Judul Buku      : Sapiens, Riwayat Singkat Umat Manusia

Penulis             : Yuval Harari Noah

Penerbit           : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

Tahun Terbit    : Cetakan Ketujuh, Januari 2019

Tebal Buku : 525 Halaman

ISBN : 9786024244163

Pernahkah kita berpikir bahwa umur dan hidup kita di dunia ini sangat singkat dibandingkan evolusi spesies kita sebagai manusia? Umur kita yang di bawah 100 tahun hanya ibarat sekedipan mata jika dibandingkan dengan awal mula keberadaan cikal bakal manusia yang sudah dimulai sejak ratusan juta bahkan bermiliar-miliar tahun lalu.

Sebagian besar dari kita, mungkin tidak memikirkan tentang hal itu. Namun, kita tak layak untuk mengelak bahwa bisa jadi benar adanya bahwa keadaan diri kita saat ini, kemampuan otak kita, kemampuan fisik kita dan kehadiran sistem kehidupan kita saat ini, seperti adanya konsep atau sistem negara, uang, pertanian dan industri bukanlah hasil pencapaian yang sebentar. Butuh perjalanan evolusi yang sangat panjang berjuta tahun lamanya.

Evolusi itu pula mungkin belum akan berakhir.  Bisa jadi kita hanya setitik atau sekejap saja dari estafet perjalanan teramat panjang tersebut. Nanti evolusi seperti apa yang spesies manusia akan lewati lagi, setelah evolusi dari manusia purba, serupa neanderthal, pithecantropus erectus, homo florensis dan homo spaiens? Sistem apa yang akan selanjutnya kita jalani setelah dulu kita mengalami proses berburu, meramu, pertanian, tuan tanah, imperium, penjajahan, negara, uang, pertanian dan industri? Kita yang hidup hanya sebentar ini mungkin tak akan pernah tahu karena tak akan mampu menunggu atau mungkin saja kita bisa memprediksi.

Terkait masalah ini, buku Sapiens menjadi pilihan yang lezat dan penuh gizi ibarat sajian porsi makanan empat sehat lima sempurna. Yuval Noah Harari bisa jadi merupakan satu di antara segelintir penulis yang mampu menyajikan karya non fiksi dengan gaya penulisan sangat mengalir. Bahkan bisa membuat pembacanya membaca nyaris senyaman novel. Bisa jadi pula inilah yang menjadi salah satu alasan buku ini begitu laris manis. Untuk di Indonesia saja, dari tahun 2017 saat pertama kali terbit, buku ini sudah tujuh kali dicetak ulang oleh penerbit KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).

Nyaman membaca buku nonfiksi bisa jadi salah satu magnet yang tak bisa dianggap sepele untuk para penulis buku nonfiksi. Apalagi jika tema yang ditulis berkategori “berat”, seperti pada Sapiens yang merupakan buku sejarah evolusi manusia dan alam semesta sekitarnya.

Namun gaya penulisan yang mengalir dan nyaman dibaca tentulah tak bisa menjadi satu-satunya alasan sebuah karya buku nonfiksi ilmiah bisa disebut mampu mendapatan sorotan. Ilmiah tetaplah ilmiah, yakni adalah ilmu yang tak bisa dibahas tanpa menggunakan data lengkap. Harari sepertinya paham benar akan hal ini, bahkan bisa jadi menilainya sebagai harga mati. Maka Sapiens pun ditulis dengan data yang tak sedikit, justru cenderung komplit.

Pada Sapiens, Harari bukan hanya membahas, namun ia menganalisis perihal evolusi manusia. Dia bukan hanya memaparkan bagaimana manusia berkembang dari masa ke masa. Namun kajian analisisnya mendalam tentang bagaimana kehidupan manusia di setiap kotak waktu evolusi. Sebuah pemikiran yang didukung dengan data, bukti, ilmu sosilogis, ilmu sains bahkan juga psikologis yang menyangkut dengan perkembangan kepercayaan dan agama.

Harari membahas bagaimana manusia yang awalnya merupakan makhluk purba dengan ukuran otak dan tingkat kecerdasan yang tak jauh beda dari simpanse akhinya menjadi makhluk dengan kepandaian tiada tanding. Padahal dari masa dulu manusia hanyalah makhluk tak berdaya dibanding hewan-hewan buas lainnya.Terutama di mana cikal bakal manusia sama sekali belum bisa memikirkan untuk membuat alat bantu, apalagi berburu dan beternak, bertani.

Pada masa itu manusia hanya mampu menunggu, bersembunyi dan mengawasi hewan segagah dan seperkasa macan dan harimau menyantap hasil tangkapan. Ketika pesta makan para penguasa hutan itu selesai, cikal bakal manusia (sebut saja pra-sapiens) menyantap sisa-sisanya. Terutama cairan di tulang sumsum.

Lama kelamaan karena sulitnya menghancurkan tulang sumsum otak prasapiens mampu menciptakan pelbagai alat bantu. Kemudian berkembang menjadi mampu membuat alat berburu.

