1
Minggu yang cemerlang, pagi-pagi matahari muncul dari balik awan selepas malam turun hujan. Dedaunan tergantung berkilauan. Air embun menitik bening di permukaannya. Beberapa ranting patah, ujung kayunya mencuat tajam tak karuan. Warnanya hijau keputihan, masih muda, mestinya berumur panjang. Tapi sayang, angin kencang semalam telah merenggut kesempatan yang ada.
Ranting itu berjatuhan bersama daun-daun yang juga masih muda. Di atas tanah lembek, becek, air menggenang membias kuning keemasan dari matahari. Cahayanya memantul, menyilaukan mata Nektu yang agak tertatih jalan terbungkuk-bungkuk menuju gudang belakang. Sandal jepitnya sesekali tergelincir, dan tanah membekas sebuah goresan rata seperti adonan pasir yang diaduk sendok semen.
Untuk ke gudang, dari rumah panggungnya Nektu harus melewati jalan setapak yang rumputnya kini tak tumbuh lagi akibat keseringan diinjak. Sembari melangkah, dengan masih terbungkuk, dia memegang dahan-dahan pohon cokelat atau batang pinang yang menua agar tidak terjatuh.
Kadang kala langkahnya berhenti, memperbaiki posisi sandal yang mulai kotor dan licin. Juga sesekali Nektu menggesek-gesek sebelah kakinya secara bergantian untuk mengusap tanah liat yang menyangkut di tapak sandalnya.
Sekali waktu Nektu terkejut mendengar daun di pokok durian yang menjulang demikian tinggi itu bergemerisik tiba-tiba dan menghujaninya dengan seribuan embun. Dilihatnya ada dua ekor tupai sedang berlompatan dari satu tangkai menuju tangkai yang lain. Saling mengejar diburu kasih.
Kemudian tak lama berselang, dilihatlah motor Subhan sedang berada di luar gudang yang dibikin dari susunan batang kelapa yang atapnya dari daun rumbia. Subhan adalah cucu pertamanya, anak laki-laki yang baru menginjak puncak remaja.
Hatinya semringah ketika mengetahui cucunya telah terbangun sedari pagi tadi dan sepertinya sedang bersiap memotong rumput untuk pakan kambing. Dipanggil cucunya yang entah di mana, dengan suara meringkik dan serak. Mulutnya sedikit payah dibuka. Kebanyakan makan sirih dicampur kapur dan pinang membuat mulut dan gigi Nektu tak hanya memerah, melainkan juga kaku.
“Subhan…” panggil Nektu untuk kesekian kalinya. “Hoe ijak aneuknyan? Honda jikeubah dilua lagee nyan1,” mulutnya tipis-tipis mengerutu.
Perempuan tua itu mencoba menegakkan badannya. Berkacak pinggang setelah memperbaiki kain sarungnya. Pucuk jilbab digaruknya sebentar, lantas dia masuk ke gudang untuk mengambil terpal. Buah-buah pinangnya telah banyak panen, dan hari selepas hujan adalah waktu yang tepat untuk mengeringkannya di bawah matahari yang terik.
Dia merogoh-rogoh tumpukan dalam gudang. Terpalnya agak tenggelam di antara potongan-potongan kayu. Sinar matahari turun di sela-sela daun pohon yang menjulang tinggi, lantas beberapa di antaranya menyeruak di papan-papan dinding yang berselang dan jadi penerang seisi gudang.
Namun sekonyong-konyong Nektu terperangah ketika melihat di antara sela dinding gudang itu, muncul Subhan yang sedang terlelap bersandar di tunggul pohon kelapa dengan kepala yang dimiringkan ke samping.
“Subhan!” panggilnya.
Nektu menggerutu lagi. Akhirnya dia mendecak geram lalu berjalan keluar dengan bibir yang tak berhenti berkomat-kamit. Terus dipanggil nama cucunya ketika mendekat. Namun Subhan tak kunjung bangun juga. Marah-marahlah Nektu sepanjang jalannya yang lambat itu. Mula-mula dipikir cucunya itu mulai rajin bekerja, namun sebenarnya hanya mencuri-curi waktu untuk tidur yang lebih panjang.
