Judul : Kandas
Penulis : Elie Wiesel
Penerjemah : Anton Kurnia
Penerbit : Basabasi
Cetakan : Pertama, Februari 2019
Tebal : 268 halaman
ISBN : 978-602-5783-80-7

Jika Eduard Douwes Dekker atau yang lebih dikenal dengan nama pena Multatuli dalam Minnebrieven menulis “Tugas seorang manusia adalah menjadi manusia”, maka Eliezer Wiesel atau Elie Wiesel (1928-2016) secara eksplisit juga menegaskan hal tersebut dalam Kandas: mengejawantahkan tugas sebagai manusia dengan memelihara kemanusiaan.

Terbit pertama kali dengan judul The Town Beyond the Wall (1986), novel ini menjadi memoar penulis sebagai penyintas holocaust yang terjadi di tanah kelahirannya, Rumania. Tragedi kemanusiaan dengan korban jutaan jiwa orang Yahudi akibat pembantaian Nazi Jerman pada masa Perang Dunia II. Sementara karya Multatuli, Max Havelaar, misalnya, mengkritisi feodalisme korup dan kolonialisme bejat di bumi Indonesia. Karya yang menggemparkan Indonesia, juga negeri kelahirannya, Belanda.

Multatuli dan Wiesel memilih sastra sebagai media untuk menyuarakan kegelisahan terhadap konflik kemanusiaan. Menjadikan karya mereka literatur bernilai humanis, gugatan terhadap kesewenang-wenangan dan ketidakpedulian.

Ikut Gila atau Tetap Waras

Kandas mengisahkan tokoh Pedro membawa Michael melakukan perjalanan kembali ke Szerencsevaros, kota kelahiran yang telah dikuasai komunis dan berubah menjadi makam besar bagi tubuh, doa, impian, sekaligus kesedihan penghuninya akibat peperangan.

Michael kemudian tertangkap aparat, sendirian. Interogasi dilakukan dengan siksaan yang disebut ‘berdoa’. Yakni paksaan berdiri menghadap tembok tanpa boleh menyentuhnya, sepanjang hari selama berhari-hari. Membawa pemuda tersebut mengembara dalam mimpi buruk masa lalu, saat hidup di tengah konflik, bertemu kembali orang-orang penting yang pernah terlibat dalam hidupnya.

Melalui pertemanan dan perjalanan Michael dan Pedro, Wiesel yang juga aktivis peraih Hadiah Nobel Perdamaian menyodorkan pilihan pada pembaca perihal senjata manusia menghadapi masa suram. Sekadar jadi penonton, mengikuti ‘kegilaan’ zaman, atau menjadi orang yang peduli melalui berbagai tindakan positif.

Makna hidup

Tema kemanusiaan, menggugat ketidakadilan dan ketidakpedulian niscaya akan selalu relevan. Apalagi di tengah kehidupan manusia modern yang apatis dan egosentris.

Membaca novel ini, saya kurang dapat menangkap kesedihan yang layaknya dirasakan penyintas tragedi kemanusiaan. Sebagai aktivis kemanusiaan, Wiesel nampak tak terlalu ingin mengumbar kesedihannya. Ia lebih ingin pembaca menangkap pesan kemanusiaan dari kisahnya daripada bersedih-sedih.

Kisah suramnya bergaya penceritaan padat dan simbolik. Tidak melankolis mendayu-dayu. Dengan banyak tokoh, plot dan alur kisah lebih mengungkapkan kekecewaan serta kemarahan penulis atas apa yang pernah ia alami.

Frasa ‘kegilaan’ dan ‘si penonton’ menjadi beberapa simbol yang ada di novel ini. ‘Kegilaan’ sebagai jalan apa pun, bahkan yang di luar Tuhan tak terkecuali untuk ditempuh menghadapi carut marut zaman. Intinya, digigit atau menggigit untuk cari selamat.

Sedangkan ‘si penonton’ merujuk kepada simbol ketidakpedulian.  Mereka yang tanpa reaksi apa pun atas kejadian tak manusiawi di hadapannya. Hal yang disebut Wiesel sebagai merendahkan diri mereka sendiri hingga ke level bukan lagi manusia.

Kilas balik Michael utamanya memang tertuju pada ‘si penonton’ ini. Raut wajah di balik jendela yang acuh menyaksikan pembantaian terjadi di depan matanya. Raut yang terbenam namun tidak pernah hilang selama bertahun-tahun di alam bawah sadar Michael.

Kisah diakhiri Wiesel mudah saja, melalui bagaimana seharusnya kepedulian manusia bekerja. Kepedulian Michael menyelamatkan teman terakhirnya dalam sel. Pemuda tanpa kata, gerak, dan emosi. Bahkan mungkin tak pernah menyadari dirinya sebagai manusia, apalagi menyadari kehadiran manusia lain di sisinya.

Sikap demikian agaknya yang dimaui Wiesel dari pembaca. Agar hidup dimaknai lebih sederhana. Kejahatan dan kelemahan manusia itu manusiawi, tapi ketakpedulian tidak (hlm. 265). Merumitkan hidup di hadapan kemampuan pikir manusia yang terbatas membuat makna sulit ditemukan. Menggugah kepedulian yang lain, dengan tak meninggalkan kemanusiaan justru sebaliknya. Toh, kelak pada waktunya nanti, segala yang dianggap rumit, dianggap sebagai sumber konflik akan bermuara pada hal paling sederhana, takdir sejati dan tujuan akhir hidup seluruh manusia di jagat raya, yaitu kematian.

Semoga pesan Wiesel melalui karya ini tak hanya sampai kepada pembaca lalu hilang tanpa bekas. Sebab menyoal kiprah Elie Wiesel bagi kemanusiaan dan perdamaian dunia yang tak sedikit dan sebentar. Di akhir hayat, ia disebut memendam kecewa terhadap kondisi masyarakat yang dianggapnya tidak berubah. Dengan masih banyak ketidakpedulian terhadap derita dan harapan orang lain. Disayangkan memang. Namun setidaknya mereka, Elie Wiesel juga Multatuli telah mencoba berbuat demi kehidupan umat manusia lebih baik melalui buku-buku sebagai jalan kesaksian.*