“Iraaa, kamu udah siap belom?” panggil Bunda dari bawah. Bunda memakai blus biru dan celana hitam yang biasa dipakainya ke pasar serta membawa tas rotan kebanggaannya yang berwarna kuning. Tak lupa juga dompet kecil berwarna biru muda ia sangkutkan di pergelangan tangannya.
Seorang gadis yang mengenakan hoodie jumper biru tua dan jinabu-abu menuruni tangga. Wajahnya yang manis terlihat sedikit cemberut karena dibangunkan pagi-pagi begini di hari libur. Meskipun Ira—nama gadis itu, sudah menyetujui akan menemani Bunda ke pasar hari ini, tetap saja ia tidak menyangka akan pergi sepagi ini. Bundanya beralasan, agar mereka tidak kehabisan dan bisa mendapatkan bahan pangan yang masih segar.
Namun, kantuknya langsung hilang saat melihat Bunda menenteng tas rotan.
“Kok Bunda bawa tas rotan? Kan ada aku yang bantuin bawa belanjaan?” protes Ira.
“Iya, nggak papa. Biasanya juga Bunda bawa ini kok. Lagian bakal lebih gampang bawa belanjaan pake tas ini,” jelas Bunda, riang.
“Nah, kamu udah siap kan? Kita berangkat sekarang aja yuk, biar nggak kesiangan!” ajak Bunda tidak memperhatikan ekspresi Ira yang protes.
Mereka pun berangkat menggunakan ojek online dan janjian ketemu di depan pintu masuk pasar.
Di dalam pasar, Bunda langsung membaur di keramaian, melakukan tawar-menawar, sementara Ira sibuk mengikuti Bunda dari belakang, juga menahan napas dari sesaknya lautan manusia. Kadang, Ira juga membantu Bunda mencari bahan yang dibutuhkan dan belajar menawarnya sendiri.
Mulai dari pedagang ayam, tempe, sayur-mayur, dan rempah-rempah sudah mereka kunjungi. Hingga tanpa disadari Ira telah memegang plastik belanjaan di tangan kanan dan kirinya, sementara Bunda, tangan satunya memegang plastik belanjaan, yang lainnya tas rotan. Sebelum pulang mereka mampir ke penjual es kelapa dahulu.
“Nih, Bu Haji, diminum dulu esnya,” ucap ibu penjual es kelapa sambil memberikan dua gelas es kelapa pada mereka, sementara Ira sedang mengibas-ngibas kertas iklan ke wajahnya. Menyesal juga ia datang ke pasar yang ramai pakai hoodie jumper begini. Gerahnya bukan main! Padahal, rasanya tadi pagi cuaca dingin terasa menusuk-nusuk lengannya.
Lalu saat menyadari es kelapanya sudah jadi, Ira segera menghampiri Bunda sambil menggulung lengan hoodie-nya.
“Bu Haji abis borong buat dagangan ya?” tanya si ibu penjual es kelapa dengan polos, membuat Ira tersedak, sementara Bunda hanya tertawa geli.
“Nggak kok, saya mah ibu rumah tangga. Ini kebetulan anak saya banyak di rumah, ada lima. Tiap akhir pekan pasti pada balik. Sekalian belanja banyak aja deh buat besoknya lagi biar nggak bolak-balik,” jelas Bunda, ceria.
“Oh, maaf, saya kirain jualan apa gitu. Soalnya bawa-bawa tas rotan gede gitu. Ih, sekarang mah jarang ada yang mau bawa tas gitu. Maunya bawa plastik aja. Bu Haji mah keren yah,” puji si ibu penjual es kelapa dengan sedikit malu.
Ira merengut kesal. Ia sudah menduga, pasti gara-gara tas rotan aneh itu. Entah kenapa Ira tak suka banget bundanya bawa tas itu. Menurutnya, tas itu kelihatan aneh dan bikin mereka jadi pusat perhatian. Apalagi bentuk tasnya, yang menurut Ira mirip tas untuk bawa ayam. Mirip tas yang ada di cerita-cerita FTV itu.
“… kalau yang ini yang bungsu, yang lain udah pada kuliah dan kerja sekarang. Tinggal yang ini aja yang masih sering nemenin saya ke mana-mana.”
“Oh, gitu ya, Bu Haji. Ih, geulis pisan si bungsunya! Pasti turunan ibunya nih,” puji si ibu penjual es kelapa lagi. Lalu Bunda mencolek Ira, memintanya untuk merespon pujian si ibu penjual es kelapa. Ira yang sedang melamun pun terlonjak kaget lalu nyengir malu-malu.