Hingga tiba di saat Nektu pada akhirnya menemukan, bahwa Subhan sebetulnya telah terikat dengan keadaan setengah telanjang dengan muka lebam dan darah menghitam di sekujur dadanya. Mulutnya disumpal kain merah gelap.
Bibir Nektu segenap terkatup. Tuhan membenam mulutnya yang semula menggerutu. Badannya yang renta bergemetar. Diam-diam dia seperti mendengar tulang-tulang rapuh di dalam tubuhnya bergemeretak.
Matahari tembus di sela-sela dedaunan pohon yang tinggi. Hangat menusuk tenggorokannya. Meski pagi belum seberapa, embun-embun masih menempel basah di rerumputan dan di batang kayu. Nyatanya, hari yang terbit dengan gemilang itu, hanyalah pembuka pada duka yang panjang.
“La ilaha illallah, aneuk lon2…” ucapnya lirih.
2
Siang yang panas mengeram terminal. Orang-orang padat berjingkrak. Bukan karena gembira, tapi terburu perang yang terus berkecamuk tak henti-henti. Mereka berdesak-desakan di depan mobil-mobil Colt dan bus Cenderawasih. Tanpa banyak barang bawaan, semuanya berburu hati supir yang hendak berangkat. Anak digendong dalam pelukan ibu, para bapak berlarian ke sana-kemari. Supir dan kernet bersorak agar calon penumpang tidak ricuh.
Salah seorang di antaranya, Zul, sedang berdiri memegang tangan istrinya, Nur, yang menggendong bayi laki-laki yang sedari tadi memainkan mainan dari besi yang kalau ditepuk-tepuk akan mengeluarkan suara grik-grik. Sementara ayah dan ibunya celingak-celinguk kebingungan dengan wajah cemas penuh keringat menetes di pelipis, bayi laki-laki dalam gendongan terkekeh-kekeh ketika mendengarkan mainannya yang bersuara tak henti-henti. Bahkan sesekali tergelak hingga terbatuk-batuk.
Hari itu, Zul, pegawai honorer nekat pulang ke Banda Aceh. Tanpa melapor kepada atasannya, ia sudah tak peduli, biarlah hilang pekerjaannya asalkan jangan hidupnya dan keluarganya.
Perang terus meletus di Aceh Selatan. Dua pekan yang lalu, saat Zul sedang mandi di sumur, tiba-tiba seorang tentara menyergap masuk dengan merobohkan pintu seng.
Senapan M-16 ditodongkan kepadanya. Disuruhnya Zul yang telanjang agar telungkup di lantai semen yang basah berlumut dan retak-retak.
“GAM kau?!” bentak si petugas. Dan Zul yang tengkurap dengan kedua tangan terikat di belakang kepalanya, menggeleng-geleng dengan panik. Matanya dipejam kuat-kuat dan berharap dapat membuat tentara dari Jawa itu pergi meninggalkannya. Dikacau-kacaukan pinggang Zul dengan tapak sepatu lars, dan kadang-kadang si tentara itu menekan tulang rusuknya di sebelah kanan dan Zul berteriak kuat-kuat.
Di saat Zul terus menggeleng-geleng dan mulutnya spontan mengucapkan kalau dia bukan GAM, padahal petugas itu tak pernah lagi menanyakannya, tiba-tiba tentara yang lain masuk. Dan meminta si petugas untuk hengkang dari sumur.
Lalu selepas Zul buka mata, sumurnya telah sepi. Begitu pun hamparan hutan di sekelilingnya tak terdengar lagi jejak orang seolah tentara itu datang dalam senyap dan hilang meninggalkan derita juga dalam senyap.
Kejadian itulah yang membuat Zul memutuskan meninggalkan tugasnya di Aceh Selatan. Dia kini di terminal, menantikan mobil Colt yang telah menjanjikan dua kursi untuknya. Udara panas menyergap kemeja Zul, dan bayi satu-satunya entah kenapa terus berbahagia dengan mainannya. Namun istrinya, Nur, perlahan naik demam setelah menanti panjang di bawah teriknya langit kemarau dan menatap mobil-mobil terus keluar dari terminal, sedangkan tiada satu yang masuk.
