“Itu apa, Ayah?”
“Itu medsos. Sebuah sangkar digital yang memenjarakan manusia di dalamnya. Dari makanannya, pakaiannya, perjalanannya, keluarganya, cintanya, pendidikannya, hobinya, bahkan agamanya semua ada di situ.”
“Sejak kapan Ayah tahu tentang itu semua?”
“Sejak kau ingin selalu tahu apa pun di dunia ini.”
“Apa mereka tak bisa keluar?”
“Tentu saja bisa, kapan pun yang mereka mau. Namun, sejak mereka selalu dikelilingi kesenangan, Tuhan hanyalah pelampiasan kesepian.”
“Mereka kadang makan apa yang kita juga makan. Beberapa ada yang makan sayur dan buah, beberapa lagi aku lihat mereka lebih suka daging dan lemak.”
“Tentu saja, aku juga suka semuanya, tetapi setelah kepergian ibumu, aku jadi paham harus sering olahraga dan menjaga pola makan.”
“Aku suka Ayah yang gendut.”
“Kau bercanda?”
Ia memundurkan kaki. Berusaha lebih menepi. Merapat pada pintu kafe yang telah tutup agar cipratan hujan tak mengenai tubuhnya. Tiba-tiba gerimis meliuk, seakan berusaha mencium hidungnya. Dulu, aku memang pernah terjebak dalam raga bayi tiga bulan, dan baru tahu ASI ibu-ibu zaman sekarang terasa pahit karena lebih sering mengonsumsi MSG. Kemudian aku memutuskan keluar. Lalu masuk ke dalam raga kakek-kakek renta. Namun sekali lagi, setelah aku sering merasakan sakit pinggang dan penggunaan BPJS begitu merepotkan, aku putuskan untuk meninggalkan. Kembali mencari buruan lagi. Tiba-tiba, kali ini, aku mendengar sebuah percakapan. Menawanku masuk ke dalam salah satu dari mereka.
“Ayah, aku sebenarnya suka hujan, kenapa Ayah selalu melarang hujan-hujanan. Itu mengasyikkan Ayah.”
“Itu tidak baik untuk kesehatanmu. Nanti kau bisa demam.”
“Rumput-rumput dan pepohonan itu juga sering hujan-hujanan, kenapa mereka tak demam?”
“Tentu saja. Tubuh mereka didesain lain dengan tubuh kita.”
“Jika mereka tak pernah demam atau sakit, kenapa Ayah melarangku mencabut mereka jika tak memerlukannya. Beberapa tumbuhan banyak yang beraroma menawan dan lezat dimakan. Ia tak pernah merasa sakit jika aku perlakukan sesuka hatibukan?”
“Tentu saja tidak. Aku tak tahu di mana letak hati tumbuh-tumbuhan. Yang pasti, semua makhluk ciptaan Tuhan dibekali perasaan.”
“Mengerikan.”
“Apa pertanyaanmu ada hubungannya dengan pohon-pohon yang dibakar oleh mereka?”
“Benar Ayah, aku membacanya dibungkus sisa nasi uduk yang kita makan bersama kemarin.”
“Dunia cepat berubah semenjak kau lahir.”
“Apa tumbuh-tumbuhan juga bisa berdoa?”
“Tentu. Bukankah kemarin ayah pernah bercerita padamu tentang gerombolan pencuri doa pohon-pohon?”
“Para gerombolan itu tak pernah terlihat di televisi.”
“Polisi mungkin sedang mencari.”
“Bukankah Ayah dari dulu tak percaya dengan mereka?”
“Tidak juga, tidak semua dari mereka jahat dan tidak jujur. Beberapa ada yang baik hati dan tidak sombong, dan mungkin rajin menabung.”
“Aku bangga Ayah bisa tahu tentang semuanya.”
“Apa kebanggaan ini akan kau ceritakan pada teman-temanmu?”
“Tidak. Itu bagian dari kesombongan bukan? Kalau besar nanti aku ingin seperti Ayah.”
“Kau harus lebih dari ini.”
“Tidak. Aku ingin seperti Ayah saja. Tak lebih.”
“Bekerja keraslah agar punya banyak uang, bisa jalan-jalan keliling dunia, mencari sosok wanita yang kau dambakan. Lalu kalian menikah dan hidup bahagia.”
“Aku sudah tahu itu hanya dongeng belaka, kegembiraan tanpa kesedihan, kesenangan tanpa kemalangan, itu semua hanya ada di surga. Kita tak sedang di sana bukan?”
“Sejak kapan kau bisa bicara begini? Kau sering membaca kertas koran bungkus makanan di tong sampah? Kau mirip filsuf. Ibumu pasti bangga.”
“Sebenarnya aku hanya mengingat apa yang selalu Ayah katakan. Tak lebih.”
“Ayah lupa pernah berucap itu. Tidak, kau harus lebih dariku. Jadi menteri misalnya.”
“Menteri? Apa itu?”
“Bekerja untuk kemaslahatan umat manusia. Tentu itu mulia.”
“Apa mereka juga berjualan seperti ibu-ibu nasi uduk yang setiap pagi kita memintanya?”
“Jangan membuatku tertawa, Sayang.” Mulutnya sedikit menganga geli.
