1/

Beberapa waktu lalu, sebuah video melewati beranda macam-macam media maya. Seorang bocah lelaki sekira umur 5 tahun, berkemeja biru-hitam, terlihat amat melankoli. Di tangannya seekor kucing kecil menatapnya lugu. Belum sampai detik ketiga video berjalan, penonton mulai menyimak adegan dengan penuh penasaran. Sambil menangis haru, si bocah berujar, “Kamu dimarahin sama mama aku ya, kucing. Huhuhu … Kamu dibuang sama mama aku. Mama aku tega sama kamu. Huhuuu …” sambil masih menangis bocah lelaki itu pun menutup video dengan jeritan pilu nan lucu, “Sayangkuuu!”

Video tamat. Si bocah jelas benar-benar sedih dan pemirsa video benar-benar tertawa ngakak. Adegan itu barang kali jadi ujian hidup paling serius bagi seorang bocah lelaki berusia dini. Tapi, orang-orang dewasa yang menontonya masih tak mau mengerti. Video pendek ini malah jadi hiburan berkepanjangan bagi banyak pemirsa jagat Twitter Indonesia. Oh, orang dewasa, apakah kalian mati rasa?

Jagat maya di dunia, khususnya setahun belakangan ini punya romansa yang tinggi pada kucing. Hewan yang sempat jadi dewa di zaman Chleopatra ini pasti bangga karena berhasil merebut kembali kekuasaannya pada manusia, dengan cara yang jauh lebih revolusioner ketimbang nenek moyang mereka. Di Instagram yang punya basis visual, terdapat ribuan akun yang dengan sukacita mengunggah gambar-gambar kucing yang “lucu”.

Ada 3 juta postingan bertagar “kucing”, 1,2 juta postingan bertagar “kucing lucu”, dan 196 juta postingan bertagar “cat”!! Kali ini, kamu para pengguna Instagram patut minder dan undur diri dari per-instagraman karena akun kucing asal Chicago yang bernama Nala (@nala_cat) memiliki pengikut sebanyak 4,3 juta. Bahkan, tersertifikasi pemegang Guinnes World Record sebagai kucing berpengikut Instagram terbanyak tahun 2020. Padahal Nala bukanlah kucing ajaib yang bisa menggongong atau kucing yang punya kekuatan super. Pose-posenya di Instagram sebatas tingkah kucing kebanyakan.

2/

Lembaga riset terkenal Amerika, Insurance Information Institute dalam laman resminya, www.iii.org, mengabarkan bahwa pada 2019 ada 89% keluarga di Amerika memiliki hewan peliharaan. Jumlah ini cenderung stabil sejak riset terakhir yang mereka lakukan pada 2012. Jenis hewan peliharaan yang banyak mereka pelihara adalah anjing, kucing, dan ikan hias.

Kebiasaan memelihara hewan di rumah adalah lumrah bagi keluarga-keluarga di Amerika dan Eropa. Kelumrahan ini sepertinya sudah dibibitkan sejak kecil.sehingga mudah kita temui sejak dalam buku-buku cerita anak mereka. Kita bisa menyebut Tintin (anjingnya bernama Milo), The Peanuts, (anjingnya bernama Snoopy), Asterix (anjingnya bernama Dogmatix), Spirou et Fantasio (marsupilami), Goose (angsa bernama Goose menjadi teman bocah perempuan bernama Sophie), dan Scooby-Doo (Oh, siapa yang tidak kenal anjing humoris ini?). Belum lagi berjubel serial animasi dengan tokoh utama anak dan hewan peliharaannya; Dora, Curious George, Shincan, Diego, dan Spongebob. Ah, banyak sekali!

