Seorang anak kecil yang berdoa di kamar, ibu yang sedang memasak di dapur, keriuhan pertarungan politik eksekutif, perempuan yang sedang menjadi korban human trafficking, polisi yang bertugas di jalan raya, bocah kecil yang menangis minta uang jajan, penyair yang membuang secarik puisi, dan yang serupa adalah peristiwa-peristiwa. Peristiwa itu ada. Terjadi dan dialamioleh manusia. Manusia mengalami peristiwa-peristiwa itu mulai dari peristiwa yang diyakini sebagai ‘biasa-biasa saja’ hingga yang ‘luar biasa’ atau mungkin juga yang tak pernah bisa dipikirkan bahkan dibayangkan sebelumnya. Manusia dan peristiwa saling mengadakan. Manusia membentuk peristiwa. Demikian pula, serentak dengan itu, peristiwa membentuk manusia. Manusia selalu ada dalam proses menjadi (in the making). Dalam proses itu, ia melibatkan diri dalam peristiwa dan peristiwa melibatkan diri dalam perkembangan hidupnya.

Dalam panorama perkembangan hidupnya, manusia terus bergelut dengan peristiwa-peristiwa yang mengalir dalam ruang dan waktu. Mengalir sebagai sungai sejarah yang membentuk peradaban manusia. Dalam aliran sungai peradaban itu, manusia terus memaknai hubungannya dengan realitas peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya sesuai dengan paradigma tertentu. Demikianlah pada zaman lampau, peristiwa selalu dikaitkan dengan hal-hal mistis. Peristiwa yang terjadi selalu merupakan tanda. Kekeringan, hujan, tumbangnya pohon, bahkan hingga bunyi cicak di dinding  adalah peristiwa menyiratkan sesuatu yang tidak bisa selalu dijelaskan dengan akal sehat.

Modernitas dengan pendekatannya yang serba ilmiah telah menjaraki manusia dengan peristiwa hidupnya. Setelah Rene Descartes mengumandangkan cogitonya, terjadilah pembelahan subjek-objek. Manusia menjadi titik pijak pemaknaan, bahkan yang menyedihkan lagi adalah manusia dilihat pada ‘pikiran’nya semata. Demikanlah terjadi dikotomi atas dunia yang dipikirkan dan dunia yang dihayati. Modernitas telah meniupkan aroma keilmiahannya yang dipercayai sebagai kacamata paling sesuai untuk melihat realitas peristiwa-peristiwa aktual. Padahal peristiwa in se jauh melampaui ukuran postivistik-saintifik belaka.

Maka itu, kegerahan atas dominasi pemaknaan inilah yang menghantarkan seorang Edmund Husserl memperkenalkan suatu kacamata pemaknaan terhadap realitas, yakni fenomenologi. Fenomenologi menempatkan peristiwa qua peristiwa; peristiwa sebagai peristiwa. Peristiwa adalah fenomena, yakni kenyataan sendiri yang menampakkan maknanya kepada manusia. Dalam kacamata fenomelogi inilah, sastra dapat melibatkandirinya terhadap peristiwa. Sastra fenomenologis adalah sastra yang merayakan makna dalam perstiwa-peristiwa.

Duduk perkara fenomenologi adalah bagaimana menemukan kembali dunia yang dihayati, yakni suatu realitas yang dilibati secara taken for granted oleh manusia, karena dunia seperti itu menurut filsafat ini telah lenyap dalam timbunan interpretasi-interpretasi ilmiah. Dunia yang dihayati bukanlah dunia yang telah ditematisasi dengan kepentingan-kepentingan tertentu entah politis, ilmiah, ekonomis, dan lainnya yang ekstrem. Dunia yang dihayati adalah dunia keseharian. Everydaily life merupakan dunia yang berada dalam kepenuhannya. Berhadapan dengan dunia yang kaya tersebut, manusia hanya perlu melibatkan dirinya sebagai pemula. Inilah keutamaan fenomenologi, yakni kerendahatiandi hadapan hamparan peristiwa. Manusia pemula adalah manusia yang selalu memiliki alasan untuk takjub di hadapan hamparan peristiwa yang dianggap biasa-biasa saja oleh orang lain. ‘Satrawan-fenomenolog’ (term yang dipadankan dengan konteks tema ‘sastra fenomenologis’) akan menyadari betapa kayanya realitas dan betapa mendalamnya makna tertanam dalam lapisan common sense masyarakat manusia.

Bagi Husserl, sikap manusia yang terlampau menjaraki diri dengan peristiwa hidupnya sedemikian sehingga melihatnya sebagai sesuatu yang ada ‘outside there’ (di luar sana) adalah sikap yang melepaskan dunia kesadaran dari dunia peristiwa. Berhadapan dengan hamparan peristiwa, manusia harus memiliki sikap natural yang disebutnya sebagai natürliche Einstellung sehingga hamparan peristiwa tersebut dipandang sebagai ‘dunia kehidupan’ (Lebenswelt). Lebenswelt adalah dunia yang dilibati oleh manusia. Jika ilmu-ilmu modern telah mengobjektivikasikan hamparan peristiwa-peristiwa itu dengan format ilmiahnya, fenomenologi justru masuk dan terlibat di dalamnya serta mendeskripsikan hal tersebut sebagaimana peristiwa-peristiwa itu dihayati oleh manusia. Dengan demikian, seorang sastrawan-fenomenolog adalah pencari makna yang melibatkan dirinya dalam setiap peristiwa keseharian dan kemudian mendeskripsikan dalam karya-karyanya.

