Namaku Aldo. Minggu pagi, pukul 4.30, suara alarm dari ponselku berbunyi. Aku terbangun dari tempat tidur yang sangat membuatku malas untuk beraktivitas. Namun, aku ingat bahwa hari ini aku ada janji untuk bertemu dengan Alfin, sahabatku.

Tepat pukul lima Alfin meneleponku. “Doo, sekarang jadi kan kita ketemu? Aku tunggu kamu di taman yah, jam enam pagi.” 

Aku pun heran mengapa dia meminta bertemu di jam yang sepagi itu. Aku tidak menolak. Aku terima saja, canggung untuk menolaknya. Hehe. Aku pun segera bersiap-siap untuk menemuinya.

Tepat pada pukul 6.00 aku berangkat dari rumah. Sengaja, supaya tidak terlalu pagi datang sampai tamannya. Lagian tamannya tidak jauh dari tempat kediamanku. Ibuku sudah kenal dengan Alfin. Orang tuanya saja akrab dengan orang tuaku. Jadi, aku tidak perlu untuk terus meminta izin kepada ibuku hanya karena akan bermain dengan Alfin.

Ketika sampai di taman, aku melihat Alfin sedang berdiri di pojok taman yang sepi dan posisinya berseberangan denganku. Dia datang sendiri, membawa sebuah kantong plastik yang entah isinya apa. Aku pun memanggilnya. “Alfinnn!”

“Hey, Aldo! Sinii!”

“Oke, tunggu!”

Aku pun menghampiri Alfin yang berada tepat di depanku. Setelah sedikit berjalan menyeberangi jalan yang sepi, sampailah aku di tempat Alfin. Ia terlihat seperti buru-buru memakai jaket yang menutupi seluruh bagian tubuhnya.

“Mau ada apa siii? Perasaan buru-buru amat.”

“Iya nih, Do, aku ditunggu sama ibuku di rumah.”

“Oh, begitu. Ya sudah ada apa?”

“Aku bawakan sesuatu buat kamu.” Alfin memberikan kantong plastik yang ada di genggamannya kepadaku.

“Barang apa ini, Fin?”

“Itu obat sakit maag. Ya sudah aku pulang dulu yaaa. Bye!” Alfin langsung lari meninggalkan aku.

“Tunggu, Finn!”

Alfin tetap berlari dan tidak menghiraukanku. Aku pun bergegas pulang kembali. Sesampainya di rumah, Alfin meneleponku lagi. 

“Iya, Fin, ada apa?”

“Kamu udah minum obatnya?”

“Belum, nanti aku minum. Btw, makasih ya buat obatnyaa.”

“Iyaa, santai ajaa. Aku kan tahu kalo kamu punya penyakit maag. Makanya aku bawain obat itu.”

***

Empat bulan kemudian obat yang diberikan Alfin telah habis. Aku pun menghubungi Alfin karena aku merasa kecanduan dengan obat yang telah diberikan oleh Alfin itu.

“Halo, Fin, obat yang kamu kasih waktu itu habis. Aku mau lagi dong.”

“Kamu mau obat itu lagi?”

“Iya, Finn.”

“Ada sih, tapi kamu harus bayar kalau mau obat itu lagi.”

“Berapa bayarnya?”

“Seratus lima puluh ribu.”

“Oke, boleh deh.”

“Oke, kita ketemu di tempat biasa.”

Setiap kali aku ingin membeli obat itu lagi, Alfin selalu menaikkan harganya menjadi berkali-kali lipat. Sampai akhirnya ibuku mengetahui bahwa obat yang selama ini dikonsumsi olehku itu bukanlah obat untuk sakit maag, melainkan obat terlarang yang membuatku kecanduan dan membawa banyak perubahan negatif terhadapku.[]