Brenda membayangkan sebutir peluru yang pada suatu hari tertentu dilontarkan ke langit oleh seorang bajingan tengik mendadak saja jatuh ke bumi dan menimpa kepala mungil adiknya yang tak berdosa.

“Apa bisa begitu?”

Seandainya bisa, mungkin adiknya tewas seketika, dan itu membuat Brenda, bocah sembilan tahun ini, merinding ketakutan.

Tak ada yang bisa menjawab pertanyaan macam ini, bahkan Ibu yang paling pintar di rumah.

Tak ada orang dewasa sepintar Ibu yang dapat menjawab setiap tanya yang Brenda dan adiknya lontarkan selama ini. Apa saja mereka tanyakan, dan Ibu tak pernah tak dapat menjawab. Ibu tahu hampir semua hal di dunia ini, tetapi sewaktu Brenda tanya soal peluru yang pada suatu hari ditembakkan ke langit oleh seseorang mendadak jatuh kembali ke bumi, Ibu cuma bilang, “Sebaiknya kita tidur.”

Brenda tidak mengantuk saat Ibu berkata begitu, dan pertanyaan mengerikan ini tetap dia simpan di kepala. Demikianlah, karena belum mendapat jawaban, nyaris setiap hari Brenda selalu memikiran dan membayangkan adiknya yang baru berumur tiga tahun itu mati seketika karena kejatuhan peluru.

Jika adikku mati, Ibu dan aku akan bersedih. Aku juga tidak bisa bermain lagi. Sebenarnya aku bisa bermain dengan teman-teman di sekolah, tapi mereka jahat dan tak seperti adikku yang pendiam, pikir Brenda. Betapa dunia berubah menjadi mengerikan tanpa adanya permainan-permainan, dan itu bisa terjadi hanya karena sebutir peluru!

Brenda tahu betapa adiknya sangat berarti, dan karena itulah pikiran soal peluru yang mungkin jatuh ke bumi, setelah beberapa lama melayang di langit, menjadi mimpi buruk. Sering Brenda bangun tengah malam dan mencari adiknya, yang ternyata masih tidur dengan manis di sisi Ibu. Di mimpi, ia melihat kepala sang adik bolong.

Brenda menyayangkan kepergian ayahnya setahun silam, ke surga, karena konon ia dengar dari sang ibu bahwa Ayah terlalu baik. Ayahmu terlalu baik, dan Tuhan butuh begitu banyak orang baik di surga sana, guna membagi-bagi makanan enak untuk para penghuni surga, begitulah tutur Ibu.

Kalau saja Ayah masih ada dan tidak ke surga, ia tidak akan terlalu cemas, karena adiknya ada yang menjaga. Ibu juga bisa menjaga adik, tetapi Ibu tidak tahu soal peluru yang mungkin jatuh dari langit.

“Saya pikir ayahmu lebih paham, karena dia laki-laki,” kata Bang Dakir, tetangga yang dikenal kurang waras.

Selain bersama sang adik, Brenda sesekali juga bermain dengan Bang Dakir. Mereka biasa tebak-tebakan, atau kalau sedang malas, lelaki usia tiga puluhan itu bercerita panjang lebar sebagaimana tukang dongeng, dengan nada bicara yang begitu berirama dan meyakinkan, dan Brenda serta adiknya duduk manis untuk mendengarkan. Biasanya, cerita- cerita Bang Dakir soal kejayaan di masa mudanya, yang tentu hanya semacam khayalan orang sinting.

Pada suatu hari Bang Dakir pernah bercerita bahwa ia terjun ke medan perang. Tak ada di antara dua kakak beradik yang masih kecil itu yang protes atau menyangkal tiap kalimat yang Bang Dakir katakan. Semua mereka telan mentah-mentah hanya karena si pendongeng adalah lelaki yang sangat ramah dan tidak punya teman. Brenda amat suka berteman dengan Bang Dakir yang tidak pernah mengejeknya sebagai anak tidak jelas atau bocah pesek dengan kulit belang-belang. Intinya, Brenda tahu Bang Dakir adalah sahabat yang baik. Adakah sahabat tega berdusta?

Di perang tadi—begitu cerita Bang Dakir—terjadi baku tembak antara tentara dari Jepang dan pejuang Indonesia. Suatu kali Bang Dakir yang mengaku ikut berperang ini tidak sengaja menembakkan peluru ke langit, padahal di sana tidak ada apa-apa selain beberapa ekor burung.

“Burung-burung itu mati?” tanya Brenda antusias.

“Oh, tidak. Tidak ada burung yang mati, karena tidak ada bangkai burung jatuh.”

Bang Dakir meyakini bahwa peluru yang ia tembakkan ke langit tadi tersesat di luar angkasa, ke suatu tempat yang tidak terjangkau oleh manusia, sebab manusia bukan burung yang memiliki sayap. Kenyataan bahwa peluru tersebut mungkin saja bisa jatuh tanpa diduga, membuat Bang Dakir menyatakan ia harus berhenti berperang.

“Kenapa?” tanya Brenda.