“Aku tak tahu. Ayah belum cerita tentang ini.”
“Kamu mau tahu rahasia?”
“Oh, tentang apa?”
“Selesai sarapan lalu kau tertidur, ayah diam-diam mengintip dari balik jendela rumah tetangga untuk menonton siaran berita. Ayah melihat mereka.”
“Siapa?”
“Para menteri itu.”
“Sehebat apa mereka?”
“Semua keputusan ada di tangannya dan wajib dijalankan.”
“Apa membakar pohon-pohon juga keputusan mereka?”
“Kenapa kau berpikir seperti itu?”
“Aku hanya menduga. Lagi pula aku tak tahu seperti apa pekerjaan para menteri itu. Temanku dulu ada yang bilang ingin jadi menteri, waktu itu aku tak begitu paham. Setelah Ayah baru saja cerita, bayanganku jadi tahu seperti apa mereka.”
“Jelas. Kau tak perlu repot-repot mengurusi tagihan listrik bulanan, air, makanan, bahkan mobil dan rumah telah disediakan untuk mereka.”
“Kenapa Ayah dulu tak jadi menteri? Aku pasti akan dipanggil anak menteri. Aku akan lebih bangga dari ini.”
“Mimpi.”
“Pekerjaan mereka hanya mimpi?”
“Tidak, sebelum bermimpi mereka harus tidur dulu.”
“Jika tidur dan bermimpi mereka dianggap bekerja dan mendapat banyak uang, aku ingin jadi menteri Ayah, menggantikan mereka nanti. Itu enak sekali.”
“Berhentilah bermimpi, bahkan kau tak punya sepatu untuk berangkat ke sekolah.”
“Para menteri itu harus dulu bersekolah?”
“Tentu, itu syarat agar mereka terlihat cerdas.”
“Aku tak suka sekolah. Mereka selalu menjewer dan mencubit murid yang bodoh dan nakal. Padahal temanku itu pandai bernyanyi dan menggambar, tetapi ia selalu gagal menyelesaikan soal penjumlahan dan pembagian.”
“Aku rasa kau jadi lebih pintar dari Ayah sekarang.”
Mendadak gelap. Pandangan mereka sedikit kabur. Dalam gigil yang teramat sangat, ia merapatkan tubuhnya ke tubuh ayahnya. Segawon yang masih polos dan belum mengenal dosa sekali lagi bertanya.
“Ayah, jika kita mati hari ini, aku tak bisa lagi jadi menteri seperti yang aku impikan.”
“Tidak, kita tak akan pernah mati Segawon. Aku telah meminta seorang penulis menuliskan tentang kisahmu ini. Setidaknya namamu tertulis abadi biarpun ragamu telah pergi.”
“Itu artinya aku akan dijadikan bahan cerita? Mereka tak suka buku bukan?”
“Tak apa. Penulis-penulis itu sedang berusaha agar mereka suka buku.”
“Kalau rajin baca buku aku bisa jadi menteri?”
“Tentu saja. Kau pasti bisa jadi menteri. Menteri apa yang kau inginkan? Menteri itu ada banyak dan mengurusi di berbagai bidang. Kesehatan, sosial, keamanan, juga pendidikan, dan lain-lain.”
“Ayah tahu kabar beberapa siswa yang mati saat belajar?”
“Tentang apa?”
“Atap sekolah yang roboh.”
“Itu sudah sering terjadi, Sayang.”
“Dan kebiasaan dijadikan alasan penyebab kecelakaan? Kalau aku jadi menteri, gaji aku untuk memperbaiki sekolah-sekolah itu Yah. Semuanya.”
“Ha ha, sejak kapan ayah pernah bercerita padamu tentang gaji?”
“Masalah uang, anak kecil pun mudah paham.”
“Segawon?”
“Ya, Ayah.”
“Sudah cukup?”
“Sebenarnya belum, tetapi jika penulis cerita ini menginginkan menyelesaikan ceritaku, ya sudah. Suatu hari nanti aku ingin hidup lagi menjelma huruf-huruf yang bisa dirangkai menjadi suatu cerita. Aku sangat bangga pada penulis itu. Juga pada Ayah.”
Kabut perlahan menghilang. Pagi datang tepat saat pintu sebuah kafe dibuka. Dua binatang kurus mati tergeletak kedinginan. Sekali lagi, setelah tahu rasanya masuk dalam raga tak bernama, kuputuskan keluar. Kembali mencari mangsa. Di ujung sana, di tepian hujan, ketika aku melangkah pergi, kudengar desis terakhir. Suara perlahan yang bahkan aku tak ingin mendengarnya.
“Ayah, setelah aku tahu semuanya. Mereka bisa menjelma makhluk tak bernama yang tak punya rasa belas kasih. Sering keluar masuk ke dalam raga-raga tak bernama demi mencuri dengar. Bagi mereka, Tuhan hanyalah wujud pelampiasan kesepian. Bukan wujud kewajiban dari ketakutan dan ketaatan. Kalau begitu, aku tetap ingin menjadi anjing saja Ayah. Aku tak ingin jadi menteri.”
*) image by istockphoto.com







