Judul Buku  : Dari Membela Tuhan ke Membela Manusia: Kritik atas Nalar Agamaisasi Kekerasan

Penulis             : Dr. Aksin Wijaya

Penerbit           : Mizan Pustaka

Cetakan           : 1, 2018

Tebal               : 262 halaman

ISBN               : 978-602-441-067-4

Sungguh, kita selalu menyaksikan agama bersentuhan dengan kekerasan. Tak ada agama yang tak dilibatkan dari kekerasan. Semua agama dalam sejarahnya pernah bergelimang kekerasan.

Kini, kekerasan tidak hanya bertumpu pada wujud fisik melainkan terjadi pergeseran dalam bentuk wacana. Sebagaimana kenyataan hari-hari ini pengafiran lazim ditemui, di fatwa-fatwa, ucapan khatib-khatib dan dai-dai, di pengajian-pengajian, dan di media sosial membumbung tinggi yang menggeruk hampa jiwa—menggaduhkan dinamika berkehidupan manusia.

Kekerasan atas nama agama dan Tuhan, sasarannya tak hanya orang yang berbeda agama, melainkan orang-orang Islam sendiri yang berbeda keyakinan, aliran, pikiran, politik, ideologi, sistem negara, dan kewarganegaraan.

Kritis

Atas dasar itulah buku Aksin Wijaya, Dari Membela Tuhan Ke Membela Manusia: Kritik atas Nalar Agamaisasi Kekerasan menjadi jawaban sekaligus membongkar secara kritis-akademis dan menelusuri para tokoh gerakan Islam yang mengambil bentuk agamaisasi kekerasan.

Dalam penelurusannya, Aksin menemukan beberapa tokoh utama yang memengaruhi agamaisasi kekerasan yakni: Muhammad bin Abdul Wahab, Ahmad Ibn Hanbal, Abul A’la al-Maududi, Sayyid Qutb, dan Ibnu Taimiyah. Mereka mengekspresikan nalar atau pandangan, pemikiran, pemahaman kekerasan—sehingga mengakibatkan paham kekerasan, sikap kekerasan, respons kekerasan, reaksi kekerasan, dan gerakan kekerasan.

Dari tokoh tersebut, Aksin melihat ada kekeliruan dalam menalar Islam sehingga memuat banyak masalah dalam penjelajahan kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Mereka menalar Islam sebagai sesuatu yang tunggal dan menggunakan pijakan nalar Islam teosentris (serba Tuhan, yang cendredung menghilangkan hak asasi manusia yang diberikan Tuhan). Dengan demikian, tak heran bila mereka cenderung menyalahtafsirkan antara Islam sebagai agama (Islam itu sendiri, absolut yang sifatnya sakral) dan hasil ijtihad tentang Islam (pengatahuan atau pemikiran keislaman atau keagamaan).

Bila tak bisa membedakan mana yang ajaran agama dan ijtihad tentang agama, maka akan terjadi penyalahgunaan pola tafsir agama. Pemikiran tentang agama dianggap sebagai agama, kemudian disakralkan untuk menjustifikasi “ideologi” dengan menggunakan bahasa agama “jihad fisabilillah” tetapi melupakan esensi agama itu sendiri yaitu bahwa agama hadir untuk pemartabatan manusia, seperti misi Rasul diutus memuliakan akhlak manusia menggantikan akhlak tercela (jahiliyah) yang bertumpu pada citra, rahmat bagi manusia dan alam semesta.

Hal itu sama dengan tafsiran Yusuf Qordhawi dalam buku Islam Jalan Tengah: Menjauhi Sikap Berlebihan dalam Beragama (2017). Islam mengajak pada kedamaian atau jalan tengah dan melarang melampaui batas atau berlebihan dalam beragama dalam segala hal, baik hal konsep, akidah, ibadah, perilaku, hubungan dengan sesama manusia maupun perundang-undangan.