Bang Dakir memberikan jawaban yang membuat Brenda berpikir apakah bisa peluru yang pada suatu hari ditembakkan ke langit, mendadak jatuh kembali ke bumi? Ia tak yakin dan terus bertanya-tanya, dan karena Bang Dakir orang yang baik, ia tidak mau memikirkan kemungkinan itu. Bahwa sebutir peluru mungkin saja bisa jatuh, boleh jadi itu benar, tetapi bukan peluru yang dulunya ditembakkan oleh Bang Dakir ke langit secara tidak sengaja, melainkan sebutir peluru yang dulunya ditembakkan oleh seorang bajingan tengik.

Berapa orang yang tidak sengaja menembakkan peluru ke langit tanpa mengenai burung-burung?

Berapa banyak pahlawan atau bajingan yang menembakkan pelurunya ke langit tanpa sengaja?

***

Brenda sulit tidur setelah beberapa kali mimpi buruk mengganggunya, sedang Ibu tidak dapat memberi penjelasan apa-apa. Adiknya memang tampak tak peduli karena ia amat kecil dan belum paham bahwa kepala bolong dapat membuatmu mati. Brenda tahu kepala seekor ikan milik temannya bolong karena dipaku oleh temannya yang lain, dan ikan itu kemudian mati seketika.

Kalau kepala orang bolong karena kejatuhan peluru, sudah pasti dia mati.

Itulah yang Brenda yakini, dan kalau kepala adiknya yang kena, anak itu juga pasti mati.

Bagaimanapun, adiknya adalah teman bermain selain Bang Dakir. Kematian sang adik akibat peluru yang mungkin jatuh dari langit dapat mengubah seluruh hidupnya ke arah yang jauh lebih buruk. Dengan adanya Adik dan Bang Dakir, sekolah yang seperti neraka dapat diimbangi dengan keadaan rumah yang seperti surga.

Brenda takut, jika adiknya mati terkena peluru jatuh, pada akhirnya seluruh surga di hidupnya yang sederhana akan tercerabut. Ia juga tidak akan enak bertemu lagi dengan Bang Dakir, yang tak berani membayangkan peluru yang mengenai kepala adik Brenda adalah peluru yang dahulu ia tembakkan ke langit semasa perang.

Semua ini benar-benar rumit dan mengerikan di kepala Brenda yang masih berusia sembilan tahun dan kurang kasih sayang seorang Ayah. Memang sebelum ayahnya mati oleh suatu kecelakaan, jarang sekali Brenda bicara dengan sang ayah. Bahkan, ayahnya nyaris tak pernah mengajaknya bicara. Ayahnya selalu duduk diam dan membaca koran atau buku atau sekadar menonton berita, dan berbicara pelan-pelan dengan Ibu sesekali, atau keluar entah ke mana sampai malam hari.

“Seandainya ada Ayah di sini, seperti kata Bang Dakir, aku tidak ketakutan seperti ini. Aku bisa tanya apa benar peluru bisa begitu. Maksudku, apa benar peluru bisa jatuh dari langit?” keluh Brenda di depan Bang Dakir.

“Ya, sayangnya ayahmu sudah di surga, dan biasanya kalau sudah ke sana, orang tidak mungkin pulang.”

Karena tidak enak melihat ketakutan Brenda semakin menguat, pada suatu hari saat mereka bertemu lagi, Bang Dakir menjelaskan bahwa peluru yang sudah tersesat di luar angkasa sana tidak akan bisa balik ke dunia. Peluru tersebut sudah mengenai beberapa benda langit dan kemudian hancur berkeping-keping.

“Kok begitu?” tanya Brenda dengan heran.

“Anggap saja begitu. Saya juga lebih senang menganggapnya begitu karena kalau peluru yang ditembakkan ke langit bisa kembali lagi ke bumi pada suatu hari nanti, tak ada orang yang bisa hidup tenang. Semua orang takut adiknya mati dengan kepala yang bolong. Kamu mau adikmu begitu?”

“Tidak mau!”

“Ya, sudah. Anggap saja peluru yang pernah ditembakkan ke langit tidak akan bisa jatuh kembali ke bumi.”

Brenda menatap mata Bang Dakir yang tampak cemas dan kebingungan, dan tentu saja anak itu jauh lebih kebingungan karena bukankah selama ini Bang Dakir sahabat yang bisa dipercaya dan dapat menceritakan segala macam hal?

Brenda pulang dan tidak bicara cukup lama. Ibu sering melihat anak sulungnya ini diam sejak bertanya soal peluru dari langit. Bukannya tidak mau menjawab, Ibu hanya tidak tahu saja bagaimana cara menjawab pertanyaan semacam itu dengan benar. Tidak semua orang bisa mendengar cerita tentang peluru yang ditembakkan ke langit pada hari tertentu, terutama anak kecil.

Mulai hari itu, Ibu berpikir untuk menjauhkan Brenda dan adiknya dari Bang Dakir, yang tentu harus dilakukannya dengan cara khusus, supaya anak-anaknya tidak bersedih karena dilarang berteman, padahal mereka tak punya terlalu banyak teman.[]

Gempol, 2017-2019