Kain batik gendongan yang kelebihan, dipakai untuk menutup muka si bayi dalam dekapan. Masih banyak orang yang belum kebagian tumpangan. Bahkan ada keluarga bersembilan terpojok di pinggir jalan, kepanasan dengan mata yang telah dibanjiri tangis.
Tangan terkipas-kipas, bayi merengek-rengek, dan anak-anak kecil meronta-ronta ingin pulang. Terminal dipenuhi kemuraman, seolah langit yang terang tak menjadi penghibur dan justru membikin segala kepanikan dan kecemasan semakin runyam.
Lambat-lambat kendaraan menghilang. Hingga tersisalah manusia-manusia malang yang menantikan tumpangan. Mulut-mulut meratib kepada Allah, memohon perlindungan dan pertolongan. Kepala laki-laki tertunduk dalam pasrah, mengembus asap rokoknya yang tak enak, dan perempuan-perempuan mendongak dengan mulut yang menganga.
Zul hengkang ke pinggiran, mengajak istrinya berteduh di bawah pohon asam. Dielus-elusnya kepala sang istri, lalu menyodorkan air gelas kepadanya. Air begitu ringan mengalir membasahi kerongkongan yang kering. Nur tersenyum dengan wajah terpucat pasi. Diusap oleh Zul bulir-bulir keringat di pelipis Nur. Yang kemudian Zul ikut menepuk-nepuk mainan anaknya yang sedari tadi tak henti-henti terkekeh.
Sekonyong-konyong, Zul hafal sebuah suara. Seekor kutilang muda bertandang ke dahan asam. Jarang-jarang burung kutilang ada di keramaian. Biasanya di sawah, atau di hutan-hutan yang sunyi. Dia menunjuk-nunjuk burung itu, pandangan anaknya teralihkan. Burung kutilang menatap ke kanan, lalu ke kiri, lantas ke bawah dan memiringkan kepalanya. Burung itu seolah-olah sedang menatap pada sepasang mata bayi kecil itu.
“Burung kutilang berbunyi
Menentang langit biru
Tandanya suka dia berseru
“Trilili lili lilili,3” Zul bernyanyi. Dan tralala, dari gerbang, menyembul muncung mobil Colt yang rata. Wajah Zul sumringah. Dia peluk tubuh istrinya. “Kita pulang,” ucap Zul kepada anaknya dengan derai air mata atau keringat yang memupuk di sudut, dan anaknya hanya tertawa.
Puluhan orang berbondong-bondong berkumpul di pintu Colt terakhir hari itu. Minibus itu hanya cukup menampung sepuluh orang. Itu pun sudah sesak betul. Namun sekonyong-konyong seorang kawan memanggil nama Zul, ialah si supir yang telah berjanji akan menyediakan kursi untuknya. Dan Zul buru-buru mengacungkan tinggi-tinggi seujung jari telunjuknya bertegak lurus dengan langit4.
Di dalam mobil, hawa panas cepat menyibak. Keringat membanjiri masing-masing tubuh penumpang. Tapi seangin kecil yang masuk dari kaca jendela melebihi dinginnya udara di pegunungan. Di luar, orang-orang yang tak kebagian bersorak-sorak memohon-mohon diangkut.
Zul duduk di dekat lorong, dan Nur di samping jendela. Tangan Zul menepuk-nepuk paha Nur. Pikirannya mencoba menghilangkan kekalutan orang-orang di luar. Zul berupaya tersenyum, dadanya terbakar. Meski sepatutnya ia tenang karena sudah mendapatkan tempat, tapi teriakan orang yang bersedih benar-benar membuat ia muram.
Zul hanya mampu melempar pandangannya ke luar jendela. Begitu pun istrinya dimintanya untuk menatap terus ke sana, yakni ke puncak Gunung Kapur yang mencuat sampai awan.
