Judul               : Pendidikan Jasmani dan Kesunyian

Penulis             : Beni Satryo

Penerbit           :  EA Books

Tebal               : 60 halaman

ISBN               : 978-602-1318-35-5

Batas antara komedi dan tragedi seringkali kabur. Situasi semacam itu tak jarang membuat orang kikuk memikirkan bagaimana semestinya merespons. Apakah harus dengan tawa atau menunjukkan perasaan sedih. Dalam pentas lawak tunggal di Indonesia, beberapa komedian berjalan pada batas antara ini. Mereka, misalnya, menertawakan tubuhnya yang cacat atau nasib miskin yang menjangkiti hidup.

Dalam pepuisian Indonesia, mungkin beberapa nama bisa kita ingat. Tapi, yang paling merebut ingatan kita tentu saja—siapa lagi?—Joko Pinurbo. Dengan telaten Jokpin acap menulis puisi dengan komedi dan tragedi yang saling berkelindan.

Pada puisi terpenting Jokpin, Celana 1 (1996), misal. Pembaca akan menertawakan ketololan tokoh yang tanpa pikir panjang mencopot dan menelantarkan celananya di depan para pramuniaga dan mengacir begitu saja tanpa celana. Tapi pada bait penghabisan, Jokpin menghantam pembaca dengan tokoh yang ia giring menuju kubur ibu untuk bertanya: “Ibu, kau simpan di mana celana lucu/ yang kupakai waktu bayi dulu?”

Pertanyaan itu mengantarkan pembaca pada ruang antara. Kita bisa menertawakan tokoh yang saking mentok pikir, sampai bertanya ke kubur ibunya cuma buat mencari celana untuk pesta. Mungkin dengan asumsi: “Kalau ketika hidup saja ibu adalah makhluk canggih yang selalu bisa menemukan segala benda tersembunyi, apalagi waktu ia jadi hantu?”

Tapi kita juga bisa bersedih. Melihat tokoh yang akan datang ke sebuah pesta, tempat dan waktu hura-hura, tapi malah teringat masa kecilnya yang polos, yang tidak ingin banyak hal kecuali dipakaikan celana oleh ibu setelah mandi sore.

Pada situasi ruang antara inilah puisi Beni Satryo tidak bisa mengelak—tapi ini tentu saja bukan berarti mengatakan puisi Beni adalah puisi yang buruk.

Dalam sebuah wawancara, Beni Satryo mengaku sering membaca ulang puisi-puisi Jokpin. Ia terpesona dengan kecermatan Jokpin memacak benda-benda di sekitar/keseharian pada puisinya. Dengan kata lain, benda yang tak pernah terpikirkan bisa diangkut dalam puisi: celana, sarung, kamar mandi…

Pada buku puisi Pendidikan Jasmani dan Kesunyian, kita bisa mencerap pengaruh puisi-puisi Jokpin dalam puisi-puisi Beni. Sekilas membaca daftar puisi, kita akan mengira Beni sedang menyuguhkan sebuah perjalanan di sebuah kota. Perjalanan dalam arti yang harfiah. Di sana ada warung makan, penjaja penganan, kendaraan, jembatan…

Tapi justru karena inilah puisi Beni semakin terperosok ke dalam kemurungan. Ia tidak menimbulkan gelak tawa. Benda-benda keseharian itu, dalam puisi Jokpin dan Beni, sama-sama menjadi citraan yang ganjil dan tak terduga. Yang membedakan adalah ruang. Puisi Jokpin seringkali panjang. Ini membuat ia bisa meliuk antara kesedihan dan tawa. Sedangkan puisi Beni tidak. Keringkasannya mungkin karena Beni sering menggunakan kolom Twitter untuk berpuisi alih-alih halaman koran yang lebih lapang.

Di sinilah kita membaca aku-lirik dalam puisi Beni seperti seseorang yang ditimpa kesedihan, tapi pada saat yang sama, berusaha melucu. Dan karena itulah, kesedihan dalam puisi-puisi Beni semakin terasa amat porak-poranda.

Kita baca puisi Permen Yupi yang hanya terdiri dari tiga baris pendek: Di dalam hatiku./ Ada seekor permen yupi./ Sedang mengunyah dirinya sendiri.

Permen Yupi, kita tahu, kebanyakan berbentuk hati. Berwarna cerah dengan gula-gula bertabur-berkilau di sekujur tubuh. Itu menunjukkan betapa ia adalah makhluk yang manis dan periang. Tapi perasaan riang dan gembira saja tidak sanggup memenuhi tubuh permen yupi. Ada mendung, yang bahkan membuat ia mengunyah dirinya sendiri.

Puisi Besok menyuguhkan suara aku-lirik yang lelah, tapi ia tidak ada pilihan untuk tidak terus: Senja akan menyalakan api./ Swara kita tak terdengar lagi./ Hanya ada maghrib dan remik bakwan/ yang karib.

Tidak ada latar yang jelas seperti dalam puisi Permen Yupi—dan kita sebenarnya bisa memprotes karena senja seharusnya meredupkan api. Tapi kita bisa membayangkan latar pada puisi itu seperti sebuah latar pada lagu Malam Jatuh di Surabaya garapan Silampukau, atau kala lingsir, sepulang kerja, di samping gerobak penjaja gorengan, di pinggir jalan.

Si aku-lirik adalah orang yang baru selesai berkantor. Mungkin “kita” sedang melamunkan apa yang harus dilakukan besok hari, hal yang terus mereka kejar. Dan pada lamunan itu, hanya ada adzan maghrib dan (bunyi) renyah bakwan, satu-satunya yang mungkin bisa mereka nikmati dari “hari ini”. Barangkali itulah sebab mereka karib dengan suara maghrib dan bakwan. Selain kekariban lain terhadap lelah yang terus mendera.

Namun sebenarnya tidak semua getir dalam pusi Beni hanya bisa dinikmati dengan kemurungan. Ada satu puisi, yang saking ironisnya, terlihat konyol. Beni membuat perumpamaan yang kelewatan nyeleneh pada puisi Senayan: Kudengar lagi swaramu. Empuk dan merdu./ Persis dengkul Brimob dan ricik water canon/ di malam itu -di depan pagar Senayan saat kita/ berbulan madu.

Kita bisa menduga apakah swaramu ada kaitannya dengan Senayan, dan seterusnya, dan sebagainya. Tapi, mengumpamakan dengkul brimob dan ricik water canon sebagai sesuatu yang empuk dan merdu adalah sungguh perbuatan yang kebangetan “nakal”. Dua hal berkaitan keadaan rusuh, kacau, dan ribut, digambarkan sebagai suara yang empuk dan merdu.

Entah sengaja atau tidak, menaruh puisi Senayan pada bagian tengah buku (hlm. 30), bisa menjadi semacam peristirahatan dari kesedihan-kesedihan yang berjatuhan. Seperti sebuah kelucuan yang tak akan menjadi seberapa lucu tanpa ada sisi serius, begitu pula dengan kegetiran.

Membaca Pendidikan Jasmani dan Kesunyian adalah menyantap semangkuk melankoli. Kita bisa membayangkan kalau Fir’aun hidup lagi dan membaca puisi-puisi Beni, ia pasti akan menangis sesenggukan.