Namun, di Indonesia cerita-cerita anak yang bertokoh anak dan hewan peliharaannya ini masih sulit ditemukan. Hewan-hewan yang hadir dalam cerita-cerita anak Indonesia biasanya hadir sebagai hewan ternak. Misalnya dalam buku anak terkenal karangan Aman, Si Doel Anak Betawi (Balai Pustaka, 1932), hewan-hewan hadir sebatas di bab Si Dul Mengadu Semut dan Si Dul Gembala Kambing. Yang pertama, semut menjelma jadi sesuatu yang seru untuk “dimainkan”, sedangkan kambing cuma mentok jadi harta benda. Begitu pula dalam beberapa cerita anak lain, ayam-ayam dalam I Belog (Kanisius, 2019) tentu tidak memperlihatkan apa pun selain sebagai bahan makanan.

Tapi, memang begitulah tempat hewan-hewan dalam jagat nyata kita yang dengan ”tega” turut ditanam orang-orang dewasa dalam imaji anak-anak. Terlampau sedikitnya cerita anak yang bergerak lewat tokoh berhewan peliharaan, membuat bayangan anak-anak terhadap hewan tak lebih dari sekadar benda biasa yang berbagi tempat hidup dengan kita di bumi. Jangankan memikirkan cara untuk menguatkan karakter tokoh si hewan dalam cerita anak, dilihat sebagai tokoh saja belum.

Dalam buku cerita anak Seribu Kucing untuk Kakek (1937), karangan lawas Suyadi atau yang biasa kita kenal Pak Raden, misalnya. Kita bisa coba membaca lagi kehadiran hewan dalam cerita-cerita anak. Dengan ilustrasi yang apik, Pak Raden berkisah: Pada suatu malam sehabis makan, Kakek dan Nenek merasa kesepian. Tidak ada anak cucu untuk teman mereka bercakap-cakap. Tiba-tiba Kakek mendapat akal. “Nenek, alangkah baiknya kalau kita memelihara seekor kucing kecil untuk menemani kita”. Nenek setuju akan usul Kakek ini. “Baiklah, Kek,” kata Nenek, “besok kita cari anak kucing untukmu.” (hlm. 5-6).

Si Nenek pun berangkat mencari kucing kecil. Dia mencari ke pasar, ke penjual ikan, ke penjual kerupuk, sampai ke tukang cukur. Apes, si Nenek hari itu gagal mendapatkan kucing sebagai teman mereka di rumah. Kakek dan Nenek menghadapi hari dengan gundah. Tak disangka, besoknya mereka mendapatkan kucing kecil di kebun. Bukan cuma satu, tapi seribu! Cerita memang belum usai, tapi pembaca kepalang merasa bahagia.

Cerita memang masih dianggap gagal menghadirkan hewan peliharaan sebagai tokoh. Kucing-kucing sekadar lewat, hilang sebagai mahluk hidup, dan menjelma sebagai boneka, kelereng, bola, dan mainan hiburan lainnya. Namun, kita jelas patut bergembira atas narasi nasib baik hewan sebagai teman dalam cerita anak.

Jika hewan peliharaan menempati posisi romantis sebagai teman, hewan ternak harus berpasrah sekadar jadi modal kapital pemiliknya. Sebagai teman, tentu tak ada keuntungan ekonomi yang secara langsung bisa didapatkan. Tak seperti ternak, yang dianggap orang Jawa sebagai “Rojo Koyo” yang berarti, harta berharga, yang bisa jadi uang kapan saja.

Bagi keluarga dengan ekonomi pas-pasan (yang jumlahnya amat dominatif di Indonesia), mengajak “teman” tinggal serumah berarti menambah kerepotan plus beban finansial keluarga. Barang kali itu sebab si Mama bocah cilik dalam video tadi memilih untuk bersikap “tega” pada kucing kesayangan anaknya itu. Andai yang dipegang si bocah dalam video adalah anak kambing, ceritanya pasti lain lagi. Oh, sepertinya kita butuh lebih banyak cerita anak bertokoh bocah dan hewan peliharaan, supaya tidak ada lagi mama-mama yang tega memisahkan kasih sayang anak dan hewan lugu yang dikasihinya.[]