“Ih, dia lagi bengong. Maaf ya, Bu, maklum anak remaja. Saya pamit dulu yah, udah siang nih. Kasihan yang di rumah belum dimasakin,” pamit Bunda sambil menjinjing kembali bawaannya. Ira pun mengangguk pada si ibu penjual es kelapa tadi, lalu mengikuti Bunda pulang ke rumah.
***
“Kamu kenapa sih tadi, Ra? Lagi banyak pikiran ya?” tanya Bunda saat mereka sampai di rumah.
“Nggak apa-apa, Bun, cuma lagi mikir aja. Oh ya, ini belanjaan mau pada langsung ditaroh di dapur aja?” tanya Ira sambil membukakan pintu untuk Bunda yang kerepotan.
“Iya, langsung ke dapurin aja. Bunda mau langsung masak juga. Aduh, kamu masih muda jangan banyak mikir yang berat-berat dulu atuh. Meledak nanti itu kepala,” canda Bunda, membuat Ira meringis.
“Oh iya, minggu depan kayaknya Bunda nggak bisa ke pasar. Mau ada acara pagi-pagi sama Ayah. Kamu ke pasar sendiri bisa nggak? Atau mau Bunda minta tolong Mas Juan anter kamu?” Mas Juan adalah anak keempat, abangnya Ira yang hanya beda usia tiga tahun saja dan sekarang sedang kuliah. Kalau saudara-saudara Ira yang lain kuliahnya terpisah sehingga harus ngekos, Mas Juan memilih kuliah di kotanya sendiri, jadi mereka masih serumah.
“Eh, bisa kok, Bun. Mmhh nggak usah deh. Aku bisa sendiri kok. Paling Mas Juan nanti yang nganter sama jemput aja. Biar aku di pasarnya sendiri,” sahut Ira, riang.
“Oh, ya udah. Jangan lupa bawa tas rotan ya! Kamu kan sendiri, biar lebih gampang!” ucap Bunda, membuat Ira merengut kembali.
Tas rotan lagi, tas rotan lagi! Duh, nanti aku jadi kayak ibu-ibu lagi bawa tas kayak gitu. Males banget deh! Ira kesal.
Gimana ya caranya biar aku nggak usah bawa tas itu?
***
Minggu depannya, Ira sudah bersiap pergi ke pasar. Kali ini ia memilih memakai kaos abu-abu serta kardigan biru, dan jin abu-abu. Mas Juan sudah menunggu di garasi sambil memanaskan motor, sementara Ira masih mondar-mandir di dalam sambil sesekali mengintip keluar.
Semoga Mas Juan bisa diajak kerja sama. Duh, Bunda kok nggak jalan-jalan ya? Ira cemas. Lalu ia mengintip lagi keluar, di sana ada Bunda sedang asyik mengobrol dengan tetangga sebelahnya. Kalau begini, bisa-bisa Bunda nggak berangkat-berangkat! Padahal, niat Ira, ia baru akan pergi ke pasar saat Bunda sudah pergi.
Ya, Ira memutuskan akan pura-pura lupa membawa tas rotan Bunda, sehingga ia tidak perlu repot dan malu membawanya. Lagi pula, Mas Juan pasti tidak akan terlalu mempermasalahkan soal tas itu. Namun, kalau masih ada Bunda di depan gerbang, rencana itu akan sulit tercapai. Yang ada, nanti Ira yang telat ke pasar dan kehabisan bahan pangan.
Tringg! Tiba-tiba sebuah ide mampir ke kepala Ira. Lalu buru-buru ia keluar menghampiri Mas Juan yang sedang duduk di atas motor dengan muka mengantuk.
“Ira! Kenapa lama—” Ira buru-buru menutup mulut Mas Juan.
“Nanti Mas jalan keluar duluan, aku naik motornya dari luar aja. Bunda kan lagi ada di depan gerbang tuh. Kalau ditanya, bilang aja Mas Juan mau ke warung belakang sebentar, terus nanti aku nyusul,” pinta Ira sambil berbisik. Mas Juan mengerutkan keningnya, heran.
“Ya udah sana, Mas jalan aja. Nggak enak soalnya kalau kita berangkat berdua, nanti Bunda keganggu ngobrolnya!” kilah Ira sambil mengusir abangnya untuk segera keluar. Akhirnya tanpa banyak tanya Mas Juan segera mengendarai motornya keluar rumah, sementara Ira buru-buru membuka kunci gerbang kecil yang berada jauh dari Bunda. Lalu diam-diam ia menyelinap keluar sebelum Bunda sadar ia tidak membawa tas rotan.