Senyum-senyum pun dipalsukan. Namun segalanya menjadi kacau tatkala sekilas wajah yang ia kenali terpampang di muka jendela itu. Seorang teman Zul, menepuk-nepuk kaca dengan pelan. Diam-diam, wajah istrinya ikut menyempil, dan tiga orang anaknya yang masih kecil-kecil, tenggelam di bawah kaca.
“Netulong lon, hai Bang Zul, tulong lon…Menyoe dron ka di Banda, kenang-kenang lon nyoe5,” pinta lelaki itu dengan lirih di tengah keadaan yang semakin gawat dan mencekam selepas satu senjata tiba-tiba berdentum tak jauh dari terminal.
Orang-orang di luar kian terkacau-balau. Panik meronta-ronta. Berteriak-teriak, terkocar-kacir seperti semut yang diganggu pada sekeliling gula. Zul yang di dalam mobil, hanya mampu meremas-remas kuat celananya dan menelan ludahnya, yang hari itu rasanya amat pahit.
Ketika Colt berangkat, ia tidak tahu apakah saat itu mestinya ia merasa senang. Atau justru semakin cemas kepada pos-pos pemberhentian yang menantinya dengan ketat di sepanjang jalannya ke depan.
3
Sore-sore, matahari yang melengkung kemerahan sedang menemani anak-anak bermain petak umpet di suatu pekarangan yang ditumbuhi runcingnya rumput-rumput jepang. Seekor ayam jago menapak-napak, mematuk-matuk tanah, lalu terbirit-birit lari secepat kilat ketika seorang anak berlarian ke arahnya.
Deru sandal jepit terkoplek-koplek. Lima orang anak berpencar mencari tempat sembunyi. Ceurape meloncat ke dalam sumur yang kering. Dia menapakkan kedua kakinya di dinding cincin sumur. Lalu perlahan-lahan membiarkan kakinya merosot semakin dalam menuju dasar, yakni dua depa dari permukaan. Di dalam sana ia tersenyum-senyum. Menatap lingkaran sempurna di ujung sumur yang memperlihatkan gulungan awan merangkak ke selatan.
Pikirannya menduga tiada satu orang pun yang akan menemukannya di dalam sana. Maka dia bersandar di dinding yang berlumut. Semennya telah retak dan menghitam. Bebauan lembab masih berputaran. Ketika hidungnya menyesap, dia tahu air tanah masih ada sampai ke puncak gunung, hanya tinggal menanti hujan mengguyur dan mengisi sumur-sumur.
Di luar, dia mendengar sandal jepit yang berlarian ke sana-kemari. Dan anak-anak terkekeh-kekeh. Kasim, si tukang jaga, sedang menghitung di bawah sebatang pohon, masih di empat puluh. Ceurape tersenyum-senyum di dalam sumur. Dia seperti dapat mendengar lelaki-lelaki tua bersarung yang sedang duduk di panteu6 menaikkan sebelah kakinya ke atas dipan kayu sambil merokok pelepah jagung dan saling berkelakar satu sama lain.
Sesaat angin sedikit berpusing dan masuk ke dalam sumur, Ceurape yang hanya dapat melamun perlahan mengantuk. Angin meniup-niup kelopak matanya agar mengatup. Membuat kepalanya sesekali jatuh ke samping dan ia tersentak. Angin terus bertiup. Terdengar daun-daun pohon kelapa berdesir. Sementara di luar sumur itu, keadaan telah sunyi, sesekali hanya ada tawa laki-laki di panteu yang sedang berbincang.
Ditatapnya lagi ujung cincin sumur. Matahari merah sempurna. Di sekelilingnya, ada keunguan yang samar-samar namun begitu gemilang di mata. Dan angin berembus lagi. Di dalam sumur, angin yang berputar terasa amat dingin di sekeliling dinding yang lembab. Hingga tak terasa, Ceurape telah jatuh tertidur.