Fenomenologi merupakan salah satu kekhasan post-modernisme yang mulai mencurigai dan menolak tirani metanarasi yang secara khusus menjadi klaim kebenaran modernisme. Positivisme-saintifik yang terlampau menekankan keilmiahan berbasis data empirik telah menjadi metanarasi yang mengungkung kekayaan peristiwa. Segala peristiwa hanya dinilai bermakna sejauh peristiwa tersebut ilmiah, bermanfaat secara ekonomis, dapat dibuktikan secara empirik, terukur, dan lainnya. Demikianlah fenomenologi tampil sebagai penyuara peristiwa-peristiwa yang termarginalkan oleh tirani modernitas. Fenomenologi menghargai setiap peristiwa yang terbentang dalam sejarah. Tidak ada peristiwa yang menjadi ‘titik puncak’. Setiap peristiwa adalah lapangan pemaknaan manusia.

Sastra fenomenologis dalam lajur pemaknaan ini bisa dilihat sebagai sastra terlibat. Sastrawan-fenomenolog adalah sastrawan yang mampu melibatkan dirinya dalam medan peristiwa. Menikmati tidur di Istana Merdeka, sakitnya ‘diperkosa’, merasakan bagaimana ‘dijual’, merasakan bagaimana bayi menyusu dari ibunya yang sedang menjajakan kue di pasar, dan lainnya yang serupa adalah pelibatan diri seorang sastrawan-fenomenolog dalam setiap peristiwa. Dengan kata lain, seorang sastrawan-fenomenolog dapat ‘berinkarnasi’ dalam historisitas peristiwa apapun. Di sinilah sastra fenomenologis menawarkan semacam jalan ‘keselamatan universal’ bagi segala peristiwa untuk dimaknai oleh manusia. Manusia sebagai makhluk yang memaknai, dikonfrontasikan di hadapan setiap perstiwa keseharian. Jadi, jalan fenomenologi dalam sastra menghantarkan sastra menjadi ‘milik semua’ orang.

Jika ditilik dari kacamata fenomenologi, sekarang ini telah terjadi semacam ekspansi para sastrawan untuk mengangkat karyanya secara fenomenologis–entah disadari atau tidak–para sastrawan postmodern (sebagai era) memiliki geliat pada ‘peristiwa-peristiwa kecil’ dan remeh-temeh di hadapan khalayak umum. Secara sepintas, mungkin berkiblat aneh. Namun, keanehan ini merupakan seruan filosofis bagi manusia modern untuk kembali ke hakikatnya terdalam sebagai makhluk yang memaknai. Manusia modern dirayuoleh para satrawan untuk menenggelamkan diri dalam lautan peristiwa keseharian. Kembali ke kehidupan asal.

Di tengah arus globalisasi yang dengan spirit instannya telah meresapi lapisan kesadaran manusia, peristiwa-peristiwa dilihat sejauh memiliki keuntungan langsung yang lebih banyak berkiblat pada uang dan kekuasaan. Bahasa sastra-fenomenologis adalah bahasa yang cukup ampuh meruntuhkan struktur-struktur peristiwa yang diklaim sebagai peristiwa besar. Para sastrawan mampu mengganggu daya refleksi masyarakat manusia untuk tidak cepat mengafirmasi segala peristiwa yang diklaim sebagai peristiwa besar melainkan terus diperhadapkan dengan pemaknaan manusia.

Demikianlah seorang Jokpin dengan ketelitian mengangkat persoalan ‘tubuh’ sebagai metafor paling ampuh dan memikat untuk menceritakan realitas. Kembalinya tema ‘tubuh’ meruntuhkan lapisan epsitemik dan kesadaran manusia modern, yang melihat tubuh ‘rendah’ dan hanya memiliki nilai material semata. Tubuh dalam tangan seorang Jokpin ditampilkan sebagai lapangan makna yang punya daya transformatif yang sangat kuat. Selain itu, muncul pula Agus Noor yang dalam cerpen-cerpennya sering mengakat sisi-sisi lain yang gagal dilihat oleh mata khalayak banyak, yakni persoalan kemiskinan, perempuan, dan lainnya.

Sebenarnya menjadi sastra-fenomenolog bukanlah hal sulit, karena sebagaimana credo Husserl, kita hanya cukup menjadi pemula. Karena hanya di hadapan pemulalah seorang sastrawan dapat merayakan ketakjuban-ketakjuban makna yang tak pernah dirasakan masyarakat manusia pada umumnya. Ritual merayakan makna dalam peristiwa keseharian tidaklah dicapai dengan sebuah metode abstraksi dengan menarik diri dari realitas peristiwa melainkan dengan turut terlibat dalam peristiwa itu sendiri. Karena menjadi seorang sastrawan-fenomenolog yang sejati adalah berusaha menjadi seorang pemula.