Sudah hampir satu jam Kadi berdiri di jendela samping rumahnya, menatap pohon mangga yang habis terguyur oleh hujan. Ranting-rantingnya yang telah tua berserakan di tanah. Tiga buah mangga terjatuh tidak jauh dari pohonnya. Satu di bawah tumpukan sampah yang belum sempurna dibakar oleh Munir, si pemilik pohon mangga, karena keburu terguyur air hujan. Satu lagi terjatuh di genangan air hujan, dan terakhir terjatuh di semak-semak.

Biasanya Kadi akan mengambilnya. Tak peduli tindakannya itu benar atau tidak. Yang terpenting ia bisa menikmati mangga yang manis mengigit itu. Lagi pula, dahan pohon mangga yang menjulang hingga menyentuh genting rumahnya itu beberapa hari lalu telah menggeret paksa genting rumahnya hingga terjatuh. Oleh sebab itu, mengambil mangga-mangga yang terjatuh itu tidak salah menurutnya. Namun, tidak untuk kali ini. Ia biarkan dua anak tetangganya mengambil mangga-mangga yang berjatuhan itu. Kadi tidak berselera lagi memunguti mangga-mangga yang terkenal manis menggigit tersebut.

Saat hujan tadi, berkali-kali pohon mangga itu dilihatnya menggapai-gapai atap rumahnya. Bahkan hampir tumbang menimpa rumahnya. Karena angin yang menyertai hujan kali ini berbeda. Anginnya cukup besar, sampai-sampai pohon petai cina dan beberapa pohon pisang yang berjarak tiga meter dari pohon mangga itu pun tumbang.

Kabel listrik yang persis berada di antara rumah dan pohon mangga itu pun terlihat terus tergesek dahan-dahan besar pohon mangga milik Munir.

Nyali Kadi saat hujan besar tadi ciut. Tidak henti-hentinya ia mengumandangkan azan dengan amat keras. Berharap pohon mangga itu tidak tumbang menimpa rumahnya. Berharap agar kabel listrik tidak putus terkena gesekan dahannya. Berharap agar semua baik-baik saja.

Kadi akhirnya memutuskan akan menemui Munir, memintanya agar sudi menebang pohon mangga yang cukup mengancam keselamatan rumahnya beserta isinya itu. Namun, Kadi tidak sepenuhnya yakin kalau Munir akan mengizinkan begitu saja pohon mangganya ditebang karena hanya mangga milik Munirlah yang terkenal ranum, manis mengigit, dan beraroma wangi di kampungnya. Mangganya mampu menembus supermarket di daerahnya. Harganya juga tidak sama dengan mangga-mangga lainnya. Lebih mahal. Apalagi pohon mangga itu selalu dipenuhi buah yang cukup lebat.

Kadi berpikir lebih keras lagi dan akhirnya menemukan jalan agar Munir sudi menebang pohon mangganya. Kadi akan membayar pohon mangga milik Munir sebelum ia tebang. Lagi pula ia teringat akan anak kakaknya yang sebulan lagi hendak menyelenggarakan pernikahan. Tentu saja kakaknya itu akan memerlukan kayu bakar yang banyak untuk  membuat wajik dan jenang. Wajik dan jenang akan lebih sedap dan beraroma wangi jika dimasak menggunakan kayu bakar. Apalagi di kampungnya tertanam kepercayaan, jika wajik dan jenang yang dibuat berasa enak, itu pertanda biduk rumah tangga yang dilalui pasangan pengantin akan tenteram sampai ajalnya. Namun, apabila sebaliknya,  pertanda ke depannya tidak akan ada keharmonisan dalam rumah tangga pasangan pengantin. Kadi akan mengangkut kayu bakar itu untuk pernikahan keponakannya. Sekali dayung dua pulau terlampaui, pikir Kadi, semangat. Kemudian ia memutuskan untuk menemui Munir.

“Bagaimana, Nir? Kau mau mengikhlaskan pohon mangga itu untuk aku tebang?” tanya Kadi. Jari telunjuknya menunjuk pohon mangga.

“Wah, untuk harga yang kau tawarkan itu aku kurang berani, Kad.” Tangan Munir lincah mengupas mangga yang lalu dipotong-potongnya, kemudian disajikan kepada Kadi.

“Pohon manggamu sangat berbahaya untuk rumahku dan tentu saja juga berbahaya untuk rumahmu. Jika pohon mangga itu jatuh menimpa kabel, kemungkinan besar listrik akan korsleting.”

“Pohon manggaku setiap tahunnya menghasilkan dua juta setiap panen. Para tengkulak berebutan untuk harga tersebut. Jika kau tidak berani membayar di atas tiga juta, aku tidak mengizinkan untuk kau tebang. Lagi pula, kakakmu juga memerlukan kayu bakar tentunya. Kau tahu berapa harga satu ikat kayu bakar di pasar basah?” Tangan Munir meraih gelas di hadapannya dan meminum airnya hingga tandas. “Seratus  ribu untuk satu ikat kecil, Kad. Pohon manggaku ini tentu akan menghasilkan berpuluh-puluh ikat,” lanjutnya.

Kadi memasukkan mangga-mangga yang diiris Munir tadi ke mulutnya sambil menimbang-nimbang harga yang ditawarkan Munir. Harga yang sangat mahal untuk satu pohon mangga, tetapi Kadi mafhum jika Munir mematok harga yang sedemikian rupa karena mangganya memang terasa nikmat di setiap kunyahan yang ia telan. Kadi memutuskan untuk membicarakannya terlebih dahulu dengan istrinya.