Ira bersorak gembira saat menemukan Mas Juan sedang menunggunya tak jauh dari rumah mereka. Rencananya berhasil! Nah, kalau gini kan enak, nggak usah ribet-ribet bawa tas. Kayak emak-emak! Ira membatin, girang.
Lalu mereka pun berangkat ke pasar, sebelum matahari semakin tinggi lagi.
***
Mimpi buruk bagi Ira! Dikiranya semua sudah berjalan lancar. Semua belanjaan memang sudah ia beli dan lengkap semua. Sayangnya, ia sempat tersesat ke daerah pasar yang lebih dalam lagi, sehingga sekarang ia kesusahan membawa banyak plastik belanjaan.
“Duh, mana parkiran jauh lagi! Belanjaannya berat-berat lagi!” keluh Ira sambil berjalan pelan-pelan. Ia membawa tiga plastik besar di tangan kanan dan dua plastik besar serta tiga plastik kecil di tangan kirinya. Belum lagi ia harus menjaga dompet berisi uang kembalian di kepitan lengannya.
WREKK!! BRUAKK!!
Ketika tinggal sepuluh langkah lagi menuju parkiran, salah satu plastik di tangannya malah robek. Sontak Ira menjerit panik. Untungnya yang robek adalah plastik berisi buah-buahan sehingga hanya mengotori kulitnya sedikit. Namun, tetap saja Ira menjadi kerepotan membawa semua belanjaan ini. Untung tak lama kemudian seseorang datang tergopoh-gopoh menghampirinya. Mas Juan.
Ia mengangsurkan plastik baru yang entah didapatnya dari mana pada Ira, lalu membantunya membawakan beberapa belanjaan lain. Tanpa banyak tanya, Mas Juan mengajak Ira pulang ke rumah. Lalu mereka pun bergegas menuju motor Mas Juan di parkiran.
“Kok tumben kamu nggak bawa tas? Bukannya biasanya Bunda bawa tas rotan?” tanya Mas Juan akhirnya, memecah keheningan yang ada.
“Yaa iya, tapi aku cuma lagi males bawa aja. Terus lupa juga tadi,” kilah Ira kikuk. Mas Juan menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kamu sebenernya malu aja kan? Emangnya kenapa sih dengan tas rotan Bunda?” tembak Mas Juan, membuat Ira semakin kikuk.
“Engg, aku males aja. Soalnya aneh gitu kayak tas buat bawa ayam, sama jadi kayak emak-emak kalau bawa itu,” jelas Ira sambil menunduk.
“Hahaha, ya ampun, Iraa! Gitu aja kok repot. Justru seharusnya kamu bangga. Dengan bawa tas rotan itu, kamu udah ikut serta dalam menjaga lingkungan. Plus, kayaknya menurut Mas, tas itu nggak jelek-jelek banget deh kalau dibanding tas yang lain. Apalagi tas rotan itu lebih kuat dari plastik kan?” jelas Mas Juan, membuat Ira mengangguk-angguk mengerti.
“Kok menjaga lingkungan? Apa hubungannya, Mas?” tanya Ira heran.
“Iya dong, kan menghemat lebih banyak plastik. Soalnya nggak perlu minta plastik double biar nggak robek kayak tadi. Terus kamu nggak perlu repot bawa banyak belanjaan di tangan, karena cukup nenteng satu tas itu aja. Belanjaan lain bisa dimasukin di satu tas yang sama. Banyak kan manfaatnya?” cerocos Mas Juan, bangga.
“Oh, gitu maksudnya. Ya udah deh, besok-besok aku bawa tas rotan lagi kalau belanja,” putus Ira, riang. “Wah, aku nggak nyangka lo, Mas, ternyata tas rotan itu banyak manfaatnya. Pantesan kemarin penjual es kelapa muji Bunda!”
Mas Juan tertawa geli, merasa senang penjelasannya telah membuat adiknya mengerti. Motor Hondanya melaju kencang, bergegas menuju rumah. Ira tak sabar menceritakan pengalaman serunya hari ini yang memberinya banyak pelajaran. Salah satunya adalah jangan memandang buruk sesuatu dan langsung mencapnya jelek sebelum kita mengetahui manfaat dari sesuatu itu.[]