“Anak-anak, besok Senin di jam ke-0, Bu Guru ingin kalian maju dengan seluruh materi matematika hari ini tanpa melihat buku. Tes lisan. Kalian harus bisa!” perintah guruku, lantang, di suatu siang.

Kami semua tegang jadinya. Materi pelajaran hari ini sulit-sulit semua, membuatku menelan ludah. Belum lagi tumpukan PR lain yang menunggu. Rasa pusing seketika datang ketika kupikirkan hal itu.

***

 “Tujuh kali sembilan, delapan kali tujuh, enam kali sembilan, tujuh kali tiga, ….” Guruku memberikan soal matematika hari lalu bagai berondongan peluru. Kami juga diminta untuk menjawab seluruh pertanyaan itu dengan cepat, seperti tidak diberi waktu berpikir karena kami harus hafal di luar kepala.

Banyak sekali temanku yang tidak lulus tes lisan itu. Hanya lima anak yang lulus: tiga siswa putri termasuk aku, dan dua siswa putra. Karena tes lisan hari ini banyak yang tidak lulus, Bu Guru akan mengulanginya besok. Itu pun disertai sebuah syarat: yang lulus boleh ikut olahraga, sedangkan yang tidak lulus masih harus mengulang hafalannya.

Sebab besok ada pelajaran olahraga yang membuat kami punya kesempatan di luar kelas cukup lama, Selasa biasanya jadi hari yang paling kami tunggu.

Aku lega dan bersyukur karena termasuk siswa yang dinyatakan lulus. Saat istirahat, aku bersama dua orang teman putri lain yang lulus tes lisan, bermaksud jajan di kantin. Tak disangka, begitu sampai di sana, salah seorang temanku yang paling ditakuti di kelas berkata buruk dan tak mengenakkan hari.

“Sombong, sombong, gara-gara lulus tes lisan saja sombong. Huh, sok pintar!” kata dia.

“Betul! Gara-gara tes lisan aja jadi sombong!” teman dekatnya menyahut.

Aku dan kedua temanku hanya bisa mengelus dada menahan rasa geram dan marah yang seperti mau meledak. Karena bukan hanya kali ini saja kami bertiga dikatai seperti ini. Aku hanya bisa memendam marah, sebab amarahku jarang aku lontarkan langsung lewat kata-kata. Karena aku berpikir, kalau kata-kata itu dilontarkan kepada orang yang kita salahkan, dia nanti juga akan sakit hati.

Kalimat tadi terus terulang hingga kami kembali ke kelas sampai masuk waktu pulang. Ketika pulang, aku merasa sedikit lega karena tak lagi mendengar kata-kata itu, yang tidak hanya memenuhi telinga, tetapi juga melukai hati. Ya, karena tanpa terasa ternyata aku tetap saja menyimpan rasa marah akibat kejadian yang menimpa kami tadi.

Sombong? Kayak gitu masak sombong? Apakah aku tadi menjelek-jelekkan mereka? Aku ini salah apa? Padahal mereka sendiri yang sering melakukan hal-hal terlarang tersebut! gerutuku dalam hati sambil kakiku menendang-nendang batu yang tergeletak di jalan. Seketika kulihat sepatuku yang jebol di sol bagian depan. Aku jadi ingat sore nanti mau keluar diantarkan ayahku untuk membeli sepatu baru.

Tes lisan kembali dilakukan esoknya. Yang sudah lulus kemarin tidak mendapatkan tes lisan kembali. Sampai akhirnya mereka yang mengikuti tes lisan pagi ini tidak ada yang lulus kecuali seorang, yaitu temanku yang kemarin sempat mengata-ngatai aku.

Karena banyak sekali yang tak lulus di hari itu, Bu Guru marah besar. Setelah bel tanda masuk berbunyi, Bu Guru tak mau kembali lagi. Kami ditinggal begitu saja di kelas. Hatiku jadi tak karuan karena tak ada guru. Aku tahu siapa nanti yang akan dengan pongahnya mengatur kelas ini.

“Yang sombong nggak usah ikut olahraga. Yang olahraga hanya kami saja. Pergi sana!” teriak anak itu lagi. Sebenarnya aku ingin menangis, tetapi berusaha kutahan. Kata-kata itu dilontarkan untuk kami bertiga saja, siswa putri. Sedangkan tanpa kuketahui alasannya, dua siswa putra kemarin tidak dikata-katai.

“Yuk, kita tanya pak guru olahraga, olahraga apa nggak. Tiga anak sombong itu nggak usah diajak olahraga,” ajak anak itu ke teman-teman dekatnya.

Aku berusaha tak menggubris. Ketika tiba di kelas, mereka langsung berganti pakaian, tanpa berkata seucap kata pun. Itu berarti memang akan olahraga. Kami bertiga ikut-ikutan berganti pakaian di Ruang UKS. Selesai berganti pakaian, kami kembali ke kelas untuk meletakkan seragam yang sebelumnya kami gunakan. Ternyata kami benar-benar tidak boleh mengikuti olahraga tersebut, alias dikucilkan. Sambil memendam rasa marah dan geram, kami bertiga berjalan ke belakang perpustakaan sekolah untuk mendiskusikan hal ini.

