Nyanyian Malam
kesunyian terkadang mendaulat malam
tempat kakinya berpijak
tanpa kata, membaca rindu
di puting halimun, penatmu merebah
memimpikan isi dunia
sebab sepi, tempat kekal untuk membaringkan mimpi
adalah sunyi, serupa dermaga
di mana puisi memisahkan rindu dan gelisah
bersimpuh diri di gelapnya malam
sebab malam adalah sebuah nyanyian
Malang, 2022
***
Tirakat Amsal
merambah rimba, mengakar diri
pada jerami yang terlupakan
kita memaku tanah-tanah diam
biarkan luka tumbuh menjadi tembok-tembok waktu
dan lisan kita merapal mantra langit
bebaskan ingatan seakan sebuah revolusi
sudut-sudut kota kian sengkarut
angin mendera, tumbuhkan jelaga
lorong-lorong persembunyian terlalu pengap
mengoyak aksara, hitamkan langit
– masih adakah keadilan untuk bermimpi
hilir mudik cahaya, semburat tanpa arah
aksara semakin letih dirajam sajak-sajak
haruskah segala penat dibaringkan
pada tanah-tanah yang menyembah keabadian
kereta berpacu, seakan mengejar zaman
di layar digital, wajah penuh gincu
sajakku tak sempat merias diri
memaknai peradaban dalam putihnya sinar
suaraku kian serak seperti hembusan angin
di cermin-cermin kertas, kutulis cinta
ketika hidup tak ada bedanya dengan kesunyian paling sepi
secepat angin, tradisi berganti
tumpahkan aksara baru di dunia absurd
meski samar, ingin kusimpan rapi
kelak di museum ingatan
menyempurnakan arca dari tradisi klasik
mungkin, itulah cinta abadi
sajak-sajak kita mulai berlari
tumpang tindih dalam keresahannya
mengalir di pertemuan murka
bagai badai yang menjelma amsal
berbaris, berjejal sesak mengatasnamakan kebenaran
meski itu tak ada bedanya dengan katastrofe
matahari pun memayungi diri
bersorak dalam kekalahan kita
haruskah puisiku menatap langit
memaku salib dan bertirakat dalam kata-kata
hingga aksara kematian menjemput
di perbatasan surga dan neraka
2022
***
Membaca Katarsis
tanah ini tertindih
di lekang malam, lirih bersujud
jalan-jalan kian sempit
di hela napas para pembuat peradaban
bagai setumpuk luka, belum dibacakan
sebab esok masih ada palu
yang menanti hakim mengetuknya
kita berteduh, di antara tangis dan gelegak dahaga
memancang rindu dari sekeping doa
kita menyeka air dengan dedaunan kering
mungkin esok, menjelma
kata-kata dalam helai puisi
sebab hanya itu yang kita miliki
dan langit telah menghimpit kesesakan mimpi
hingga tidur kita terbasuh
menjadi katarsis bertilam angin
Malang, 2023