Dalam keadaan tidur yang setengah sadar, suara sandal jepit terkoplek-koplek masih terdengar di telinganya. Ceurape juga sesekali tersentak ketika anak-anak yang telah kedapatan tertawa. Tapi matanya telah teramat mengantuk akibat melewatkan tidur siang.
Perlahan-lahan, suara sandal jepit itu sekonyong-konyong terkibas kian cepat. Ceurape telah begitu tenggelam oleh lautan angin yang berkisar dalam sumur. Ayam jago yang bersorak di kala sore tak mampu didengarnya lagi.
Hingga tiba masa di mana segala suara bersembunyi, sesekali hanya ada sandal jepit berlarian bertapak-tapak tak karuan. Begitupun dedaunan pohon kelapa tak berhenti mencibir Ceurape agar terbangun. Dan perlahan tapi pasti, deru sandal-sandal jepit itu memudar sama sekali dan mengalun-alun menjauh, lalu mendadak bersilih jadi tapak lars yang berdentum-dentum mendekat.
Ketika Ceurape terjaga, hari telah malam. Namun di ujung cincin sumur, ada sesuatu yang menyala-nyala kemerah-merahan. Tatkala Ceurape cepat memanjat, dia hanya menemukan rumah panggung yang terbakar. Api hitam berkobar menjulang setinggi pohon kelapa. Panteu telah runtuh menjadi arang-arang kayu. Asap dan debunya beterbangan di udara.
Orang-orang telah menghilang. Segala di bawah langit tinggal hanya kesepian. Semuanya menyembunyikan diri, mengumpet entah ke mana. Sepasang sandal jepit bertali merah meleleh di bawah tangga. Dan seorang lelaki tukang jaga, terkapar di samping bak tampung dengan dada telanjang memar kebiru-biruan, dan wajahnya yang terbias api itu menampakkan darah bercucuran dari hidungnya.
Tidak ada angka-angka. Bahkan tiada deru napas. Detik-detik berlalu, seolah tiada yang namanya waktu.
Ceurape hanya terdiam. Dia berjongkok di samping sumur, memejamkan matanya rapat-rapat dan berharap segalanya hanya lewat sebagai mimpi. Dan dia hanyalah anak kecil yang sedang bermain sembunyi-sembunyian.
Tetapi kenyataannya dalam perang, tak pandang umur, semua orang bermain petak umpet. Termasuk perempuan dan lelaki tua. Hanya saja taruhannya adalah nyawa. Nyawa yang entah bagaimana tak pernah mendapatkan keadilannya sampai kini.
4
Di langit berbintang, sayang. Di bumi padi, dan bulan di atas sungai, menyala-nyalakan cahaya7. Sebuah negeri, pernah dihuru-hara. Tubuh dan jiwanya dibiarkan luka menga-nga. Ketidakadilan di mana-mana, cut adek.
Bersabarlah… Cut Bang akan pulang bila masanya tiba. Namun bila tidak, ‘kan kulindungi engkau lewat cahaya, dari atas surga…
Malam telah membenam langit kelam. Di sebuah kamar pada rumah papan, hanya bercahayakan api panyoet8, di tubir jendelanya, duduk seorang perempuan. Tangannya rapat mencengkeram secarik kertas kusut.
“Pulanglah, Cut Bang,” ucapnya tipis-tipis dengan tenggorokan yang bergetar. Entah pada siapa, barangkali terhadap angin yang lalu-lalang di luar sana. Tempat pohon cokelat dan semak-semak sedang berayun.
Sementara di sampingnya, ada seorang anak kecil yang terlelap dalam ayunan. Kelaparan.[]
Catatan:
1 Ke mana anak itu? Honda (motor) disimpan di luar seperti itu.
2 Anakku
3 Burung Kutilang, lagu ciptaan Ibu Sud
4 Judul salah satu cerpen Iwan Simatupang
5 Tolonglah aku, hai Bang Zul, tolong aku…Jika kau sudah di Banda (Banda Aceh), ingat-ingatlah aku
6 Balai kayu
7 Terjemahan syair lagu Haro Hara oleh Nyawoung
8 Lampu teplok
*) Image by istockphoto.com