Kendati, sikap damai dan nalar moderat merupakan salah satu ciri khas Islam. Ia merupakan salah satu di antara tonggak-tonggak utamanya, yang dengannya Allah SWT membedakan umatnya dari yang lain. “Demikianlah Kami jadikan kamu umat “tengahan”, suapaya kamu menjadi saksi atas manusia” (QS Al-Baqarah [2]: 143).

Kiranya, Islam mendahulukan ibadah-ibadah yang sifatnya kemasyarakatan atas kelompoknya, mengutamakan sesuatu yang bermanfaat kepada orang banyak atas sesuatu yang hanya sebatas pelakunya. Oleh kerena itu, Islam mengutamakan kedamaian antara kelompok yang bertengkar, dengan (membela) bernalar keadaban. Bukan membela dengan kekerasan.

Makna

Bagi Aksin, kalau menalar Islam dengan rasional dan tulus, tidak akan mungkin menemukan logika, argumen, dan dalil-dalil yang mendukung bahwa agama dan Tuhan perlu dibela, dengan cara-cara menghancurkan manusia, apalagi manusia yang masih se-Iman dan se-Islam. Tuhan tak perlu dibela, karena Tuhan justru hadir dengan mengirimkan agama untuk membela manusia. Jihad bukan untuk membela Tuhan, melainkan untuk membela kemanusiaan manusia (hlm 173).

Tuhan sebagai pencipta seluruh mahkluknya, beserta menurunkan wahyunya kepada Nabi pilihannya bermisi untuk humanisme manusia, sebagaimana tercatat dalam firman-firmannya yang bersifat Rahmah dan Rahim. Begitu juga dengan Islam, agama yang mengajarkan persaudaraan membawa pesan perdamaian untuk mengasihi dan bukan saling membenci. Inilah beberapa pesan asasi Islam yang mengubah nalar Islam “teosentris” yang cenderung melegalkan kekerasan ke nalar “antroposentris” yang cenderung menolak kekerasan dan menawarkan kedamaian—membela manusia. Mentransformasikan al-hakimiyyah ilahiyyah menuju al-hakimiyyah al-basyariyyah, dan jihad fi sabililah menuju al-rahmah al-ilahiyyah (jihad rahmah). Beralih dari nalar agamaisasi kekerasan ke nalar agamaisasi kedamaian.

Ujungnya, buku ini berusaha menegaskan dan meletakkan kembali masalah-masalah krusial dalam bernalar keberagamaan dan bernegara dengan karangka filosofis dan paradigma Islam di tengah arus doktrin agamaisasi kekerasan. Paradigma pertama, beragama adalah hak asasi manusia yang diberikan Tuhan, dan karena itu menjadi keniscayaan paradigma ini membela hak asasi kemanusiaan.

Seseorang berhak memilih agama dengan dirinya sendiri (al-haqq al-lazim) dan juga berhak tidak memilih atas haknya sendiri. Sebab, dalam konteks ini, orang lain diberi “taklif al-lazim”. Andai seseorang tidak menghormati hak orang lain dalam menentukan pilihannya dalam beragama, dia tidak hanya melanggar hak orang lain dalam beragama, tetapi juga melanggar “taklif al-lazim” sendiri dalam posisinya sebagai manusia (hlm 157).

Buku ini tidak hanya merombak paradigma kekerasan tetapi juga mengusulkan agar agama dijadikan sebagai modal pembangun keharmonisasan beragama, berbangsa, dan bernegara lewat jalan-jalan kemanusian, kewelas asihan. Betapapun, nalar dan perilaku kekerasan, ia bergerak tak tertangkap, tak bisa mati, tak bisa dilihat, bahkan luput dari rumus-rumus pikiran. Oleh karena itu, tak ada cara lain selain menawarkan nalar kedamaian, seperti yang dilakukan Aksin Wijaya dalam buku Dari Membela Tuhan ke Membela Manusia: Kritik atas Nalar Agamaisasi Kekerasan.