KURUNGBUKA.com – (17/02/2024) Yang sadar pesona bahasa dan menginginkan keistimewaan, ia tak mencukupkan dengan dongeng atau cerita biasa-biasa saja. Pembaca yang tidak bisa diam dan pasrah. Jean-Paul Sartre mengawali dirinya sebagai pembaca dengan gugatan, cemooh, sangkalan, dan peremehan.

Ia membaca bukan untuk menjadi “penurut” atau yang disesatkan kekaguman-kekaguman. Sartre bukan pembaca ingusan meski masih bocah. Yang diperbuatnya adalah menilai dan menanggapi buku-buku yang dibacanya. Pembaca siap tanding, memilih jurus dan menentukan nasibnya.

“Aku diberi buku dongeng gubahan La Fontaine,” yang muncul dalam ingatan Sartre. Pendapatnya: “Aku tidak menyukai cerita-cerita itu. Penulis mengarang dengan semaunya sendiri.” Maka, tindakannya adalah menulis kembali dongeng itu sesuai bahasa dan bentuk yang diinginkannya.

Besarnya nama pengarang dan dongeng yang telajur digemari ribuan orang tidak membuatnya enteng memberi pujian. Namun, keberaniannya dalam menanggapi dongeng itu dirasakan berat dan menimbulkan malu. Dongeng yang ditulisnya ulang dalam wujud puisi bukan keberhasilan. Ia kesulitan menulis puisi. Hidupnya tidak untuk dibentuk dan disempurnakan melalui puisi-puisi.

Yang ditulisnya adalah cerita-cerita. Ia menemukan riang yang membebaskan. Pengalamannya: “Begitu mulai menulis, aku menggerakkan pena untuk bergembira.” Yang diceritakannya mengandung kebohongan-kebohongan: indah dan memikat. Gejolak dalam menulis: “… tetapi aku juga ingin mengatakan bahwa aku menganggap kata-kata sebagai hakikat segalanya.”

Urusan yang terpenting belum kebenaran atau kebohongan. Sartre menyenangi kekuatan dan kemahirannya dalam menuliskan kata-kata. Yang dihasilkan adalah cerita, setelah ia memenuhi segala inginnya dengan bacaan-bacaan.

(Jean-Paul Sartre, 2009, Kata-Kata, Kepustakaan Populer Gramedia)

Dukung Kurungbuka.com untuk terus menayangkan karya-karya terbaik penulis di Indonesia. Khusus di kolom ini, dukunganmu sepenuhnya akan diberikan kepada penulisnya. >>> KLIK DI SINI <<<