Prasapiens berevolusi, meninggalkan kelasnya di kalangan hewan, yang menurut Harari tak jauh dari kelas simpanse, menjadi penguasa baru hutan raya. Manusia kemudian berkembang menjadi sedemikian rupa menjadi pemangsa yang tak kalah buas dibanding hewan-hewan beringas. Terutama ketika api ditemukan yang diklaim Harari terjadi pada 300 ribu tahun lalu.

Penemuan api ini membuat tempat manusia bermukim menjadi gampang rusak dan punah, kebutuhan makanan pun tak lagi terpenuhi. Maka dimulailah perpindahan, nomaden, satu per satu daerah disinggahi dan bermunculan jenis pra sapiens yang berbeda-beda karena perbedaan tujuan nomaden yang akan ditinggali bergenerasi-generasi. Salah satu yang sampai sekarang masih populer disebut adalah manusia purba Neandertal.

Pada perpindahan ini terjadi banyak penghapusan spesias lain, di mana mega satwa punah seiring dengan invasi manusia purba. Perburuan dan perubahan keadaan alam diubah oleh kecerdikan si pendatang, manusia.

Kepunahan pun terjadi ketika satu jenis prasapiens bertemu prasapiens lain. Kemudian terjadi pula kepunahan manusia purba yang disebut-sebut Harari mengalami kekalahan invasi manusia purba jenis lain yang berkembang lebih “canggih” di daerah lain. Hingga tersisalah jenis Homo Sapiens yang merupakan nenek moyang kita, manusia masa kini.

Evolusi belum berhenti di sana. Manusia kemudian mulai mengenal cara bercocok tanam, yang kemudian berkembang dengan sangat lama menjadi sistem pertanian yang secara sosiologis menimbulkan tuan tanah. Inilah cikal bakal munculnya dominasi kekuasaan yang membentuk kerajaan.

Evolusi manusia kemudian seolah diarahkan oleh rasa tidak puas, maka kerajaan memicu terjadi imperialisme dan penjajahan. Kemudian perkembangan menjadi negara dan berbagai revolusi industri setelah lama revolusi pertanian tak lagi dirasakan cukup sebagai pencapaian.

Rasa pencapaian ini seolah tak akan lagi pernah mencukupi. Evolusi ini belum pernah berhenti. Evolusi sekarang telah membawa manusia menjadi lebih jauh meninggalkan pencapaian nenek moyang dahulu. Manusia zaman kini bahkan mampu membuat (atau menciptakan?) hewan dan tumbuhan jenis baru. Telah ada tikus yang dari tubuhnya berpendar cahaya neon. Ada pula tangan buatan untuk manusia disabilitas yang cukup digerakkan hanya dengan pikiran saja.

Perkembangan evolusi  dan pencapaian masa kini ini kemudian mencuatkan pertanyaan: Akankah manusia bergerak menjadi pencipta? Lalu mengenyampingkan hakikat pencipta satu-satunya yakni Tuhan? Persis sebagaimana ilmu pengetahuan, sains tak akan pernah selesai pada satu penemuan jawaban. Penemuan dan hasil analisa yang baru hanya akan berujung pada pertanyaan-pertanyaan lain. Begitulah berlanjut seiring dengan evolusi manusia itu sendiri.

Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang membuat Sapiens layak dibaca. Ketidaktahuan bukan hanya perlu diisi demi ilmu pengetahuan sejarah, sains atau sekadar rasa ingin tahu. Justru masa depan yang masih panjang dari evolusi manusialah yang layak dipikirkan. Ke arah mana, ke arah apa, kita—Sapiens—akan berevolusi?  Benarkah kita akan punah seiring dengan semakin menuanya bumi dan semakin menipisnya sumber daya? Akankah justru bermunculan sumber daya baru dan energi baru hasil karya kita nantinya?

Ataukah manusia akan tergantikan dengan hewan yang selama ini tak diperhatikan karena lemah tak berdaya, misalnya tikus atau kecoa? Serupa manusia di zaman purba yang bukan apa-apa dibanding dinasaurus, mamooth atau bahkan singa?

Namun evolusi manusia, selayaknya Harari menuliskan Sapiens, tak bisa pula hanya diperkirakan hanya sebagai perjalanan otak dan kebutuhan makanan, tempat tinggal (kebutuhan ekonomi) saja. Manusia dipengaruhi hal-hal lain yang disebut Harari sebagai hal tak terlihat. Yakni bagaimana perkembangan dari agama dan kepercayaan paling purba hingga berkembangnya agama-agama monoteis besar sekarang berkuasa. Hingga nantinya perkembangan kepercayaan terhadap agama itu akan ikut memerngaruhi evolusi. Apakah akan tetap dipercaya ataukah akan ditinggalkan dan menyisakan kalangan ateis? Perkembangan akan kepercayaan ini akan memengaruhi evolusi karena penelitian manusia, serupa mencipatakan makhluk hidup jenis baru (serupa tikus berpijar seperti lampu neon) bisa saja masih dianggap atau tak lagi dianggap sebagai pencederaan terhadap kuasa Tuhan.