“Perasaan, justru dia ‘kan yang sombong? Coba saja, aku masih ingat, dia bilang aku orang kota karena aku sering membicarakan makanan barat dan tidak terlalu bisa berbahasa Jawa. Buktinya, dia justru bertanya, apakah kalian pernah ke Solo Square? Transmart? Trans Studio? Solo Paragon? Hartono Mall? Solo Grand Mall? Dan alhasil dia mengaku pernah mengunjungi semuanya. Bukankah yang seperti itu justru pamer namanya, kalau tanya-tanya begitu terus ngaku sendiri? Atau  bilang-bilang kalau pernah ke sana?” ocehku pada salah seorang temanku yang juga dikucilkan sepertiku.

“Kamu benar. Sebel banget sama dia. Terus kalau dia dapat nilai bagus melebihi kita, dia akan memamerkannya ‘kan di hadapan kita?”

Sebuah bola voli tiba-tiba melayang di dekat kami dan jatuh mengenai tembok. Bola itu sengaja dilemparkan ke arah kami olah temanku yang suka pamer dan sombong itu. Gara-gara itu, kami memutuskan pergi ke tempat lain sambil marah-marah. Saat melempar bola itu, anak sombong itu berkata, “Yo ngono kuwi cah sok pinter ki![1]

Sambil balas mengata-ngatainya karena marah, kami bertiga berjalan dengan sedikit berlari menuju taman. Kami masing-masing mulai diam, malas bicara. Sebal rasanya. Hari ini tak ada pelajaran olahraga buat kami. Kami bertiga berganti pakaian lagi ke UKS sambil meyimpan marah dan kecewa. Ketika pelajaran olahraga telah selesai, anak sombong yang suka pamer dan ingin selalu dipuji itu mulai mengata-ngatai kami lagi. Kami bertiga hanya bisa bertukar pandang wajah sebal. Sepertinya hari ini kami betul-betul diuji.

Sorenya, aku berangkat ke tempat les, bersama seorang teman yang pagi tadi ikut olahraga. Sebetulnya teman yang satu ini tidak terlalu mengucilkan kami bertiga. Bahkan sebenarnya ia hanya melakukannya karena takut. Saat di tempat les pun dia berkata kepadaku bahwa sebetulnya tidak berniat untuk melakukannya. Bahkan dia mengatakan benci ketika melakukannya dan benci juga pada anak itu. Sebab, menurutnya, anak itu telah menanam benih kebencian pada hampir setiap teman-teman yang ada di kelas. Yah, begitulah kenyataannya. Ya, sebagian besar teman, nyatanya sangat membenci kedua anak itu.

Saat latihan mengerjakan soal, aku bercerita kepada guru lesku tentang hal ini. Kuceritakan juga bahwa aku tak pernah menceritakan hal seperti ini kepada kedua orang tuaku. Guruku hanya tertawa kepadaku dan bilang kalau sebenarnya dua temanku itu mungkin sedang iri.

Aku jadi teringat beberapa kejadian sebelumnya yang kebetulan menjadi semacam hukuman untuk kedua temanku yang sombong itu. Padahal, salah satu dari mereka, ketua kelas kami. Setiap guru pun berpesan kepadanya untuk menjaga ketertiban dan kenyamanan di kelas ini. Anehnya, justru dia yang sering kali memulai keributan. Teman-teman sekelas pun tahu bahwa dia jarang sekali memperhatikan penjelasan guru. Hingga pernah suatu ketika dia tak bisa mengerjakan soal di papan tulis, sementara Bu Guru bukan tipe yang penyabar. Bu Guru sampai marah besar dan berkali-kali mencubit pipi anak itu. Aku tertawa dalam hati melihatnya. Begitu juga temanku yang ikut les kemarin, juga beberapa temanku yang lain, terlihat menahan tawanya.

Kena batunya deh kamu! kataku dalam hati.

Selama mengerjakan soal di papan tulis itu, hampir setengah jam, dia terlihat menahan tangis. Kemudian aku mulai menyimpan tawa lagi.

Sejujurnya, pemandangan itu menyenangkan. Yah, meskipun aku sadar perasaan seperti ini merupakan perbuatan jahat, tetapi dia dulu ‘kan yang mulai? Sebenarnya aku telah dinasihati oleh seorang teman supaya tidak menaruh dendam pada orang lain. Namun, sepertinya aku kesulitan melakukannya.

Aku masih merasa dendam kepada dua temanku yang suka pamer dan sombong itu sampai sekarang. Meskipun kadang aku bersikap biasa-biasa saja. Akan berbeda kalau situasinya seperti yang kuceritakan tadi, saat dia mulai melakukan aksi. Kejadian seperti itulah yang membuat rasa dendamku pada mereka muncul lagi. Maksudku, sering kali rasa dendamku hanya akan muncul saat aku diperlakukan seperti tadi. Namun, paling tidak, aku harus tetap sadar bahwa aku sedang diuji, supaya tidak malah membalasnya dengan perkataan yang melukai hatinya juga.[]


[1] Ya kayak gitu orang sok pinter itu!