JEMBATAN CAMPUHAN
Bersama: Naim
Sepanjang campuhan, aku menemui kesepian. Tak ada lagi tempat untukku bersandar. Semenjak matahari sungsang dan mengecupkan tanda silang. Pada dadaku yang sempal.
Kaki-kaki jenjang, sorot mata biru, silih ganti melewati. Tak ada kata. Seribu diksi seolah sembunyi. Mirip bayang bapak ibu, menyapa kosong dalam sesaji. Terasa kering perjalanan. Sebab tak ada lagi pelukan, ketika langkah kelelahan.
Maka pahami, bila kadang kupilih jalan sendiri. Menikmati kebisuan dari wangi kamboja, dimana tiap detik tak henti menyemat doa.
Sepanjang campuhan, aku menjajakan garis tangan. Kepada angin, pura dan patung dewa. Sembari melafal kekalahan, semoga kau tak mendengar. Betapa jantungku nanar menghadapi menopause malam. Di jembatan ini, aku jatuh cinta berkali-kali
Ubud, 2017
Ket : Jembatan Campuhan terletak di jalan raya Ubud, Bali
SURAT KEPADA IBU
108 bulan, aku menimang kesunyian
Merawat sepi dan kehampaan
Dinding-dinding memilih bisu
Memunggungi waktu yang sempoyongan berjalan
Apa kabarmu, ibu ?
Adakah fatehahku juga sampai disana
Mewarnai nisanmu di antara guguran kamboja
108 bulan, aku menimang kesunyian
: dengan kangen lebam tak henti mengancam
Solo, 2017
NAMAKU PITALOKA
: Tuan Patih Gajah Mada
Pun aku bertakluk padamu, tuan
Atas sejarah yang kau tulis di tubuh ini
Begitu agung
Hingga seluruh negeri
Tak berkesudah menyanjung
Tapi cukup sesaat. Selebihnya aku ingin memaki. Kelicikan masa lalu. Di mana harga perempuan kau rendahkan. Hanya semata ambisi
Dengar, tuan. Aku Pitaloka abad ini. Sampai kapanpun, perempuan akan memilih belapati. Demi menjaga kehormatan diri
Maka tak perlu tepuk dada
Sebab di bumi Pasundan, namamu tak pernah tertanam
Solo, 2018
PARANOID II
Baiknya kaupun pergi
sunyi ini jangan lagi jiarahi
meski pertemuan itu
menghamba kalbu
menyemat sajak merah jambu
tapi demi TUHAN,
aku muak dipermainkan !
Solo, melodio 2011
Puisinya mantaaap