerita seperti ini memang lebih kuat dalam pengajaran moral daripada ketokohan anak atau latar sosial-kultural. Cerita Dunia di Balik Pintu garapan Jaiza Jillan, bisa dikatakan cukup memikat. Cerita berpijak pada kenyataan sehari-hari dan angan-angan diimpikan penulis sebagai bocah. Jaiza menemukan Negeri Permen sebagai dunia di balik pintu yang misterius saat membersihkan kolong tempat tidur. Ada tokoh Cokli, penjaga Negeri Permen yang tubuhnya dari cokelat dan rambutnya dari permen. Di keseharian, permen dan cokelat biasanya terlarang bagi anak. Cerita secara metaforis membebaskan anak mempersepsikan segala hal dengan bebas.
Puisi-puisi di bagian ketiga tidak menyajikan hal yang muluk-muluk, cukup benda-benda dan orang-orang dekat terkasih. Yang populer tentu sosok ibu, termaktub dalam empat puisi. Pembaca bisa menduga ketiga puisi memiliki corak seragam, selalu berisi ucapan terima kasih. Satu puisi berisi permintaan maaf karena merasa belum bisa membahagiakan. Diksi-diksinya nyaris umum. Pesan pentingnya selalu ibu yang berjasa mengandung dan membesarkan.
Kita cerap puisi Ibu milik Aulia Shandra Dewi: Kau telah membesarkanku/ Kau berjuang melahirkanku/ Kau selalu melindungiku/ Mengandungku selama 9 bulan/ Ibu, kaulah pahlawanku/ Kau selalu mendoakanku/ Kau menjadi guruku/ Perjuanganmu tak kenal lelah/ Terima kasih, Ibu. Karena ibu selalu dipersepsikan mulia, anak-anak jadi kurang alamiah melihat ibu sebagai sosok manusiawi yang terkadang galak, bisa marah, atau humoris. Istilah “pahlawan” juga terlalu monoton memetaforakan ibu. Di sini, belum ada kejituan pantikan memikirkan ibu dengan cara yang “usil”.
Kitab suci sebagai bagian dari pengalaman beragama yang penting dipuisikan oleh Annisa Nur Arrayani Ardhan. Entah dari pengajaran keluarga atau pengajaran agama di sekolah, Annisa lekat dengan diksi-diksi ilahiah, seperti langit, menerangi, nur, dan sinar. Begini: Oh, Al-Qur’an…/ Kau menarik perhatianku/ Aku ingin menghafalmu/ Lantunan ayatmu seperti buaian/ Yang menerangi langit/ Ajaranmu tidak akan pudar/ Kau bagaikan nur yang bersinar/ Kau selalu kuimpikan,/ Untuk kujadikan penuntun hidupku.
Rasa bersosial hadir dalam persoalan sampah yang makin gencar melanda Indonesia beberapa tahun terakhir. Sampah mengajak anak-anak berpikir tentang ekologi, religiusitas, kultur, dan masa depan lingkungan. Cerap puisi berjudul Air Mata milik Melia Istiqomah, Setetes air keluar dari mataku/ Oh Tuhan tolonglah aku/ Melihat taman berserakan penuh sampah/ Tanahpun tercemar, tak subur/ Lingkunganpun jadi kotor/ Seandainya sampah-sampah ini/ Bisa didaur ulang dan berguna/ Lingkungan menjadi bersih dari sampah. Sampah yang merugikan dinadakan dengan sedih dan prihatin. Kejadian sekitar menguji kepekaan sekaligus hal-hal yang bisa dilakukan mengatasi masalah bersama.
Terlepas dari belepotan ejaan, tulisan-tulisan anak-anak SD Al Islam 3 Gebang Surakarta berupaya menuliskan segala yang diinginkan. Mereka menulis terutama bukan karena tugas menambah nilai akademik atau mengisi buku laporan ibadah. Ada keseruan di bulan puasa tanpa terbebani lapar, haus, atau capek. Menulis menjadi hiburan religius setara dengan menikmati takjil, bermain-sembahyang di masjid, keliling membangunkan orang sahur. Puasa makan dan minum iya, menulis tidak!