                                                                        ***

Sementara itu, Sukeri, si pengrajin topeng batik, yang rumahnya terhitung tujuh rumah dari rumah Kadi, tengah kebingungan karena baru saja menerima pesanan pembuatan topeng dengan jumlah cukup banyak dari Belanda. Ini adalah kali pertama selama tiga tahun usahanya didatangi calon pembeli dari luar.

Mampu menembus pasar internasional adalah hal yang diidam-idamkannya. Yang jadi persoalan bagi Sukeri sekarang ialah dari mana ia bisa mendapatkan kayu pohon mangga. Calon pembelinya menginginkan topeng pesenannya dibuat dari kayu pohon mangga yang kuat lagi tua.

Setelah berpikir cukup lama, sembari memahat patungnya, Sukeri mengingat pohon mangga milik Munir yang berada di samping rumah Kadi. Pohon mangga yang tinggi dan kokoh itu sudah ada sebelum Sukeri benar-benar menjadi penduduk di desanya Munir. Tentu saja pohon mangga itu tergolong pohon mangga yang telah tua usianya. Bergegaslah Sukeri mendatangi Munir dengan membawa mesin pemotong kayu dan beberapa lembar uang ratusan.

 “Jika kau mampu membayar di atas lima juta, tentu aku akan mengizinkan pohon manggaku kau tebang.” Begitu ucap Munir ketika Sukeri mengatakan maksud kedatangannya.

“Satu pohon mangga kau hargai sebesar itu?”

“Jika kau mau. Kadi  saja sepertinya tidak keberatan dengan harga yang kutawarkan tersebut, padahal ia tidak akan menggunakannya untuk usaha sepertimu.” Munir mencoba berbohong demi mendapatkan harga jual lebih tinggi.

Sukeri pulang untuk menimbang-nimbang harga yang ditawarkan Munir. Sepanjang perjalanan, ia terus memikirkan bagaimana caranya agar bisa mendapatkan kayu pohon mangga selain milik Munir. Setahunya, selama tinggal di desa ini, belum pernah ia melihat pohon mangga yang usianya telah tua. Rata-rata pohon mangga di desanya berbatang kecil dan hasil cangkokan.

Sementara itu, di bawah pohon mangganya, Munir membayangkan uang yang akan diterimanya nanti. Ia akan membuka usaha kecil-kecilan jika pohon mangganya telah laku terjual dengan harga mahal. Ia akan meningalkan masa penganggurannya.

Sesekali Munir melirik dan memantau Kadi kalau-kalau ia sedang hilir mudik di rumahnya. Ia berniat menanyakan apakah Kadi sanggup membayari pohon mangganya. Munir terlalu takut untuk mengetuk pintu rumah Kadi langsung. Takut jika istri Kadi akan mempermasalahkan harga yang akan dinaikkannya lagi.  

Ketika Munir setengah terlelap di bawah pohon mangganya yang teduh itu, Kadi telah berada di hadapannya. Munir yang hampir saja terpejam itu membuka matanya sedikit. Kemudian menyipit kembali karena silau terkena sinar matahari.

Kadi menyodorkan uang sebesar tiga juta lima ratus ribu kepadanya, tetapi Munir mengatakan jika Sukeri, si pengrajin topeng itu, berani membayar di atas enam  juta. Lagi-lagi Munir berbohong demi mendapatkan bayaran yang lebih mahal. Ia tahu dua orang yang menawar pohon mangganya itu sangat memerlukan pohon mangganya. Tentu saja mereka akan membayar berapa pun jumlah yang Munir inginkan.

Kadi pulang dengan wajah ditekuk mendengar penjelasan Munir.

Lalu suatu sore, Munir sengaja mendatangi rumah Sukeri untuk meminta kejelasan apakah ia jadi membeli pohon mangganya itu. Ketika Sukeri memutuskan sanggup membelinya sesuai harga yang diinginkan Munir sebelumnya, lagi-lagi Munir berbohong, mengatakan bahwa Kadi telah menawar pohon mangganya dengan harga yang lebih tinggi. Sukeri yang teramat ingin mendapatkan pohon mangga itu berkata akan memikirkannya kembali. 

Malamnya, setelah Munir mendatangi rumah Sukeri, desanya diguyur hujan lebat. Munir  tertidur lelap sekali, sementara hujan lebat membuat mangga miliknya berjatuhan tiada henti.

 Keesokan harinya, ketika Munir  terjaga dari tidurnya, dirasakannya udara pagi teramat dingin. Tentu saja, hujan habis mengguyur desanya, pikir Munir. Kemudian ia teringat kalau mangga-manggnya yang manis selalu berjatuhan sehabis hujan lebat. Secepat kilat ia turun dari pembaringan, takut jika mangga-mangga yang berjatuhan itu telah lebih dulu diambil oleh anak tetangganya atau Kadi.

Begitu membuka pintu dapurnya, mata Munir terbelalak. Pohon mangga miliknya yang kokoh itu telah lenyap dari kebunnya. Yang tersisa hanya tunggak kayu yang mencuat.

Mata Munir menyusuri genting rumah Kadi. Tidak sedikit pun mengalami kerusakan. Matanya menyapu seluruh kebunnya, tidak juga ditemukan pohon mangganya yang tinggi nan rindang itu. Yang tertinggal hanyalah mangga-mangga yang terserak di atas tanah. Teringatlah ia kepada Kadi dan Sukeri.[]